Indonesia.go.id - Dulu Bangsa Indonesia Adalah Bangsa Maritim

Dulu Bangsa Indonesia Adalah Bangsa Maritim

  • Administrator
  • Sabtu, 19 Oktober 2019 | 20:08 WIB
KEMARITIMAN
  Relief Perahu Besar di Candi Borobudur. Foto: Kemendikbud

Catatan I-Tsing (671-695 M) menceritakan perjalanannya dari Kanton di China ke Perguruan Nalanda di India Selatan, menggunakan kapal Sriwijaya, Dick-Reid menaksir kapal itu memiliki panjang hingga 50 meter dan kapasitas beban seberat 600 ton.

Ada sejumlah bukti sejarah yang nisbi kuat, bahwa sejak awal milenium pertama Masehi bangsa Indonesia telah mampu mengadakan perjalanan jarak jauh melalui jalur laut dengan menyeberangi samudera raya.

Ahli sejarah Robert Dick-Read dalam The Phantom Voyagers: Evidance of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Time mencatat, jejak-jejak kehadiran budaya Nusantara di Madagaskar dan Afrika Selatan masih bisa ditelusuri di sana hingga saat ini. Dick-Read menyatakan, bukti-bukti sejarah menunjukkan adanya jejak-jejak pengelana (phantom voyagers) dari Indonesia telah tiba di bumi Afrika jauh di masa lampau, meskipun tak terlalu jelas bagaimana nenek-moyang kita dulu bisa menginjakkan kakiknya di Madagaskar dan Afrika.

Pertanyaan adalah, bagaimana cara nenek moyang bangsa Indonesia bisa mencapai negeri jauh di seberang samudera raya itu. Kapal seperti apakah yang digunakan oleh bangsa ini, dan bagaimana konstruksinya, bagaimana sistem navigasinya, semua hingga kini masih diselimuti misteri.

Bicara salah satu petunjuk awal yang mungkin menjadi kunci adalah relief di dinding Candi Borobudur. Candi ini dibangun sekitar abad ke-8 Maseshi. Di candi ini terdapat tujuh relief bergambar perahu layar yang telah menggunakan layar ganda dan mempunyai cadik (out rigger) untuk menjaga kesetimbangan perahu.

Menariknya, sejauh ini melalui eksperimen Philip Beale, pria kelahiran Salisbury, Inggris, bentuk perahu yang terpatri dalam relief di Candi Borobudur bukan saja berhasil dibuat replikanya secara sempurna. Dinamai “Samudra Raksa,melalui Ekspedisi Perahu Borobudur (Borobudur Ship Expedition) di tahun 2003, Beale membuktikan pelayaran dari Indonesia ke Afrika menggunakan perahu sederhana, berlayar ganda dan bercadik, adalah mungkin.

Samudra Raksa, perahu yang memiliki panjang sekitar 19 m dan lebar 4,25 m ini, sanggup menjelajahi samudera raya. Menempuh jarak dari Jakarta sampai ke Accra di Afrika Barat, perahu ini menempuh total jarak layar sejauh 27.000 km dengan memakan waktu hampir enam bulan.

Kembali pada tulisan Dick Reid. Dalam konteks keberadaan tujuh relief bergambar kapal yang pahat indah di Candi Borobudur itu, berkembalikan dengan kesimpulan Mookerji, ia menulis: “…meskipun bangsa India memainkan peranan penting dalam merancang dan membangun candi Buddha yang terkenal itu, selanjutnya terbukti, tanpa diragukan lagi bahwa tujuh kapal bercadik yang indah yang dilukiskan di dinding-dinding candi itu bukanlah kapal-kapal India—melainkan kapal-kapal bangsa Indonesia.”

Beberapa ahli pelayaran dan perdagangan kuno, sebutlah seperti YP Maguin, Knaap, maupun Lapian memiliki hipotesa sejarah, bahwa gambaran kapal bercadik pada relief Candi Borobudur itu kemungkinan merupakan cikal bakal dari kapal Indonesia yang terkenal dengan sebutan “jong” atau “jung.” Istilah ini digunakan pertama kali dalam perjalanan biksu Odrico jurnal, Jonhan de Marignolli, dan Ibnu Battuta berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14.

