Kegaduhan sempat terjadi dua pekan lalu tak lama setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga Indonesia yang positif mengidap virus corona mutan.
Perkaranya, ada pejabat daerah tempat pasien kasus 1 dan kasus 2 tinggal. Di mana secara detil tempat tinggal mereka disebutkan. Tak lama setelah itu, jagad media sosial ramai. Sejumlah orang memposting alamat rumah, bahkan nama lengkap dan foto mereka.
Beredarnya detil alamat, foto, dan nama pasien itu menuai kecaman karena itu dianggap melanggar privasi pasien. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid penyebarluasan detil data dua pasien positif virus berbahaya itu membuat pasien tertekan dan masyarakat resah.
Usman mengingatkan, Indonesia telah meratifikasi hukum-hukum internasional hak asasi manusia yang mewajibkan pemerintah memastikan kesehatan warganya, ketersediaan layanan, dokter dan keperluan kesehatan lainnya, termasuk melindungi hak privasi.
"Ini harus dipatuhi semua pejabat pemerintah, dari atas hingga ke bawah," katanya.
Karena menuai kecaman, Presiden Joko Widodo pun turun tangan sehari setelah mengumumkan itu. “Kepada kedua pasien yang kemarin saya sampaikan, kasus 1 dan kasus 2, saya perintahkan ke menteri untuk mengingatkan agar rumah sakit, agar pejabat pemerintah itu, tidak membuka privasi pasien,” kata Jokowi dalam jumpa pers di Veranda Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (3/3/3020).
Wanti-wanti juga disampaikan Jokowi kepada media agar juga ikut menghormati privasi pasien itu. Menjaga privasi diperlukan agar pasien tidak tertekan.
Apa itu privasi pasien? Cambridge Dictionary mengartikan privasi sebagai hak yang dipunyai seseorang untuk menjaga kehidupan personal atau rahasia informasi personal agar hanya untuk diketahui sekelompok kecil saja. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut privasi sebagai kebebasan atau keleluasan pribadi.
Hak privasi ini dilindungi oleh sejumlah undang-undang.
Pengaturan Hak Privasi:
1. Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Bunyinya: "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."
2. Pasal 17 Huruf h dan i, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Bunyi Pasal 17: Badan publik wajib membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali:
- Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
Riwayat, kondisi, dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
3. Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyebut, “Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini.”
4. Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik juga telah menyebutkan bahwa (1) tidak ada seorang pun yang boleh dicampuri secara sewenang-wenang atau secara tidak sah masalah pribadi, keluarga, rumah, atau korespondensinya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya; dan (2) setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan tersebut.
5. Pasal 22 Ayat (1) b Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang menyebut, "bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien."
6. Pasal 12 Kode Etik Kedokteran yang menyebut, "setiap dokter wajib merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.”
Penulis: Fajar WH
Redaktur: Firman Hidranto/Ratna Nuraini