Jakarta, InfoPublik – Kesepakatan Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan negara-negara G20 terkait pembentukkan dana perantara keuangan (Financial Intermediary Fund/FIF) untuk kesiapsiagaan, penanggulangan, dan respons (preparedness, prevention, and response/PPR) pandemi, diapresiasi para pemerhati dan akademisi Indonesia.
Langkah itu dinilai sebagai upaya nyata antisipasi menghadapi kemungkinan munculnya pandemi baru di masa mendatang.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menyatakan pandemi COVID-19 yang terjadi dalam dua tahun terakhir memang telah menyadarkan dunia betapa pentingnya sumber pendanaan menghadapi pagebluk.
“Poinnya adalah (FIF) itu penting, vital. Tetapi tentunya masih banyak hal yang diperlukan pada tingkatan mekanisme. Mungkin perlu juga dukungan politik dari negara-negara G20,” ujarnya, Sabtu (25/6/2022).
Kesepakatan pembentukkan FIF PPR pada Rabu (22/6/2022) tersebut dikatakan Yose sangat krusial. Tinggal saat ini yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyusun mekanisme pengelolaan, penggunaan, dan pendistribusian dana urunan tersebut. Negara-negara G20, katanya, harus bisa menciptakan kebijakan yang adil bagi tiap negara.
Badan maupun organisasi yang mengelola FIF juga diharapkan bisa mengkurasi dengan baik pemanfaatan dana secara merata. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi negara yang kesulitan menghadapi pandemi karena minimnya kemampuan fiskal.
Melalui FIF pula, diyakini akan ada peringatan dini mengenai potensi ancaman dari dampak yang ditimbulkan dari penyebaran wabah.
“Jadi, FIF ini memang kita butuhkan agar penanggulangan pandemi bisa lebih cepat, bahkan juga bisa memberikan early warning system. Dan juga ketika pandemi meluas, reponsnya bisa lebih cepat,” tutur Yose.
Yose, yang juga Executive Co-Chair Think20 (T20), menilai ada tiga hal yang mesti segera ditemukan solusinya terkait FIF PPR. Pertama, negara anggota G20 mesti bisa mendorong kecukupan dana FIF. Sebab, dana penanggulangan pandemi tidak sedikit.
Hal itu berkaca dari biaya penanganan COVID-19 di level global yang menghabiskan puluhan miliar dolar Amerika Serikat.
Diperlukan komitmen lebih banyak negara-negara lain guna mendapatkan dana yang lebih besar. Sementara saat ini komitmen yang disampaikan sejumlah negara dalam forum G20, baru mencapai US$1,1 miliar.
Kedua, negara anggota G20 perlu memastikan keberlanjutan FIF PPR.
“Ini harus sustainable. Jadi sama seperti IMF (International Monetary Fund), di mana setiap tahun selain punya modal dasar, mereka juga diberikan oleh anggota-anggotanya terus menerus. Jadi selain harus cukup, komitmen itu juga harus berkelanjutan, jangan nanti ketika sudah dua tiga tahun pandemi selesai, dana ini ditinggalkan,” jelas Yose.
Ketiga, negara anggota G20 perlu menentukan mekanisme implementasi penggunaan dana. Tujuannya mesti terang agar bisa berjalan dengan efektif. Karena didasari sebagai kesiapsiagaan serta penanggulangan, dana ini mestinya juga dapat mencakup penyiapan riset, produksi obat, hingga pendanaan guna merespons persoalan yang muncul dari pandemi.
“Harus jelas pula siapa yang menjadi lembaga pelaksananya. Sekarang ini kita punya WHO (World Health Organization), sementara dana ini dijalankan World Bank. WHO kita tahu punya dana global yang selama ini lebih banyak untuk malaria, HIV dan AIDS. Itu harus ada kejelasan, kemudian bisa dijalankan atau didukung oleh FIF ini,” terang Yose.
Sementara itu, periset dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyampaikan inisiasi yang digagas ini merupakan awal yang baik untuk menghindari dampak terburuk persoalan krisis global di masa mendatang. Melalui terobosan ini, diharapkan tidak ada negara yang tertinggal untuk melakukan pemulihan.
“Dengan adanya dana siaga ini, maka negara-negara miskin ataupun berkembang bisa mengakses ketika mereka membutuhkan pembiayaan penanganan pandemi di masa mendatang,” jelasnya.
Alternatif pendanaan bagi negara-negara miskin
Senada dengan Yose, Kepala Kajian Makroekonomi dan Ekonomi Politik Lembaga Penyelidikan Masyarakat dan Ekonomi Universitas Indonesia, Jahen Fachrul Rezki, mengatakan, FIF dapat menjadi alternatif pendanaan bagi negara-negara miskin maupun berkembang menghadapi ancaman pandemi. Tiap negara akan memiliki amunisi yang cukup untuk menangani kebutuhan, baik dari pembiayaan, akses kepada obat maupun vaksin ketika krisis terjadi.
“FIF ini penting sebagai langkah bersama memastikan semua negara memiliki amunisi yang cukup dalam menghadapi krisis. Banyak negara berkembang cukup terdampak dan lambat dalam menangani krisis COVID karena tidak punya alternatif pembiayaan. Tapi tentu proses pembiayaan ini juga membutuhkan dukungan dari negara maju agar tujuan awalnya tercapai,” tuturnya.
Diketahui, pertemuan pertama Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan G20 pada Rabu (22/6/2022) menyepakati pembentukkan FIF PPR. Komitmen dana yang telah disampaikan dalam forum tersebut juga telah mencapai US$1,1 miliar AS, berasal dari dari Amerika Serikat (US$450 juta); Uni Eropa (US$450 juta); Indonesia (US$50 juta); Jerman (€50 juta); Bank Dunia (£10 juta); dan Singapura yang baru menyatakan komitmetnya dalam forum sebesar US$10 juta.
Para menteri keuangan dan menteri kesehatan dalam forum itu sepakat menunjuk Bank Dunia sebagai wali amanat FIF PPR serta mempertajam peranan WHO. Hasil forum tersebut akan menjadi bagian diskusi Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di bulan Juli dan ditindaklanjuti pada Joint Finance and Health Task Force (JFHTF) G20 selanjutnya dalam rangka menuju Joint Finance and Health Minister Meeting (JFHMM) ke-2 yang akan diselenggarakan pada November 2022.
Foto: Antara/ Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kedua kiri) bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (ketiga kiri) dan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono (ketiga kanan) mengikuti pertemuan pertama G20 Joint Finance Health Ministerial Meeting di Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (21/6/2022).