Suryadi, kini 54 tahun, adalah orang Minang tulen. Dia doktor lulusan Leiden. Pendidikan sarjananya ditempuh di Universitas Andalas, Padang. Nama berbau Jawa yang dia dapatkan adalah salah satu akibat dari peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang mengguncang Sumatra Barat di akhir 50-an. Kelahiran Padang Pariaman 13 Februari 1965, Surya Suryadi, nama dia di Wikipedia, mendapatkan gelar doktor setelah merampungkan uji desertasi yang dia beri judul The Recording Industry and Regional Culture in Indonesia; The Case of Minangkabau.
Universitas Texas Press, menerbitkan salah satu makalah yang terkait dengan disertasi Suryadi. Alamatnya bisa diakses pada tautan http://www.jstor.org/stable/4098457. JSTOR adalah salah satu lembaga nirlaba di internet yang mendukung kerja-kerja akademik dengan menggunakan perkembangan teknologi informasi. Berikut adalah kupasan singkat makalah Suryadi, yang panjang tulisan beserta referensi yang dia gunakan berjumlah 40 (empat puluh) halaman.
Suryadi memulai makalahnya dengan fokus pada isu pengaruh industri rekaman terhadap perkembangan sosiokultural orang Indonesia, dalam hal ini orang Minangkabau. Selama ini dalam pengamatan Suryadi, makna penting kaset rekaman atau medium yang berkembang kemudian, banyak diabaikan oleh para ahli peneliti media sebelumnya.
Kedatangan "Mesin Bicara"
Akhir abad 19, Padang adalah salah satu dari sedikit kota di Hindia Belanda yang paling maju. Penduduknya yang beragam membentuk iklim kosmopolitan yang khas. Padang pada masa itu adalah kota yang kaya dengan berbagai latar budaya. Mereka adalah orang-orang Minangkabau, Jawa, Nias, Cina, Cina Makao, Arab, Persia-Turki, Keling (India-Tamil), Jepang, Eropa, dan Eurasia lainnya.
Sebagai kota yang dijadikan pangkalan militer Belanda, Padang adalah tempat merawat prajurit-prajurit Belanda yang terluka selama perang Aceh berlangsung (1873-1914). Sebagai akibatnya banyak didirikan bangunan-bangunan penting seperti barak militer, rumah sakit, gedung pemerintahan, hingga kantor perdagangan.
Setelah Emmahaven, nama Belanda untuk bandar Teluk Bayur, dibuka pada 1892, lengkap sudah Padang menjadi kota modern. Pesatnya perkembangan kota Padang adalah imbas dari tersambungnya hubungan yang erat dengan kota-kota lain di sepanjang pantai barat Sumatra, Batavia, Semarang, Surabaya, Singapura, Penang, Timur Tengah, hingga Eropa.
Alat rekaman tiba di Padang pertama kali tercatat pada 1898. Sebuah fonograf buatan Edison, diimpor langsung untuk memperingati penobatan Ratu Wilhelmina. Sepuluh tahun kemudian barang serupa itu sudah beredar di pasar Kota Padang dan Fort de Kock, alias Bukittinggi.
Tetapi bukan Padang jika tidak ada kompetisi dalam perdagangan. Tiga puluh tahun setelah awal abad 20, importir Belanda mendapat saingan dari pedagang-pedagang Cina. Perusahaan seperti Firma Siauw Beng Tjoan, Toko Lie Sam Tjoen, Toko Public, dan Toko Madju mulai menjual 'mesin bicara'. Di Bukittinggi muncul Toko Minangkabau yang menjual barang yang serupa. Belakangan muncul pula Toko Anti Mahal, milik orang Minang, yang menjual gramofon dan piringan hitam.
Naikkan Status Sosial
Segera "mesin bicara" menjadi lambang tingginya status sosial si empunya. Gramofon adalah perangkat hiburan rumah yang melambangkan kekayaan. Awalnya yang punya hanya orang Eropa atau Eurasia.
Tetapi tak lama kemudian, berkembangnya kemakmuran di Kota Padang membuat pegawai pemerintah, hingga pedagang-pedagang dan pengusaha lokal mengkoleksi gramofon dan piringan hitam yang didapatkan dari toko atau pelelangan. Macam rekamannya sangat beragam, mulai dari musik klasik Schubert, Schumann, Chopin hingga Mendelssohn, sampai dengan rekaman Krontjong dan Komedi Stamboel. Sebagai catatan harga gramofon pada waktu itu berada pada kisaran 40 hingga 80 gulden, jika dirupiahkan saat ini berada di antara 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) juta rupiah.
Tiga puluh tahun pertama abad 20 adalah proses yang kemudian memunculkan genre lagu-lagu Minangkabau Piringan yang dibuat oleh label Beka, Odeon, dan Tjap Angsa adalah pelopor genre itu. Sejak awal piringan itu dibuat untuk diperdagangkan. Di tahun 40-an orang sudah bisa membeli rekaman seperti "Angsa Minangkabau," "Koedo-doeo," "Polau Air," "Odeon Minangkabau," "Tjap Singa," "Tjap Kutjing," dan lain-lain dengan harga sekitar 1,35 gulden satuannya.
Artis-artis lokal Minangkabau, saat itu pun sudah masuk rekaman. Salah satunya seperti Jadji Moein dari Lintau. Dia adalah penyanyi lagu-lagu kasidah. Paruh pertama abad 20 tercatat sudah ada 170 rekaman genre Minangkabau dari 15.582 piringan yang diperdagangkan di seluruh Hindia Belanda dan Semenanjung Melayu. Angka ini adalah urutan kedua tertinggi setelah rekaman dari Jawa (irama Melayu).
Suryadi memperkirakan para pembelinya adalah orang-orang kaya Minang, orang keturunan Eropa, dan berbagai etnis lainnya yang menyebar di Ranah Minang hingga rantau. Orang-orang kaya yang berpendidikan modern dan para perantau membentuk lapisan menengah yang tercatat dalam berbagai "kaba" atau cerita lisan yang berkembang.
Siapa yang pertama kali merekam genre Minangkabau, dalam catatan Suryadi masih belum jelas. Sepertinya perusahaan rekaman seperti Tio Tek Hong, atau Jo Kim Tjan Record yang punya studio di Batavia adalah salah satunya. Pada saat itu membuat rekaman di luar daerah sangat lazim karena jarang sekali keberadaanya di daerah. Peralatan rekaman sendiri pada saat itu relatif cukup mudah untuk dikemas dan berpindah-pindah. Sekitar 1890-an beberapa perusahaan Eropa bahkan merekam musik dari berbagai wilayah Asia.
Walaupun sudah sejak 30-an genre Minangkabau sudah terekam dalam piringan, tetapi macamnya hanya sedikit. Kebanyakan rekaman orang Minang hanyalah lagu-lagu Minang dan bacaan Quran. Rekaman lagu-lagu itu pun, dicatat oleh etnomusikolog Jaap Kunst, hanya berupa rekaman suara berdendang diiringi siulan (pupuik) dan suling (saluang).
Teknologi Pita Kaset
Perubahan besar terjadi ketika muncul teknologi pita kaset. Pita seluloid membuat harga komersial rekaman lebih murah. Rekaman genre Minangkabau dalam jumlah besar bermula sejak awal 70-an. Produksi-produksi yang muncul kemudian umumnya direkam di Padang. Sisanya direkam di Bukittinggi. Bentuknya pun menjadi beragam mulai dari cerita tutur (kaba), drama tradisional, rekaman upacara adat, hingga lagu-lagu pop Minang. Perkembangannya yang masih berlanjut hingga saat ini memungkinkan perusahaan rekaman di Sumatera Barat untuk merekam genre dari wilayah sekitar seperti Melayu Riau, Bangkinan (Kuantan), dan Melayu Jambi.
Dalam blog pribadinya, Suryadi menilai bahwa industri rekaman di Sumatra Barat hingga hari ini masih merupakan industri rekaman daerah yang terbesar di luar Jawa. Data dari tahun 2008 yang ditulis Agusli Taher, pemilik Pitungan Record, memperkirakan ada 70-an perusahaan rekaman di Sumatra Barat. Di dalamnya termasuk perusahaan-perusahaan lama seperti Tanama Record dan Sinar Padang Record. (Y-1)