Sekalipun katakanlah tak semegah kontruksi bangunan Masjid Istiqal, misalnya, bisa dikata Masjid Demak merupakan salah satu masjid kharismatik di Jawa. Selain faktor sejarah, kharisma ini terbentuk karena saking kuatnya aspek legenda atau mitos melatarbelakangi sejarah dan keberadaan masjid.
Saking kuatnya kharisma masjid ini, tak sedikit masyarakat Jawa meyakini ziarah ke Masjid Demak memiliki nilai sama dengan menjalankan haji ke Mekah. Jelas, terasa ada aura sakralitas dan kekeramatan yang kuat pada asosiasi makna masjid ini bagi orang Jawa, khususnya bagi mereka yang memeluk Islam-Jawa.
Tentu saja anggapan adanya makna sakralitas atau kekeramatan bukanlah monopoli Masjid Demak. Banyak lokasi lain juga dianggap mengemban makna semacam itu. Namun demikian masjid ini termasuk salah satu yang utama. Tak aneh, jikakalau ziarah ke Masjid Demak dan ziarah ke makam para wali sendiri telah memiliki signifikansi makna tersendiri dalam benak masyarakat Islam-Jawa.
Bagaimana sistem makna dari masyarakat Islam-Jawa bisa terkontruksi sebegitu rupa tentu menarik disimak. Sistem makna jelas bukanlah lahir dari ruang hampa.
Bicara sistem makna, sedikit atau banyak sebenarnya juga bicara sejarah. Namun bicara tentang sejarah dalam khasanah Jawa bukanlah hal mudah. Pasalnya fakta-fakta lugas dan pemerian waktu kronologisnya tak serta merta tersedia. Bicara sejarah dalam khasanah Jawa, suka atau tidak suka berarti juga bicara tentang legenda atau mitos itu sendiri, dan menguraikannya.
Seputar Legenda
Seperti diketahui, penulisan sejarah Jawa yang bersumber dari Babad Tanah Jawa, lazimnya cenderung ditulis dengan mencampuradukkan antara fakta dan legenda atau mitos. Karenanya bukan saja butuh ketelitian dan kekritisan untuk mengurai mana fakta dan mana mitos, lebih dari itu juga dibutuhkan sumber-sumber sejarah lain baik sebagai referensi pembanding maupun sebagai piranti verifikasi.
Bicara interpretasi sejarah Jawa berbasis tradisi babad, di sini kita patut berterimakasih salah satunya pada Hermanus Johannes de Graaf. Bukan hanya Graaf tentu saja, tapi setidaknya dia telah memberikan sumbangsih sangat berharga bagi studi literatur babad dalam kajian sejarah Jawa. Menggunakan metode sejarah, Graaf menggabungkan sumber-sumber Eropa, China dan Jawa sebagai basis interpretasi penulisan sejarah Jawa.
Pada titik inilah, sejarawan Belanda spesialis studi Jawa ini telah membuat tafsiran perihal sejarah pembangunan Masjid Demak. Banyak hal menarik patut disimak dari uraian Graaf dan TH Pigeaud dalam karya kolaborasi mereka: "De Eerste Moslime Vorstendommen op Java, Studien Over de Staatkundige Geschiedenis van de 15 de en 16 de Eeuw." Koleganya Pigeaud ialah filolog dan spesialis ahli sastra Jawa terkemuka.
Bicara aspek mitos atau legenda, pertama-tama ialah terkait proses pembangunan masjid itu sendiri. Laiknya cerita pembangunan Prambanan, masjid ini konon juga didirikan hanya dalam waktu satu malam.