Antara Jong Indonesia dan Jung China

Ya, jauh sebelum pelayaran Cheng Ho atau Columbus, memang patut diduga para pengelana laut Nusantara telah melintasi setidaknya sepertiga luasan bumi ini. Bicara teknologi kemaritiman bangsa ini, para sejarawan lazimnya mengatakan teknologi ini telah diadopsi dari bangsa China. Sejauh mana kebenarannya, tentu saja, patut ditelisik lebih jauh.

Benar, sering disebutkan bangsa China konon telah berhasil mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran sebelum memasuki tahun Masehi Namun sebenarnya, hingga berdirinya Dinasti Sung, bisa dikata, peran kapal mereka masih terbilang kecil dalam pelayaran laut lepas. Dick-Read malah mengatakan, sebelum abad ke-8 atau ke-9 bangsa China notabene belum memiliki kapal laut yang sanggup mengarungi samudera.

Dick-Read mencatat, antara kapal Indonesia yang bernama “jong” dan kapal China yang bernama “jung”, terdapat beberapa perbedaan. Jika pada jong, papan-papan disatukan dengan pasak dari kayu, sedangkan pada jung disatukan dengan paku besi dan pengapit. Jika jong memiliki kemudi quarter—merupakan ciri khas yang menonjol dari kapal Indonesia—sedangkan jung dikendalikan dengan kemudi berporos yang ditempatkan di buritan, sebuah penemuan hebat bangsa China.

Dick-Read juga mencatat persamaannya di antara keduanya. Jong, seperti halnya jung, memiliki badan kapal dengan ketebalan empat atau bahkan mungkin enam lapis kayu, sebagai selubung pelindung luar. Badan kapal setebal 6 atau 8 inci tersebut membuat jong maupun jung benar-benar berat dan sempurna. Menariknya, menurut Dick-Rea, teknik ini hampir bisa dipastikan justru dipelajari bangsa China dari bangsa Indonesia, dan bukan sebaliknya.

Denys Lombard (2005), sejarawan Perancis yang sohor, dalam Nusa Jawa: Silang Budaya—Jaringan Asia, pun tiba pada kesimpulan nisbi sama. Lombard mengatakan, kapal Asia Tenggara—termasuk di sini ialah kapal Indonesia—muncul tanpa pengaruh dari bangsa China. Atau, kalaupun ada pengaruh bangsa China, jelas sifatnya sangat terbatas. Argumentasi Lombard ini juga merujuk pada Dinasti Sung sebagai titik tolak dimulainya bangsa China memiliki perhatian terhadap laut.

Hanya saja, antara Dick-Reid dan Lombard terdapat sedikit perbedaan. Jika Dick-Reid menyebut jong sebagai kapal Indonesia dan jung sebagai kapal China, sedangkan Lombard menggeneralisir penamaan kapal dari kedua bangsa yang berbeda itu dengan nama yang sama, yaitu jung.

Bicara data arkeologi, masih merujuk artikel Dick-Reid, peninggalan tertua sisa-sisa papan kapal ditemukan di Pontian, ujung barat daya Semenanjung Malaya. Dari uji karbon diperkirakan berasal dari abad ke-3 hingga ke-5 Masehi. Di sekitar Palembang di Sumatra Selatan juga ditemukan puing-puing yang sangat jelas berasal dari badan kapal yang sangat besar dan kukuh. Uji karbon mencatat artefak itu berasal dari abad ke 5 – 7 Masehi. Masih dari Palembang dan Sambirejo, Sumatra Selatan, juga ditemukan kemudi setengah lingkaran sepanjang 8,2 meter dan masing-masing berukuran panjang 6 meter, sebuah ukuran yang nisbi hampir sama besarnya dengan ukuran kapal-kapal besar di era modern saat ini.

Dari data-data arkeologis ini, Dick-Reid kemudian merujuk pada sumber berita China. Sebutlah, catatan I-Tsing (671-695 M) misalnya. Dalam teks ini diceritakan perjalanan I-Tsing dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan menggunakan kapal Sriwijaya, sebuah negeri yang saat itu menguasai lalu lintas pelayaran di Asia Tenggara.

Dari sumber berita China itu, Dick-Reid mencatat kapal itu setidaknya memiliki panjang hingga 160 kaki atau sekitar 50 meter dan kapasitas beban seberat 600 ton. Konon saja, besarnya kapal ini jauh melebihi besarnya kapal perang bangsa Portugis. (W-1)