Indonesia.go.id - Orang Miskin Tinggal Satu Digit

Orang Miskin Tinggal Satu Digit

  • Administrator
  • Kamis, 16 Agustus 2018 | 11:58 WIB
ANGKA KEMISKINAN
  Warga beraktivitas di permukiman semi permanen di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Jakarta. Sumber foto: Antara Foto

Kemiskinan memang bukan hanya soal angka dan statistik. Kita semua setuju. Kemiskinan adalah sebuah kondisi di mana masyarakat tidak memiliki akses terhadap barang modal.

Tugas pemerintah di manapun, salah satunya, menjadikan kemiskinan sebagai musuhnya. Penduduk harus disejahterakan dan kemiskinan harus diperangi.

Bagaimana mengukur bahwa tugas seperti itu sudah dilaksanakan dan seberapa cukup hasilnya? Akhirnya kita harus kembali ke angka-angka statistik.  

Kita butuh semacam ukuran yang konstan yang digunakan pada waktu-waktu sebelumnya untuk mengukur tingkat kemiskinan. Kita bisa memperdebatkan data kemiskinan yang diajukan pemerintah pada saat ini.

Tapi untuk menentukan dan mengukur efektivitas program, semestinya data, teknik, ukuran dan metodelogi pengukurannya harus sama persis dengan yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan pada periode yang lalu. Hanya dengan cara yang konstanlah kita bisa menilai sebuah kinerja dalam jangka waktu tertentu.

Sebab ujung dari hamparan data statistik tentang kemiskinan pada hakekatnya adalah pertanyaan atas jawaban, apakah kemiskinan telah menurun dibanding periode sebelumnya. Badan Pusat Statistik mencatat adanya penurunan angka kemiskinan per Maret 2018. Angka kemiskinan mencapai 9,8 persen, hal ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah Indonesia kemiskinan berada di level single digit.

Pada Maret 2018 persentasenya sebesar 10,64 persen. Nah, jumlah orang yang masuk kategori miskin menurun dari 27,7 juta jiwa pada Maret 2017 menjadi 25,95 juta jiwa pada Maret 2018. Hamparan data dan metode yang sama juga digunakan oleh pemerintahan sebelumnya untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia.

Ukuran kemiskinan yang digunakan BPS berpatokan pada ukuran Bank Dunia. Patokan itu diukur berdasarkan komsumsi masyarakat. Saat ini ukurannya meningkat 3,36 persen dibanding September 2017. Dari Rp387.160 per kapita per bulan menjadi Rp401.220 per kapita per bulan.

Angka itu didapatkan dengan menggunakan perkiraan konsumsi yang dikonversikan ke dolar AS dengan menggunakan kesetaraan daya beli, bukan dengan nilai tukar dolar AS sebagai kurs.

Angka konversi tersebut menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa, di mana dengan jumlah tersebut dapat dibeli sebesar 1 dolar AS di Amerika Serikat.

Adapun batasan kemiskinan internasional yang digunakan oleh Bank Dunia yakni kesetaraan daya beli (purchasing power parity/PPP) 1,9 dolar AS atau dalam ukuran PPP setara Rp4.985,7.

Namun demikian, Indonesia sendiri menetapkan standar garis kemiskinan tidak merujuk pada angka tersebut. Garis Kemiskinan Nasional (GKN) pada 2016 berada pada level Rp364 527 per kapita per bulan atau setara 2,44 dolar PPP per hari. Tahun 2018, GKN sebesar Rp401.220 per kapita per bulan atau setara 2,50 dolar AS PPP per hari.

GKN bisa berbeda dari masing-masing daerah. Sebab yang diukur adalah daya beli riil masyarakat yang tingkat harga rata-rata barang juga berbeda. Misalnya, GKN di DKI Jakarta adalah Rp593.108. Sementara di NTT angka GKN sebesar Rp354.898. Dengan kata lain, seseorang dianggap miskin di Indonesia jika konsumsinya setara GKN tersebut.

Yang harus diingat adalah bahwa hitungan GKN adalah hitungan per orang. Jadi jika untuk satu keluarga jumlah angka tersebut dikalikan jumlah anggota keluarga. Keluarga miskin rata-rata memiliki jumlah anggota keluarga 4,5 orang. Dengan demikian satu keluarga dianggap miskin di Jakarta jika konsumsi mereka sebesar Rp2.668.000 sebulan. Angka ini memang jauh di bawah UMR Jakarta.

Di Jakarta, menurut data BPS, penduduk yang termasuk kategori miskin mencapai 3,57 persen. Atau penduduk yang konsumsinya sekeluarga di bawah Rp2,668 juta tidak ada di kisaran 3,57 persen itu. Tentu saja prosentasinya akan berbeda di setiap daerah.

Tingkat kemiskinan tertinggi ditempati Papua, yakni sebesar 27,74 persen dan Papua Barat sebesar 23,01 persen. Nusa Tenggara Timur menempati posisi tiga tertinggi dengan 21,34 persen. Sementara itu, tingkat kemiskinan terendah ada di DKI Jakarta sebesar 3,57 persen dan Bali sebesar 4,01 persen.

Keseriusan pemerintah mengendalikan inflasi merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan menurunkan tingkat kemiskinan. Saat ini, pemerintah berhasil menekan inflasi tidak lebih dari 4% setahun.

Program kedua yang juga membantu menekan angka kemiskinan adalah bantuan sosial tunai. Pada triwulan 2018 bantuan sosial tunai yang dikeluarkan pemerintahj tumbuh 87,6 persen.

Kemiskinan memang bukan hanya angka statistik. Tetapi dengan menggunakan basis data yang sama dan ukuran yang sama, pemerintah berhasil menekan angka kemiskinan sampai satu digit. Ini menandakan bahwa jumlah orang miskin di masa ini jauh berkurang dibanding orang miskin di masa sebelumnya.