Berbagai penemuan spesies baru jadi bukti bahwa hutan Indonesia menyimpan banyak kekayaan hayati.
Dua kali sudah, yaitu pada 2020 dan 2021, kita memperingati Hari Bumi ketika pandemi Covid-19 sedang merebak. Restore Our Earth atau Pulihkan Bumi Kita menjadi tema besar Hari Bumi di 2021 dan berfokus pada proses alam, teknologi hijau yang sedang berkembang, dan pemikiran inovatif yang dapat memulihkan ekosistem dunia.
Sebagai warga Bumi, kita sudah sepantasnya menjaga kelestarian alam dengan segenap keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Demikian halnya dengan keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia, masih banyak kekayaan hayati yang belum dapat diungkap oleh ilmu pengetahuan manusia. Pengungkapan berbagai temuan baru dari berbagai spesies flora dan fauna sebagai komponen keanekaragaman hayati akan membuat kita lebih tahu bagaimana menjaga agar tetap lestari dan tercapai kelestarian alam yang makin utuh.
Seperti yang dilakukan para peneliti dari Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya (PPKTKR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) belum lama ini. Destario Metusala dan Wisnu Handoyo, meski dalam masa pagebluk, tetap menunjukkan dedikasi dengan berkontribusi pada penelitian flora di Indonesia.
Keduanya berhasil mengungkap adanya temuan baru dari delapan jenis tumbuhan unik dari hutan belantara Indonesia. Spesies-spesies baru tumbuhan unik itu diterbitkan pada jurnal ilmiah nasional maupun internasional di sepanjang 2020.
Keduanya menyadari, masa pandemi telah membuat banyak orang harus membatasi berbagai aktivitas, termasuk penelitian dari rumah saja. Mereka pun berkolaborasi dengan banyak pihak mulai dari akademisi, sesama peneliti di dalam dan luar negeri, para filantropis lingkungan sampai meneliti bersama hasil-hasil temuan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kolaborasi bersama banyak pihak menjadi kunci penting untuk tetap produktif meneliti selama pandemi. Hasilnya, Destario mampu menungkap empat penemuan tumbuhan baru Indonesia seperti Bulbophyllum acehense, Dendrobium rubrostriatum, Nepenthes putaiguneung, dan Dendrobium sagin. Sedangkan Wisnu Handoyo mempublikasikan empat spesies baru lainnya, yaitu Begonia enoplocampa, Begonia tjiasmantoi, Begonia sidolensis, dan Etlingera tjiasmantoi.
Menurut Destario, tujuh dari delapan spesies baru tersebut berpotensi terancam punah karena hanya tersebar di area yang relatif sempit. "Sehingga diduga lebih rentan terhadap ancaman kepunahan seandainya terjadi degradasi habitat maupun over collecting (dikoleksi secara berlebihan)," kata Destario seperti dikutip dari Antara.
Bulbophyllum acehense
Bulbophyllum acehense merupakan anggrek epifit yang tumbuh alami di pegunungan hutan Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Anggrek ini memiliki perbungaan tunggal yang bermunculan dari bagian ruas-ruas rhizome-nya. Bunganya berwarna kuning cerah mengkilap, berlilin dengan corak halus garis garis kuning yang lebih pekat.
Walaupun ukuran bunganya berkisar 1,7-2 sentimeter (cm), bentuknya unik. Bagian lateral sepalnya terpilin kuat ke belakang. Spesies anggrek baru ini juga memiliki keunikan pada bagian bibir bunganya yang menekuk tajam ke bawah seperti pengait.
Spesies ini menggunakan nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai petunjuk, karena kawasan Serambi Mekah ini memiliki keunikan diversitas anggrek yang tinggi. Penelitian ini telah diterbitkan di jurnal nasional Biologi Tropis.
Dendrobium rubrostriatum
Tumbuhan ini juga merupakan anggrek epifit yang tumbuh menempel di kulit batang pepohonan. Susunan daunnya telah berevolusi secara unik dengan membentuk seperti gergaji pipih dan mempunyai total panjang hingga 43 cm. Perbungaannya muncul dari batang semu pipih pada ujungnya.
Meski ukuran bunga ini tergolong kecil, lebarnya berkisar 0,65-0,75 cm, akan tetapi kombinasi warnanya cukup mencolok. Helai kelopak bunga atau sepal dan dasar kelopak bunga atau petal berwarna dasar krem dengan garis-garis memanjang merah keunguan. Spesies baru ini, ditemukan di hutan dataran rendah Kalimantan Barat pada ketinggian 200-300 meter di atas permukaan laut.
Meski demikian, observasi lanjutan menemukan petunjuk bahwa sebaran spesies baru ini mencapai kawasan Sarawak dan Sabah, Malaysia. Penelitian ini memerlukan waktu panjang hingga enam tahun lamanya untuk memperoleh data-data spesies pembanding yang lebih akurat. Penelitian anggrek Dendrobium rubrostriatum diterbitkan di jurnal internasional Phytotaxa.
Nepenthes putaiguneung
Flora satu ini adalah spesies tumbuhan karnivora yang populer dengan nama kantung semar atau periuk monyet. Indonesia merupakan gudang keanekaragaman Nepenthes di dunia. Terdapat sekitar 75 spesies dari seluruh kepulauan Nusantara yang sebagian besar berada di Pulau Sumatra.
Penelitian Nepenthes spesies baru ini adalah hasil kolaborasi Dee Dee Al Farishy yang saat itu merupakan mahasiswa biologi Universitas Indonesia dengan Destario sebagai salah satu pembimbingnya. Penelitian berlangsung enam tahun, sejak 2014, untuk memastikan perbandingan data morfologi dilakukan secara cermat dan akurat.
Nepenthes putaiguneung memiliki kantung bawah berukuran 12-13 cm, lebar 1,5-2,3 cm dengan bibir peristome merah mengkilap serta berusuk pendek, 0,3-0,5 mm. Sedangkan kantung bagian atas lebih ramping, berukuran 8,5-15 cm dan lebar 1,4-2 cm, serta berbibir kehijauan dengan rusuk yang sangat pendek, kurang dari 0,3 mm, sehingga tidak nampak jelas.
Nama epithet putaiguneung berasal dari bahasa lokal Kerinci, yaitu putai (puteri) dan guneung atau gunung yang merujuk keanggunan spesies dataran tinggi ini, menyerupai putri gunung. Spesies baru ini diduga endemik Pulau Sumatra dan memerlukan perlindungan khusus dari perubahan habitat serta ancaman pengkoleksian tak terkendali. Penelitian ini berkolaborasi dengan peneliti dari Inggris dan diterbitkan di Phytotaxa.
Dendrobium sagin
Ini adalah anggrek spesies baru berbunga indah dari hutan alami di Papua Barat. Penelitian ini hasil kolaborasi dengan Reza Saputra selaku first author dan staf pengendali ekosistem hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat. Ia juga pernah menjadi mahasiswa biologi Universitas Indonesia bimbingan Destario.
Spesies baru anggrek Dendrobium sagin memiliki bunga berukuran cukup besar dengan lebar antara 3-4 cm dan bunganya berwarna putih bersih bersemburat kekuningan. Bibir bunganya yang kekuningan berbentuk obreniform, dengan rambut-rambut tegak di bagian tengah helaian. Meskipun berbunga indah dan berwarna cerah, namun masa mekar bunganya tidak lama, 1-2 hari saja.
Nama epithet sagin diambil dari bahasa lokal Suku Moi di Papua Barat yang artinya rambut, yaitu merujuk pada tonjolan khas menyerupai rambut di bagian bibir bunganya. Penelitian ini lagi-lagi sudah terbit di Phytotaxa.
