Labuan Bajo, Infopublik - Indonesia tidak memisahkan ekonomi biru, hijau, dan sirkular, melainkan menjadi satu prioritas yang harus dicari solusi terbaiknya, karena masyarakat dan lingkungan sudah sepatutnya dapat hidup berdampingan secara harmonis.
Tiga bidang yang tersebut di atas, tidak bisa berdiri secara terpisah. Ketiga hal itu, harus terintegrasi dan menjadi konsep yang utuh agar mudah diimplementasikan.
Hal tersebut disampaikan Deputi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Edi Prio Pambudi, dalam seminar "Blue, Green, and Circular Economy: The Future Platform for Post-Pandemic Development" yang menjadi Side Event 2nd Sherpa Meeting Presidensi G20 Indonesia di Hotel Meruorah, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu (13/7/2022).
Edi yang juga menjadi Co-Sherpa Presidensi G20 Indonesia memaparkan, sejak awal, penting bagi kita untuk mengenali alasan mengapa seminar yang diadakan itu tidak fokus pada ekonomi biru, ekonomi hijau atau ekonomi sirkular secara terpisah, tetapi merupakan integrasi dari semua konsep.
Strategi ekonomi hijau cenderung berfokus pada energi, transportasi atau industri kehutanan. Strategi ekonomi biru fokus pada perikanan dan sumber daya laut dan pesisir, dan kekhawatiran ekonomi sirkular mengubah siklus produksi dan konsumsi, yang mana biasanya berfokus tentang pengelolaan sampah.
"Tetapi kesamaan yang mereka miliki adalah cita-cita yang ingin dicapai pembangunan ekonomi berkelanjutan, di mana masyarakat dan lingkungan dapat hidup berdampingan secara harmonis," jelas Edi.
Menurutnya, para pembicara dalam seminar telah menjelaskan bahwa tantangan signifikan yang harus dihadapi dalam mempromosikan adopsi langkah-langkah ekonomi biru, hijau dan ekonomi sirkular masih panjang.
"Tetapi mereka juga telah mencerahkan kita dengan cara-cara yang beragam. Para pemangku kepentingan, pemerintah, anggota masyarakat, akademisi dan pelaku sektor swasta, tentunya dapat berkontribusi pada pengembangan penanggulangan terhadap tantangan-tantangan tersebut. Dengan demikian, kami berharap seminar ini dapat membangkitkan semangat baru dan kesadaran peserta hari ini. Semangat baru kita semua dapat menjadi embrio untuk masa depan untuk berkolaborasi dalam ekonomi hijau, biru, dan sirkular sebagai sebuah konsep yang terintegrasi," ujar Edi.
Ditambahkannya, mengubah perilaku dan kebiasaan sehari-hari dapat menjadi langkah awal yang kuat untuk menerapkan ekonomi biru, hijau, dan sirkular. Itu juga dinilai sejalan dengan fokus dunia yang tengah mengupayakan penciptaan ekonomi berkelanjutan.
Salah satu contoh kecil yang ia sampaikan, yakni, penyiapan lokasi pertemuan Sherpa G20 yang berlangsung di Labuan Bajo. Edi menyebutkan, pada Maret lalu saat melakukan survei tempat, dia mendapati banyaknya tumpukan sampah plastik di Pink Beach, salah satu tempat yang dikunjungi delegasi.
Padahal, kata dia, salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan Sherpa G20 ialah terkait lingkungan. Karenanya, saat itu ia mengajak warga Labuan Bajo dibantu dengan pemerintah daerah untuk bersama-sama membersihkan beberapa tempat dan berakhir dengan baik.
Selain itu, porsi makanan yang diberikan kepada delegasi juga ditimbang dengan matang agar tidak ada limbah pangan. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk mengurangi potential loss food and waste (FLW).
"Itu adalah bagian dari hal-hal konkret yang dapat kita lakukan. Di beberapa negara, mungkin di Eropa dan di Jerman. Mereka menerapkan penalti jika Anda meninggalkan makanan di piring, terutama dalam layanan prasmanan. Ini sangat praktis, sangat mudah dilakukan sebagai bagian dari ekonomi biru, hijau dan sirkular dengan melakukan diversifikasi kampanye kepada orang-orang," jelas Edi.
Itu berkaitan dengan tema seminar yang diangkat kali ini. Indonesia, kata Edi, tidak memisahkan ekonomi biru, hijau, dan sirkular, melainkan menjadi satu prioritas yang harus dicari solusi terbaiknya. Tiga bidang itu harus terintegrasi dan menjadi konsep yang utuh agar mudah diimplementasikan.
Foto: InfoPublik/Amiri Yandi