Sega Jamblang atau Nasi Jamblang merupakan makanan khas dari Cirebon, Jawa Barat. Paling khas dari kuliner ini, nasinya dibungkus daun jati. Nasi pun jadi pulen. Nama Jamblang diambil dari nama daerah asal pertama sang penjual. Tidak ada kaitan dengan buah jamblang.
Jika mengunjungi Kota Cirebon, tidak lengkap tanpa wisata kuliner. Salah satu yang wajib dicoba adalah Sega Jamblang. Sajiannya, nasi dibungkus daun jati setiap porsinya. Satu porsi nasi umumnya satu kepal tangan. Jadi untuk sekali makan minimal dua bungkus nasi. Sedangkan aneka lauk disajikan secara prasmanan.
Paling tidak, 10 tahun terakhir, sepanjang jalan Pantura Cirebon, sampai masuk Kota Cirebon, sudah banyak dijumpai penjual Sega Jamblang. Baik yang berbentuk restoran atau tenda di pinggir jalan. Yang restoran umumnya juga menjual makanan khas Cirebon lainnya. Seperti Empal Gentong dan Sega Lengko.
Mereka menjajakan Sega Jamblang dengan konsep yang hampir sama. Meja ukuran besar ditempatkan di tengah. Di atasnya aneka lauk pauk yang diambil secara prasmanan oleh pembeli. Sedangkan nasi sudah dibungkus daun jati yang diletakkan di bakul berukuran besar.
Seorang pelayan akan menyajikan nasi yang dibungkus daun jati itu sesuai porsinya. Kemudian diberi sambel goreng. Setelah itu, pembeli baru bisa memilih menu lainnya secara prasmanan. Jika di warung tenda, pembeli duduk di bangku yang melingkari menu prasmanan. Kalau di restoran disediakan meja makan.
Di beberapa tempat, Sega Jamblang tidak menggunakan daun jati. Pakai kertas nasi. Alasannya, susah mendapatkan daun. Namun, tetap mayoritas masih setia mempertahankan daun jati. Selama ini, daun jati dipasok dari wilayah Cirebon dan sekitarnya. Seperti Majalengka, Indramayu, dan Kuningan.
Dari banyaknya penjual, ada beberapa lokasi yang akrab di telinga. Yakni, Nasi Jamblang Mang Dul di Jalan Cipto Mangunkusumo. Tepatnya di depan Grage Mal Cirebon. Ada juga Nasi Jamblang Pelabuhan, terletak di sebelah Taman Ade Irma Suryani, Pelabuhan Cirebon.
Lokasi lainnya adalah Sega Jamblang Bu Nur yang berada di Jalan Cangkringan, Kota Cirebon. Untuk harga cukup terjangkau. Rata-rata setiap item makanan dijual Rp 1000 sampai Rp 5000. Jadi, satu porsi makan antara Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu.
Lauk yang disajikan sebagai pelengkap Sega Jamblang banyak pilihannya. Mulai sambal goreng, tahu sayur, paru-paru, semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar atau telur goreng, semur ikan, ikan asin, tahu tempe, dan lainnya.
Dari sekian menu yang harus dicoba adalah sambel goreng. Cabai merah dengan rasa khas. Lainnya adalah balakutak hidueng. Makanan cumi-cumi atau sotong berkuah kental itu dimasak bersama dengan tintanya. Jadi masakan berwarna hitam seperti rawon.
Memang, sensasi nasi yang dibungkus daun jati, terasa. Nasi sangat pulen. Apalagi, sebelum disantap, nasi disiram kuah semur. Nendang di lidah. Pantas saja, ada warga Jakarta yang pertama kali makan Sega Jamblang, mengaku, nasinya bikin ngantuk saking pulennya. Jadi, wajib dicoba.
Sejarah Sega Jamblang
Jamblang berasal dari nama desa di sebelah barat Kabupaten Cirebon. Tempat asal pedagang yang mempopulerkan masakan tersebut. Sega Jamblang awalnya makanan para pekerja paksa pada zaman Belanda. Mereka sedang membangun Jalan Raya Daendels sepanjang 1000 kilometer dari Anyer ke Panarukan yang melewati wilayah Kabupaten Cirebon.
Pemilihan daun jati, karena para pekerja bisa menyimpan nasi lebih lama. Nasi yang dibungkus daun jati jadi awet dan bisa bertahan beberapa hari. Saat itu kabarnya banyak warga yang kelaparan, bahkan sampai meninggal, karena kekurangan makanan. Sejak itu, nasi dibungkus daun jati jadi populer di kalangan pekerja.
Daun jati memiliki tekstur yang tidak mudah sobek dan rusak. Daunnya memiliki pori-pori yang dapat membantu menjaga keadaan nasi agar tidak mudah basi. Meskipun disimpan dalam jangka waktu yang lama.
Pada sekitar 1847, bisa dikatakan menjadi cikal lahirnya Sega Jamblang. Saat itu, Belanda membangun tiga prabrik. Dua pabrik tebu di Plumbon dan Gempol. Satunya pabrik spriritus di Palimanan.
Dibangunnya tiga pabrik tersebut menyerap banyak pekerja. Mereka berasal dari Cirebon dan daerah sekitarnya. Seperti Sindangjawa, Cisaat, Cidahu, Bobos, dan lainnya. Para pekerja tersebut terus bertambah. Di sisi lain tidak ada penjual nasi di sana. Kepercayaan saat itu, tidak baik atau pamali jual nasi. Masyarakat saat itu lebih baik menyimpan beras daripada beli nasi.
Namun seiring waktu banyak pekerja mencari warung nasi. Sampai akhirnya tergerak wrga Jamblang bernama Ki Antara atau H Abdul Latif dan istrinya Ny Pulung atau Tan Piauw Lun. Keduanya bersodaqoh makanan untuk sarapan para pekerja tiap harinya. Mereka menggunakan daun jati untuk membungkus nasinya.
Dari mulut ke mulut informasi itu menyebar. Akhirnya banyak pekerja yang makan di sana. Meski awalnya gratis, para pekerja merasa tidak enak. Mereka pun sepakat memberikan sukarela untuk makanan yang mereka makan.
Dari sana lah Sega Jamblang akhirnya dijual oleh banyak orang. Tidak hanya warga Desa Jamblang, tapi warga Cirebon lainnya. Termasuk juga di kota besar seperti Jakarta, pengusaha Sega Jamblang berjualan. (K-IS)