Begonia enoplocampa
Flora ini adalah Begonia yang hanya dijumpai di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Ia mudah dikenali dengan batang yang berupa rhizome, daun berbentuk bundar telur melebar dengan tepian daun bergigi hingga bercangap. Bunga spesies ini berwarna putih dengan jumlah perhiasan empat helai tenda bunga pada bunga jantan, dan tiga helai tenda bunga pada bunga betina. Selain itu, spesies ini memiliki bakal buah bersayap tiga berwarna putih.
Nama spesies baru Begonia diambil dari Bahasa Yunani, yaitu enoplos (senjata) dan kampe (ulat). Ini merujuk pada karakter rhizome dan daun penumpunya dengan rambut yang bercabang, yang jika diperhatikan detil akan sangat mirip dengan ulat hijau berduri yang gatal. Penelitian ini juga terpublikasi di Phytotaxa.
Begonia tjiasmantoi
Ini merupakan spesies endemik Pulau Sulawesi. Spesies ini hanya dapat ditemukan di wilayah Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat. Tumbuhan ini adalah salah satu Begonia terunik di Sulawesi karena memiliki kombinasi karakter yang jarang ditemukan di Begonia spesies lainnya. Penampilannya kecil dengan tinggi hanya sekitar 15 cm. Daun berbentuk elips dengan warna kecokelatan disertai hijau terang pada permukaan atas.
Sedangkan permukaan bawah daun berwarna merah marun. Bunganya berwarna kuning, merupakan warna yang sangat langka untuk-spesies-spesies Begonia dari Asia. Namun, spesies endemik ini semakin terancam karena sebagian besar habitatnya telah dikonversi menjadi perkebunan kopi.
Nama spesies ini diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto, dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia. Penelitian ini diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.
Begonia sidolensis
Ini spesies endemik Sulawesi Tengah yang hanya dapat dijumpai di sekitar kawasan puncak Gunung Sidole, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Spesies ini merupakan salah satu hasil kolaborasi penelitian dengan mahasiswa Universitas Tadulako, Eka Putri Dayanti yang saat itu tengah mengerjakan tugas akhirnya tentang ekologi Begonia di Gunung Sidole.
Spesies ini sangat berbeda dengan Begonia lainnya di Sulawesi, dikarenakan memiliki beberapa karakter unik. Di antaranya yaitu perawakan kecil dengan batang yang tumbuh menjalar di atas permukaan tanah. Daun kecilnya berbentuk bundar telur, berwarna kemerahan disertai bercak atau semburat hijau keperakan.
Bunganya berwarna merah muda dan berukuran relatif besar jika dibandingkan dengan proporsi ukuran daunnya. Nama epithet spesies ini menggunakan nama gunung, spesies ini tumbuh dan ditemukan, yaitu Gunung Sidole dan telah terekspose di Phytotaxa.
Etlingera tjiasmantoi
Ia merupakan salah satu spesies dari suku jahe-jahean (Zingiberaceae) yang saat ini hanya ditemukan di hutan Pegunungan Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Spesies ini ditemukan saat ekspedisi Sulawesi yang dilakukan awal 2020, sebelum merebaknya pandemi di Indonesia.
Jenis baru ini dideskripsi bersama peneliti Zingiberaceae dari Pusat Penelitian Biologi, Marlina Ardiyani. Spesies ini terlihat mirip kerabatnya Etlingera flexuosa, namun dapat dengan mudah dibedakan pada tangkai anak daunnya yang lebih panjang, buah yang berbentuk bulat telur sungsang, dan tidak berduri.
Nama spesies ini diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto, dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia. Penelitian sudah diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.
Berbagai temuan spesies baru tersebut adalah bukti nyata bahwa hutan Indonesia menyimpan banyak kekayaan hayati yang belum terkuak oleh ilmu pengetahuan. Namun, ancaman terhadap kelestarian hutan, terutama di kawasan pusat biodiversitas, menjadi sebuah tantangan besar yang harus dihadapi.
Oleh karenanya, eksplorasi intensif oleh para peneliti yang saling berkolaborasi dengan banyak pihak perlu terus didorong sebagai langkah awal konkret dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati, khususnya flora tumbuhan di Indonesia.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari