Indonesia.go.id - Uniknya Pasar Hewan Tolo Jeneponto

Uniknya Pasar Hewan Tolo Jeneponto

  • Administrator
  • Kamis, 22 Juni 2023 | 07:00 WIB
PARIWISATA
  Pedagang kuda menunggu pembeli di Pasar Hewan Tolo, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/ Arnas Padda
Tak hanya dikenal sebagai lumbung ternak kuda nasional, Sulawesi Selatan juga memiliki pasar untuk memperdagangkan kuda dan menjadi yang pertama di tanah air.

Bunyi riuh ringkikan kuda memecahkan kesunyian pagi seolah mengiringi langkah belasan jemaah keluar dari Masjid Passamaturakkang. Semakin jauh kaki melangkah meninggalkan rumah ibadah bernuansa hijau krem dengan menara empat lantai dan telah digunakan sejak setahun terakhir, suara tadi semakin jelas terdengar. Rupanya sumber suara berasal dari sebuah lapangan tepat sekitar 50 meter dari lokasi masjid berdiri dan hanya dipisahkan oleh deretan belasan kios semipermanen.

Di sana, ada beberapa bangunan beratap tanpa tembok berdiri di atas lapangan yang tersembunyi di balik belasan kios. Sebuah pintu masuk berpagar besi selebar sekitar 3 meter menjadi akses satu-satunya menuju lapangan, tak jauh dari simpang empat jalan, sekitar 200 meter arah utara masjid.

Ketika melewati pintu dan memasuki lapangan, mata kita akan langsung tertumbuk pada pemandangan asal suara dari hewan berekor menjuntai. Ratusan ekor kuda menyesaki lapangan ditemani oleh para pemiliknya yang memegang tali kekang. Itulah sekelumit suasana pagi di Pasar Hewan Tolo yang berada di Kelurahan Tolo, Kecamatan Kalara, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.

Meski namanya Pasar Hewan Tolo, kenyataannya di Sabtu pagi itu sejauh mata memandang, hewan yang dapat kita lihat hanyalah kuda dalam aneka warna, ada putih, cokelat pekat, cokelat kehitaman, hitam pekat, dan abu bintik hitam, atau cokelat. Masyarakat pun telanjur mengenalnya sebagai Pasar Kuda Tolo.

Tak hanya di Pulau Sulawesi, Pasar Kuda Tolo juga yang pertama dan terbesar di Indonesia. Pasar hewan berukuran panjang 125 meter dan lebar 80 meter serta berdiri di atas lahan seluas sekira 1 hektare ini letaknya berdekatan dengan pasar rakyat yang baru selesai dibangun beberapa tahun lalu.

Pasar Hewan Tolo awalnya resmi difungsikan sektar tahun 1983 oleh Pemerintah Kabupaten Jeneponto. Tujuannya untuk menampung hasil peternakan masyarakat terutama kuda yang akan diperdagangkan.

Desain awalnya, pasar itu dibangun untuk menampung maksimal 1.000 ekor kuda. Tapi dalam perkembangannya saat ini, lokasi itu seperti tak mampu menampung banyaknya hewan bernama latin Equus caballus yang dibawa pemiliknya.

Di Pasar Kuda Tolo yang beroperasi di hari Sabtu mulai pukul 7.00 sampai 13.00 WITA itu, kuda-kuda tidak hanya didatangkan dari sekitar Kecamatan Kalara, melainkan juga dari daerah lain di seputar Jeneponto. Calon pembeli pun bukan hanya datang dari sekitar Jeneponto. Sebagian besar justru berasal dari luar kabupaten, seperti Bantaeng, Bulukumba, dan Kota Makassar, sekitar dua jam perjalanan darat dari Jeneponto.

Kuda yang diperdagangkan umumnya berjenis kuda poni Sandel (Sandalwood pony) asal Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat atau dikenal sebagai kuda sumba dan kuda sumbawa serta ada pula kuda bugis. Inilah hasil persilangan antara kuda arab dengan kuda poni lokal dan menjadi andalan untuk pacuan kuda. Ciri khasnya, memiliki bentuk lebih kecil dari kuda pada umumnya meski larinya tak kalah cepat. 

Rentang harganya berkisar antara Rp6 juta sampai Rp30 juta tiap ekornya. Sebagian kuda didatangkan ke Pasar Hewan Tolo langsung dari Flores dan Sumbawa oleh sejumlah pedagang besar melalui Pelabuhan Bungeng di Kecamatan Batang, Jeneponto.

Kuda-kuda di Pasar Kuda Tolo yang dijual harus dalam kondisi sehat, dibuktikan dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) dari dinas pertanian dan peternakan setempat. Posturnya berkisar 150--165 sentimeter atau seukuran orang dewasa.