Sekalipun makna keberadaan Masjid Demak lebih lekat dengan sosok Kalijaga karena perannya menentukan arah kiblat, namun sejarah pembangunannya sendiri dikisahkan didirikan bersama-sama oleh seluruh wali. Dalam khasanah diskursus Jawa, mereka populer dengan nama Wali Sanga, sembilan tokoh pembawa syiar Islam di Tanah Jawa.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1559289773_Masjid_Agung_Demak__(2).jpg" />Masjid Agung Demak. Sumber foto: Pesona Indonesia
Masjid ini memiliki bangunan induk dan serambi. Pada bangunan induk, atap tengahnya ditopang oleh empat tiang kayu raksasa yang disebut saka guru. Jika lazimnya material saka guru ialah selalu berupa satu kayu utuh, maka salah satu dari tiang utama tersebut bisa dikatakan sangat unik karena berasal dari serpihan-serpihan balok kayu kecil diikat jadi satu. Sohor disebut saka tatal, tiang kayu raksasa berbahan tatal ini lekat dengan tokoh Kalijaga ini.
Selain itu, cerita legenda atau mitos lainnya ialah, Kalijaga pulalah yang menerima baju wasiat "Antakusuma," sebuah rompi pusaka yang konon jatuh dari langit sebagai pemberian dari Tuhan. Dinamai Kyai Gundil atau Gundul, kelak baju ini menjadi salah satu pusaka andalan bagi raja Mataram-Islam. Merujuk de Graaf dan Pigeaud, inilah legenda kedua terkait Masjid Demak dan sosok Kalijaga.
Sedangkan legenda atau mitos ketiga ialah cerita Ki Gede Sesela, tokoh yang menangkat kilat (bahasa Jawa: "bledeg"), dan kemudian membawa hasil tangkapannya itu ke Masjid Demak dan dikurung di sana. Ki Gede Sesela atau Ki Ageng Sela ialah tokoh legendaris yang sangat dimuliakan sebagai moyang yang menurunkan keluarga raja Mataram-Islam.
Demikianlah cerita tradisional masyarakat Jawa seputar Masjid Demak. Menurut Graaf dan Pigeaud, cerita ini terekam dalam banyak naskah dalam berbagi versi.
Interpretasi Fakta Sejarah
Menurut Graaf dan Pigeaud, legenda atau mitos di atas mengungkapkan betapa pentingnya Masjid Demak di alam pikiran orang Jawa Islam, setidaknya pada abad ke 17, 18 dan 19.
Merujuk penelitian Meinsma atas Babad Tanah Jawa, Graaf dan Pigeaud menggarisbawahi adanya sabda Susuhunan Pakubuwana I terkait eksistensi Masjid Demak. Adanya sabda raja ini dilatarbelakangi kasus pembuangan Amangkurat III ke Srilangka oleh Belanda. Celakanya, sang raja ternyata telah membawa serta semua pusaka kerajaan. Sementara, saat itu pusaka-pusaka kerajaan ialah salah satu sumber legitimasi kekuasaan.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1559290479_Misteri_Pintu_Petir_Yang_Berada_Di_Masjid_Agung_Demak.JPG" />
Pintu Bledeg atau Pintu Petir Masjid Agung Demak. Sumber foto: Istimewa
Merespon krisis legitimasi inilah, Pakubuwana I konon bersabda: bahwa hanya Masjid Demak dan makam suci di Kadilangu sajalah pusaka mutlak (bahasa Jawa: ugere pusaka ing tanah Jawa) bagi raja-raja di Mataram. Lebih jauh, pada 1710 Pakubuwana I juga memerintahkan perbaikan bangunan masjid dan mengganti atapnya dengan sirap baru.
Dari sumber lain, merujuk berita yang bersumber dari VOC, Graaf dan Pigeaud juga mencatat: Sunan Amangkurat II pada 1688 pernah menawarkan untuk bersumpah setia di Masjid Demak terhadap traktat yang telah disepakatinya dengan VOC.
Dari berbagai peristiwa di atas terlihat jelas bagaimana signifikansi makna dari masjid ini bagi masyarakat Jawa. Bagaimanapun, masjid ini telah menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah. Graaf dan Pigeaud meyakini, Demak sebagai ibu kota Kerajaan Demak didirikan pada paruh kedua abad ke-15. Kedua peneliti Belanda itu juga mencatat, setidaknya peran penting masjid ini bagi muslim kuno di Jawa Tengah masih terjadi hingga abad ke-19.
Secara historis, bagaimanapun masjid ini merupakan salah satu tempat ibadah tertua bagi umat Islam di Jawa. Selain masjid tua, juga berstatus "masjid agung"--atau sebutlah "masjid negara"--bagi kerajaan Demak.
Merujuk catatan S Wardi, seorang pemerhati sejarah lokal, Graaf dan Pigeaud mengatakan di dekat mihrab masjid terdapat sebuah relief yang disemen dalam tembok. Relief itu menunjukkan candra sangkala, yaitu catatan tahun yang diwujudkan dalam lukisan tertentu.
Menurut Wardi, candra sangkala itu berupa lukisan kepala, kaki, tubuh dan ekor, yang menunjukkan angka 1401 Tahun Jawa atau 1479 Masehi. Sedangkan pada pintu utama masjid tertera candra sangkala lain, yang melambangkan angka 1428 Tahun Jawa atau 1506 Masehi.
Kedua Indolog itu mengatakan, informasi tersebut tampaknya dapat dipercaya, mengingat tahun-tahun itu bertepatan waktu dengan momen sejarah perkembangan kekuasaan Kerajaan Demak.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1559291595_Makam_Sunan_Kalijaga__(2).jpg" />Makam Sunan Kalijaga. Sumber foto: Pesona Indonesia
Sedangkan bicara perihal baju wasiat "Antakusuma," sebuah rompi pusaka yang konon jatuh dari langit sebagai pemberian dari Tuhan dan namai Kyai Gundil, Graaf dan Pigeaud mencatat: sebuah dokumen Belanda yaitu Dagh-Register, bertanggal 12 November 1703, memberitakan: baju wasiat itu masih disebut sebagai salah satu pusaka kraton, yang diberikan kepada raja baru yaitu Amangkurat III di Kartasura.
Sayangnya pada legenda Ki Gede Sesela, yaitu kisah mukjizat penangkapan kilat (bledeg), Graaf dan Pigeaud tidak memberikan interpretasi secara luas dan utuh. Graaf dan Pigeaud hanya menggarisbawahi makna cerita itu sebagai adanya "keputusan politik penting" yang terkait mait dengan mitologi di era sebelumnya yaitu zaman Hindu-Jawa, dan posisi pentingnya Ki Gede Sesela ini sebagai moyang dari wangsa Mataram-Islam.
Singkat kata, bagi Graaf dan Pigeaud, cerita-cerita tentang orang sakti, legenda mengenai tokoh-tokoh yang menyebarluaskan agama Islam di Tanah Jawa pada abad ke 15 - 16, pertama-tama harus dilihat sebagai bukti bahwa peradaban Islam-Jawa--yang dikembangkan oleh para Wali Sanga--dalam banyak hal merupakan kelanjutan dan sekaligus pembaharuan dari peradaban Hindu-Jawa kuno.
Sedangkan bicara posisi Kalijaga ialah tokoh kharismatis dan sakti dalam kisah penyebaran agama Islam di Jawa Tengah khususnya di bagian selatan. Bukan saja cerita-cerita tentang Kalijaga tercatat sejak awal pendirian Mataram-Islam telah menjadi sumber legitimasi, bahkan hingga kini juga masih ditempatkan sebagai role model keislaman orang Jawa.
Pada konteks role model keislaman dari para Wali Sanga dan khususnya ialah Kalijaga inilah, pada perjalanan muthakirnya kini di Indonesia telah terkontruksi suatu model keislaman yang ramah dan inklusif. Islam ini lebih mengedepankan artikulasi substantif nilai-nilai Islam ketimbang bicara pelembagaan aspek legalistik atau hukum Islam. Model keislaman inilah, yang kini sohor disebut khalayak luas di Indonesia sebagai "Islam Nusantara." (W-1)