Indonesia.go.id - Kiprah Para Penginjil Jawa

Kiprah Para Penginjil Jawa

  • Administrator
  • Selasa, 18 Desember 2018 | 07:35 WIB
AKULTURASI BUDAYA
  Kiai Tunggu Wulung. Sumber foto: Sketsa Gambar

Kejawen bukan saja telah memberi lanskap pada proses Kekristenan di Jawa, tapi lebih dari itu juga telah memberikan makna kontekstual terhadap dogma-dogma ortodoksi Kristen sesuai dengan situasi zamannya saat itu.

Sederet nama dikategorikan sebagai para penginjil besar pribumi, yang dilahirkan di abad ke-19. Mereka di antaranya adalah Paulus Tosari, Kiai Tunggul Wulung, dan Kiai Sadrach. Paulus Tosari dikenal sebagai seorang penginjil Jawa di Surabaya. Keberadaan Gereja Kristen Jawi Wetan yang masih eksis hingga kini tak lepas dari hasil besutannya. Paulus Tosari dikenal oleh banyak orang di luar daerahnya karena menulis pelajaran-pelajaran agama dalam bentuk tembang atau puisi Jawa.

Paulus Tosari sendiri adalah murid Coenraad Laurens Coolen. Jika Nommensen ialah si Rasul Suku Batak dan J Kam ialah si Rasul Suku Ambon, maka Coolen-lah bisa disebut sebagai Rasul Suku Jawa.

Penting diketahui latar belakang Coolen. Berbeda dengan Nommensen dan J Kam yang asli Eropa dan mendapat pendidikan kekristenan di Eropa, Coolen adalah anak blasteran Indonesia. Ayahnya keturunan Rusia dan ibunya keturunan ningrat Mataram, Coolen dilahirkan di Semarang pada 1785. Karena dibesarkan seorang ibu ningrat Jawa, maka pengetahuannya tentang Kejawen sangatlah mendalam. Demikian pula pengetahuan Kekristenan yang didapat dari ayahnya. Latar belakang kedua orang tuanya yang berbeda budaya ini membuat Coolen menggabungkan Kejawen dengan Kekristenan.

Menariknya, sejak awal Coolen telah menyadari hambatan psikologis bagi orang Jawa jika hendak melakukan konversi keagamaan menjadi Kristen. Menurutnya, sebagai orang-orang Kristen Jawa, orang Jawa haruslah tetap sebagai orang Jawa.

Demikianlah Tosari, yang awalnya bernama Kasan Jariyo, mendengar ajaran Coolen soal pengampunan dosa. Dia pun pergi ke Ngoro pada 1840, dan berguru pada Coolen. Namanya kemudian diubah menjadi Tosari. Namun karena Coolen tidak memiliki hak untuk melakukan pembaptisan, maka Tosari pergi ke Surabaya menemui Pendeta Johannes Emde dan dibaptis pada 12 September 1844. Nama baptis Tosari adalah Paulus.

Namun Johannes Emde berbeda seratus delapan puluh derajat dari Coolen. Menjadi Kristen ala Emde justru harus menolak seluruh kebiasaan budaya Jawa. Emde tak hanya membaptis, juga menyuruh orang Jawa memotong rambut, memakai pakaian Eropa, dan menjauhkan diri dari menonton wayang kulit yang dianggapnya sebagai seni ritual yang bersifat semisakral.

Pada 1844 Johannes Emde sebagai pendeta mendirikan sebuah desa yang diberi nama Mojowarno, berlokasi 6 kilometer dari Ngoro. Paulus Tosari diangkat menjadi Pemuka Jemaat Kristen Jawa di Mojowarno sesuai Surat Keputusan dari Majelis Jemaat Kristen Protestan di Surabaya pada 29 Maret 1851.

Walaupun Tosari dibaptis oleh Pendeta Johannes Emde, Tosari ternyata lebih memilih mengajarkan Injil ala Coolen, sekalipun tanpa meninggalkan praktik sakramen ala Emde. Mengabarkan Injil dengan menggunakan kultur Jawa, wayang kulit digunakannya sebagai media menyebarkan ajaran Kristen.

Selain itu, dia juga menggubah puisi panjang dalam bahasa Jawa, baik itu berbentuk asmaradana, kinanthi, pucung, pangkur, maskumambang, mijil, gambuh, dandanggula, megatruh, hingga sinom. Yang paling tersohor ialah puisinya yang dikumpulkan dengan judul “Rasa Sedjati”.

Berikut isi syairnya, ‘Rasa sajati pinangkanipun saking Gusti Allah; tanpa rasa sajati manungsa boten leres wonten ngarsanipun Pangeran. Suraosing gesang ingkang nunggil kaliyan suraosing Gusti Allah punika kaurmatan lan pangabekti; saged langgeng wonteng ing pejah saha gesang, punapa malih begja utawi cilaka. Manungsa ingkang nampi dhawuhing Gusti Allah punika ingkang kanggenan rasa sajati; gadhah kamukten salabetipun nandhang nistha, saha kabegjan salebetipun nandhang sangsara, tindaking gesangipun boten miturut raosing hawa napsu’.

Peninggalan Paulus Tosari yang utama adalah Gereja Mojowarno. Gereja ini diresmikan pada 8 Maret 1881. Bersama gereja-gereja Jawa di Jawa Timur, pada 11 Desember 1931, di gedung gereja Jemaat Mojowarno diresmikan Majelis Agung sebagai upaya mempersatukan 29 raad pasamuwan alit (majelis jemaat) di Jawa Timur. Pemerintah Hindia Belanda secara resmi menyebut sebagai Oost Javaansche Kerk, yang akhirnya kini menjadi dikenal dengan nama Gereja Kristen Jawi Wetan.

Ngelmu Baru Ala Kiai Tunggul Wulung

Bicara tentang Kekristenan Jawa khususnya di sekitaran Pantura tentu tidak dapat dipisahkan dari nama Kiai Tunggul Wulung. Sayangnya, kini nama besar penginjil Jawa ini boleh dikata kurang familiar dalam catatan sejarah Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ).

Tunggul Wulung nisbi kalah populer dibandingkan dengan Pieter A Jansz, seorang misionaris badan misi Belanda. Catatan sejarah mengenai asal mula GITJ pun sebagian besar merujuk pada Janz sebagai tokoh utamanya.

Susah untuk melacak catatan sejarah perpindahan keyakinan Tunggul Wulung ini. Tradisi lisan atau folklore di sekitar Muria menceritakan sejarah bagaimana hasrat pencarian akan kawruh atau ngilmu sangat lekat dengan sosok Tunggul Wulung ini. Selain itu, juga diceritakan sikap antikolonialisme-nya yang kuat.

Tradisi lisan juga menceritakan, hasrat Tunggul Wulung belajar Kristen dikarenakan ia menerima wangsit di Gunung Kelud. Dikisahkan, dia mendapatkan secarik kertas di bawah tikar yang ternyata berisi ayat Kitab Suci Kristen berupa sepuluh perintah Tuhan (Keluaran 20). Penemuan kertas itu diikuti wangsit lain yang menyuruhnya pergi ke arah Timur Laut untuk menemui seseorang yang mampu menjelaskan arti kata-kata dari apa yang tertulis di kertas itu.

Demikianlah Tunggul Wulung mengikuti wangsit itu dan bertemu dengan seorang misionaris bernama Jellesma di Mojowarno. Setelah pertemuannya dengan Jellesma, Tunggul Wulung melanjutkan petualangannya ke beberapa daerah. Hingga beberapa tahun kemudian Tunggul Wulung menetap di Jepara. Di sana bertemu dan membantu Sem Sampir, murid Jellesma, yang posisinya saat itu membantu tugas pelayanan misionaris Jansz.

Pertemuan Tunggul Wulung dengan Jansz di Jepara terjadi pada 11 Januari 1854. Namun di antara keduanya terjadi perbedaan cukup tajam. Akhirnya dengan surat dari Jansz, dia kembali ke Mojowarno menemui Jellesma.

Sekitar 1855 di Mojowarno Tunggul Wulung dibaptis Jellesma, sesuatu yang sangat disayangkan oleh Jansz. Melalui pembaptisan itu, Tunggul Wulung mendapat imbuhan nama Ibrahim. Ibrahim dipilihnya karena memiliki makna simbolis, yaitu Abraham yang menjadi bapa banyak bangsa, demikian juga Tunggul Wulung juga ingin menjadi bapa bagi orang banyak.

Ibrahim Tunggul Wulung kemudian membentuk komunitas alternatif di Jepara. Dalam perjalanananya warna mistisme Jawa tampak mewarnai kekristenan ala Tunggul Wulung, yang sedikit banyak didasarkan pada pengharapan mesianis kedatangan Ratu Adil.

Bagi Tunggul Wulung orang-orang yang telah menjadi Kristen perlu dikumpulkan menjadi komunitas baru dengan membuka desa baru melalui “babat alas”. Komunitas baru ini kemudian menjadi komunitas yang merdeka yang tidak di bawah kekuasaan kolonial. Perbedaan visi inilah yang selanjutnya jadi sumber pertentangan antara Tunggul Wulung dan Jansz.

Keberhasilan Tunggul Wulung memperoleh banyak pengikut tidak bisa lepas dari ajarannya tentang ngelmu. Seperti diketahui orang Jawa memahami bahwa tidak ada perbedaan hakikat dalam ngelmu. Ngelmu baru yaitu Kristen pada hakikatnya tidak berbeda dengan ngelmu lama. Hanya saja yang baru dilihat lebih tinggi dari pada yang lama.

Metode penyebaran ngelmu Kristen dilakukan dengan spontan melalui tukar kawruh atau “perdebatan ngelmu” yang biasa terjadi di masyarakat jawa. Tak aneh, Kiai Tunggul Wulung juga memberikan rapal-rapal tertentu yang harus dibaca para pengikutnya lazimnya tradisi mistisisme Orang Jawa. Pada konteks ini, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung bisa dikatakan banyak memiliki kesamaan dengan penyebar Islam Jawa.

Kiai Sadrach, Sang Rasul Jawa

Tak berbeda dari kisah dua penginjil besar Jawa sebelumnya, Kiai Sadrach merupakan contoh kepemimpinan Kristen yang berhasil mengembangkan jemaat pribumi yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Jawa. Bahkan pada masa hidupnya, Kiai Sadrach pernah menjadi seorang pemimpin Jawa yang terhormat dari gereja terbesar di Jawa.

Berasal dari Purworejo. Nama mudanya adalah Radin. Terlahir sekitar 1835, dari keluarga Islam Jawa di Kawedanan Jepara. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah umum dan belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur, ia tinggal di daerah kauman di Semarang. Di sana ia menambahkan nama Arab pada namanya menjadi Radin Abas.

Beberapa waktu kemudian terjadi sesuatu pada dirinya. Radin tertarik kepada agama Kristen, setelah mengetahui bahwa bekas guru ngelmu-nya yang bernama Kurmen, telah menjadi Kristen oleh penginjil Tunggul Wulung.

Radin muda sangat serius dan terkesan dengan pengajaran Tunggul Wulung. Untuk itu Radin bersama guru ngilmu-nya Kurmen pergi ke Batavia pada 1866 menemui Anthing. Radin pun mengambil keputusan dibaptis pada 14 April 1867 dengan mengambil nama baptis Kristen, yakni Sadrach.

Mengawali karirnya sebagai penginjil Jawa ialah sebagai pembantu pelayanan Kiai Tunggul Wulung di Semarang. Mengikuti metode Kiai Tunggul Wulung, dia menggunakan metode debat umum yang dipakai guru-guru ngilmu Jawa, yaitu dengan menantang guru lain untuk berdebat kawruh. Guru ngilmu yang dikalahkan beserta murid-muridnya harus menjadi murid guru ngilmu yang menang.

Kiai Sadrach segera terlihat memiliki bakat yang besar dalam penginjilan. Pada akhir 1873-an, keanggotaan jemaatnya mencapai hampir 2.500. Suatu angka yang sangat fantastik dalam sejarah pekabaran Injil di Jawa. Jumlah ini dicapai hanya dalam waktu 3 tahun, yaitu kurun 1870--1873. Untuk menghindari benturan antara ajaran Kristen dengan Islam, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan aturan pelarangan mengabarkan Injil kepada mereka yang telah memeluk agama Islam.

Mengingat prestasi Kiai Sadrach tersebut, pada 1899 dia ditahbiskan menjadi Rasul Jawa di Batavia. Kedudukan rasul ini diakui internasional, dan oleh karena itu sekarang Kiai Sadrach memiliki hak untuk memberikan sakramen. Sejak itu kedudukan Kiai Sadrach sebagai pemimpin gereja adalah sejajar dengan pemimpin gereja lainnya, pun juga jemaatnya berdiri sejajar dengan kelompok jemaat yang lain.

Namun dalam perjalanannya populeritas Kiai Sadrach Sadrach juga berakibat posisinya semakin disudutkan. Dia dianggap telah melakukan sinkretisme antara Kristen dan Kejawen, serta tidak mengerti hakikat dari spirit ortodoksi Kristen. Tuduhan lain yang paling parah, ialah Kiai Sadrach dianggap menempatkan dirinya sebagai Ratu Adil. Dia dianggap mengklaim diri sebagai manifestasi Kristus atau konsep Ratu Adil yang akan datang.

Gencarnya berbagai isu miring tentang Kiai Sadrach membuat NGZV (Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereenigin) melakukan penyelidikan, ironisnya tanpa pernah melakukan wawancara langsung dengan pihak bersangkutan. Bahkan Kiai Sandrach kemudian juga dituduh menentang Belanda dan sempat dipenjara tetapi kemudian dibebaskan kembali. Ini dikarenakan saat itu Kiai Sadrach menentang kebijakan pemerintah Belanda terkait program vaksinasi cacar.

Karena satu atau lain hal, ketegangan pun memuncak. Pada 1891 para misionaris Belanda mendeklarasikan pemisahan diri dari jemaat Kiai Sadrach. Sejak saat itu, purna sudah hubungan orang-orang Kristen Eropa dengan orang Kristen Jawa. Walhasil, gereja yang didirikan Kiai Sadrach pada akhirnya berjalan sendiri.

Selama 30 tahun (1894-1924), Kiai Sadrach tetap berperan sendiri menjadi pendeta dan memimpin sakramen perjamuan kudus, tanpa pernah melibatkan pihak misi Belanda. Namun seiring adanya perubahan strategi misionarisme Belanda, yaitu dari perkebunan di pedesaan bergeser model pendekatan melalui pendidikan dan kesehatan di perkotaan, maka jemaat Kiai Sadrach mulai surut.

Kiai Sadrach semakin terasing dan secara praktis posisinya tampak kembali pada tradisi kiai atau guru ngilmu khas semesta dunia Jawa. (W-1)