Indonesia.go.id - Potret Penguasaan Seni Pengobatan di Masa Lalu

Potret Penguasaan Seni Pengobatan di Masa Lalu

  • Administrator
  • Jumat, 30 Agustus 2019 | 19:40 WIB
KEFARMASIAN

Adanya banyak variasi ramuan ini, membuka tafsiran bahwa kemungkinan pada waktu itu penyakit perut, kewanitaan, dan batuk adalah jenis-jenis penyakit yang memiliki frekuensi cukup tinggi di tengah masyarakat Jawa. Demikianlah tafsiran dari Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi.

Sistem pengobatan tradisional sudah ada sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia. Ini jamak dan mudah dimengerti. Bagaimanapun, sebuah masyarakat sejak dulu kala telah mengembangkan tradisi pengobatan mereka sendiri dalam kerangka how to survival-nya.

Namun sejalan dengan dominasi dan hegemoni pengobatan modern, bicara sistem pengobatan tradisional ironisnya kini tidak banyak dipahami oleh masyarakat pewarisnya sendiri. Pasalnya pewarisannya seringkali bersifat lisan atau hanya sebatas turun-temurun melalui keluarga yang memiliki keahlian profesi tersebut.

Seperti telah dipaparkan dalam tulisan Etnomedisin dan Jejak Kekuatan Tradisi, terlihat jelas bagaimana keberadaan warung jamu Jampi Asli, yang kini usianya hampir satu setengah abad ini, proses regenerasi keahlian meramu jamu diwariskan melalui proses otodidak dan sebatas pada pertalian keluarga. Sejauh ini, apa yang menjadi khazanah praktis keilmuan keluarga Kertowiryo Raharjo dalam membuat jamu, naga-naganya juga belum disusun menjadi sebuah dokumen tertulis atau jikalau pun sudah tertulis setidaknya tidak dipublikasikan secara umum.

Benar, tak semua tradisi dan praktik pengolahan jamu belum ditulis. Upaya pelestarian atas tradisi lisan khazanah obat tradisional, setidaknya dalam budaya Jawa jelas telah dilakukan jauh-jauh hari. Namun kecenderungannya juga masih sebatas menggunakan huruf dan bahasa masyarakat setempat, dan sayangnya lagi para pemerhati budaya Jawa juga nisbi kurang menyentuh topik tersebut. Akibatnya tak berlebihan jika muncul kekhawatiran, pengetahuan lokal perihal seni pengobatan tradisional Jawa bakal terancam punah di kemudian hari.

Bicara salah satu naskah kuno perihal pengobatan, di sini patut disebutkan salah satunya. Sebutlah Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi, misalnya. Teks ini memuat masalah obat-obatan tradisional Jawa. Bukan hanya puluhan atau ratusan, kitab ini setidaknya mencatat terdapat lebih dari 1000 ramuan untuk ratusan penyakit.

Sudah tentu khazanah Jawa perihal pengobatan tak hanya itu. Berdasarkan penelusuran beberapa katalog dan pengecekan di beberapa tempat penyimpanan naskah, merujuk artikel Fransisca Tjandrasih Adji, Variasi Sistem Pengobatan Tradisional Dalam Naskah Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi, dijumpai beberapa naskah Jawa yang berisi resep-resep pengobatan secara tradisional.

Sebutlah itu, antara lain, Buku Primbon Jampi Jawi, tersimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo, Pratelan Jampi Sakit Warni-warni, Perpustakaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, Buku Jampi, Perpustakaan Widya Pustaka Pura Pakualaman, Pakem Tarugana, Perpustakaan Widya Pustaka Pura Pakualaman, Serat Primbon Jampi Jawi, Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran, Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi Jilid 2, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, Serat Reracikan Jampi Warni-warni, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, Racikan Jampi Jawi, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, dan Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta.

Kitab Pengobatan

Istilah primbon sangat dekat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Namun dalam perjalanannya kemudian, istilah ini memiliki makna negatif. Selain dianggap penuh dengan takhayul, isi primbon juga dianggap jauh dari kebenaran. Walhasil, di zaman modern mereka yang masih mempercayai primbon juga setali tiga uang akan dipandang negatif.

Kuatnya anggapan ini mengakibatkan buku-buku primbon menjadi tabu untuk dibaca. Masyarakat yang ingin membaca juga cenderung membaca secara sembunyi-sembunyi, cenderung malu jikalau ada yang mengetahui bahwa dia sedang membaca primbon. Akibat selanjutnya, buku-buku primbon jadi cenderung tidak tersentuh. Terlebih, buku-buku primbon sendiri sebagian besar masih ditulis menggunakan bahasa dan huruf Jawa, yang notabene kini telah sedikit dikuasai oleh masyarakat Jawa sendiri.

Sementara, primbon sendiri posisinya sebenarnya mirip dengan fungsi ensiklopedi. Ada banyak hal diulas. Seperti ada primbon yang berisi ramalan atas terjadinya fenomena alam. Ada juga primbon yang berisi pengetahuan tentang tanda-tanda orang akan meninggal. Atau primbon lainnya berisi tentang ilmu petungan dan berbagai ritual ruwatan.

Namun sebenarnya penggunaan nama primbon tak terbatas hanya itu. Istilah primbon juga dikenakan pada khazanah pengetahuan lokal tentang penyakit dan ramuan jamu, jenis-jenis tanaman obat, serta cara pengobatannya. Kesamaan penggunaan istilah primbon ini, sedikit atau banyak tentu memiliki pengaruh negatif pada minimnya pengetahuan masyarakat tentang teks ini.

Apa yang menarik dicatat di sini ialah, Serat Primbon Reracikan Jawi ini terdiri empat jilid. Kembali merujuk riset Tjandrasih Adji di atas, disebutkan bahwa pada jilid 1 terdapat 497 ramuan; jilid 2, 455 ramuan; jilid 3, 489 ramuan; dan jilid 4, 293 ramuan. Maka total keseluruhan dari 4 jilid Serat Primbom Reracikan Jawi ini berjumlah 1.734 ramuan.

Apa yang dapat disimpulkan? Langsung atau tidak, besarnya angka ini memperlihatkan, bahwa masyarakat Jawa pada waktu itu sudah maju dalam seni pengobatan. Mudah diduga, masyarakat Jawa saat itu sudah paham akan berbagai fungsi dari bahan-bahan yang tersedia, takaran, cara meramu, dan cara pemanfaatan ramuan. Pengetahuan tentang pengobatan tradisional ini diperoleh masyarakat berdasarkan pengalamannya secara empiris dalam mengelola kehidupan mereka.

Masih mendasarkan artikel di atas, tulisan ini sengaja membahas Serat Primbon Reracikan Jawi jilid 2. Naskah ini beraksara Jawa dengan bahasa Jawa, disebutkan disalin oleh abdi dalem Marduyadnya yang bernama Hagnya Suparma, atau dalam bahasa Jawa ditulis “ingkang kawula piji anedhak abdi dalem ajidan ing Marduyadnya, pun Hagnya Suparma.”

Sementara itu, Hagnya Suparma menyalin dari naskah yang ditulis oleh abdi dalem sebelumnya yang bernama Arungbinang. Hal ini terungkap dalam teks bahasa Jawa, “sampun cocok kaliyan lugunipun abdi dalem pun Arungbinang.”

Lebih jauh dikatakan, bahwa waktu penyalinan Hagnya Suparma tercatat selesai pada tanggal 5 Besar, Ehe 1852, atau dalam kalimat bahasa Jawa “rampung ing panedhakipun nalika tanggal kaping 5 ing wulan Besar ing warsa Ehe angka 1852. Dalam penanggalan nasional, tanggal dan Tahun Jawa itu berarti jatuh pada hari Sabtu dengan pasaran Legi, tanggal 29 Juli 1922. Bisa dipastikan penyalinan naskah ini dilakukan di era Sunan Pakubuwana X.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1567671530_tabel.JPG" style="height:432px; width:403px" />Dari tabel di atas, terlihat bahwa dalam teks kuno tersebut terdapat bermacam-macam penyakit. Ada beberapa kelompok penyakit yang memiliki banyak variasi ramuan, misalnya perut memiliki 65 ramuan, kewanitaan 44 ramuan, dan batuk 35 ramuan. Adanya banyak variasi ramuan ini, membuka tafsiran bahwa kemungkinan pada waktu itu penyakit perut, kewanitaan, dan batuk adalah jenis-jenis penyakit yang memiliki frekuensi terjangkitnya cukup tinggi di tengah masyarakat Jawa.

Dalam naskah Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi Jilid 2, gangguan kesehatan perut ini disebut dengan macam-macam istilah, seperti: busung, ising-isingan, kemaden, kembung, kolerah, krumanen, mejen, padharan, suduken, toyan, wawratan, dan gencok.

Tak kecuali ramuan bagi penyakit perut yang diindap oleh perempuan menyusui juga telah dibedakan. Demikian halnya ramuan untuk penyakit perut dengan kondisi penyakit yang berbeda juga dibedakan. Sebagai contoh, ramuan untuk obat sakit wawratan atau ‘diare’ bagi perempuan yang menyusui berbeda dengan ramuan bagi orang dewasa pada umumnya, juga berbeda dengan ramuan bagi anak-anak atau orang lansia.

Masih terkait dengan penyakit perut, menarik digarisbawahi bahwa ramuan untuk usia anak-anak dan lansia cenderung sama. Ini mudah dipahami, bagaimanapun kondisi fisik usia lansia jelas rentan terhadap pelbagai penyakit karena menurunnya daya imun. Sementara pada usia anak-anak juga nisbi rentan terhadap pelbagai penyakit karena daya imun belum bekerja maksimal.

Artinya, pengetahuan masyarakat Jawa tentang pengobatan nisbi sudah rinci. Ciri penyakit yang berbeda, ramuannya juga berbeda. Pun usia yang berbeda juga memiliki ramuan yang berbeda. Terlebih khusus bagi perempuan yang sedang menyusui juga memiliki ramuan spesifiknya yang berbeda lagi.

Selain itu, ramuan-ramuan dalam Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi Jilid 2 ternyata tidak semuanya berupa ramuan yang diseduh untuk dikonsumsi. Menyimak teks kuno ini, terlihat variasi teknik pemanfaatan hasil ramuan dari daun-daun obat itu digunakan dalam berbagai bentuk, yaitu:

  1. Boreh, yaitu hasil ramuan untuk dibalurkan pada seluruh tubuh;
  2. Jampi atau jamu, yaitu biasanya diminum;
  3. Parem, yaitu digunakan dengan cara melumurkan pada kaki dan tangan atau pada bagian tubuh lain secara terbatas;
  4. Pilis, yaitu digunakan dengan cara menempelkan atau mencoletkan hasil ramuan di dahi.
  5. Sembur, yaitu digunakan dengan cara disemburkan pada bagian yang sakit.
  6. Tapel, yaitu digunakan dengan cara ditempelkan pada bagian yang sakit. (W-1)