Rata-rata transaksi yang berhasil dibukukan setiap pekan oleh para pedagang antara 150 hingga 200 ekor dengan nilai total mencapai Rp2 miliar atau sekitar Rp104 milair per tahun. Demikian diungkap dari penelitian Handayani Indah Susanti dan kawan-kawan, mahasiswa Jurusan Ilmu Peternakan, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dalam Pola Pemasaran Ternak Kuda di Pasar Hewan Tolo Kabupaten Jeneponto pada 2021.

Tidak ada patokan khusus soal harga tiap kuda, semua bergantung kesepakatan bersama antara penjual dan pembeli. Umumnya, kuda yang didatangkan dari luar Jeneponto seharga jutaan rupiah per ekor, akan laku terjual di angka belasan juta rupiah per ekor dalam satu kali transaksi.

Penjual kuda di sana tidak didominasi oleh orang dewasa. Di lokasi komersial itu, terdapat pula remaja serta anak-anak, yang tak kalah lincah dalam menawarkan kuda dagangannya kepada calon pembeli.

Keriuhan suasana turut menjalar hingga ke luar Pasar Kuda Tolo. Belasan mobil bak terbuka yang terparkir di tepi jalan menjajakan beragam dagangan, sebagian berupa produk vitamin dan suplemen untuk ternak kuda. Sebagian lainnya menjual buah, makanan dan minuman, serta bumbu dapur.

Kuda yang dijual di Pasar Kuda Tolo dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu untuk diternakkan atau sebagai indukan, dijadikan hewan pacuan, atau sebagai bahan dasar gantala jarang yakni sejenis masakan berkuah kaya rempah mirip coto yang dipadu daging kuda.

Masakan itu umumnya disajikan ketika ada acara hajatan atau saat upacara adat. Coto, konro, dan bakso yang dijual di Jeneponto pun tak sedikit yang berbahan olahan daging kuda. Handayani dkk menyebutkan, kuda berpotensi menjadi alternatif penyedia daging sebagai salah satu sumber pangan.

"Kadar protein hewaninya hampir sama dengan sapi yakni 18,1 persen atau mendekati sapi yang 18,8 persen. Kadar lemak daging kuda lebih rendah dari sapi, yakni 4,1 persen berbanding 14 persen. Potensi ternak kuda secara teknis tidak jauh berbeda dengan sapi. Karkas kuda mencapai 125 kilogram dengan jeroan mencapai 20 persen dari karkas dibandingkan sapi yang mencapai rata-rata 156,4 kg," tulis Handayani dkk yang meneliti pada September 2020.

 

Kota Kuda

Jeneponto memang dikenal sebagai lumbung kuda Sulsel serta salah satu di tingkat nasional bersama Sumbawa dan Sumba. Seperti dilansir dari laporan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Kementerian Pertanian, Sulsel pada 2019 menempati urutan teratas dalam jumlah populasi kuda secara nasional yakni mencapai 166.086 ekor diikuti NTT (109.549 ekor), dan NTB (47.300 ekor). Kabupaten berjuluk Bumi Turatea tersebut berkontribusi besar terhadap populasi kuda di seantero Sulsel dan dikenal pula sebagai Kota Kuda.

Mengutip laporan Jeneponto Dalam Angka 2023 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto, ada sebanyak 75.390 ekor kuda sepanjang 2022 lalu. Angka tersebut mengalahkan populasi sapi (28.905 ekor) dan kerbau (3.86 ekor), meski masih belum bisa menandingi banyaknya kambing yang mencapai 249.185 ekor.

Pada 2017, populasi hewan yang sering menjadi simbol status sosial seseorang tersebut bahkan pernah menyentuh angka 86.366 ekor. Bangkala menjadi kecamatan dengan populasi ternak kuda terbanyak di 2022, yakni sebesar 12.140 ekor.

Banyaknya populasi kuda di Jeneponto tak lepas dari sejarah masa lampau kabupaten seluas 749,79 kilometer persegi karena dulunya terdapat enam kerajaan di sini seperti Kerajaan Garassi, Bangkala, Binamu, Tarowang, Sapanang, dan Kerajaan Arungkeke. Seluruhnya berada di bawah kendali Kerajaan Gowa dan Tallo.

Masyarakat di keenam kerajaan menjadikan kuda sebagai hewan serbaguna. Bukan saja sebagai alat transportasi, kuda juga dimanfaatkan untuk membantu membajak sawah dan ladang, mengangkut hasil pertanian dan perkebunan, penarik pedati, dan salah satu artileri perang.

Hewan ini turut menghiasi lambang resmi kabupaten dan dibuatkan patungnya di pusat kota. Pasar Hewan Tolo dengan segala keunikannya telah menjadi salah satu objek wisata di Jeneponto.

Di sekitar pasar mulai bertumbuh usaha-usaha penunjang seperti kedai makan yang menyajikan coto, konro, dan gantala jarang dari olahan daging kuda. Terdapat pula toko penjualan obat dan vitamin ternak kuda. Pemkab Jeneponto ditantang untuk memanfaatkan potensi pasar yang dapat menggerakkan roda perekonomian masyarakat itu dengan menyediakan fasilitas penunjang yang memadai.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari