Indonesia.go.id - Indonesia Menuju Kedaulatan Mineral Kritis

Indonesia Menuju Kedaulatan Mineral Kritis

  • Administrator
  • Rabu, 23 Oktober 2024 | 08:00 WIB
HILIRISASI
  Tumpukan katoda tembaga dipajang di sela Peresmian Produksi Smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) di Smelter PTFI, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur, Senin (23/9/2024). Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar dunia, pemerintah menargetkan untuk meningkatkan nilai tambah dari mineral ini dengan memprosesnya di dalam negeri sebelum diekspor. ANTARA FOTO/ Rizal Hanafi
Indonesia harus memanfaatkan kandungan mineral kritis demi mendongkrak dan mendominasi industri baterai dunia. Potensinya sangat besar dan hilirisasi jadi kunci sukses.

Baterai menjadi pilar utama masyarakat modern di masa depan. Sebagai sumber energi yang efisien dan berkelanjutan, baterai memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan. Sebab itu, mineral kritis seperti nikel, kobalt, tembaga dan rare earth element sebagai bahan utama pembuatan baterai menjadi sangat penting. 

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya mineral kritis, telah mengambil langkah strategis dalam pengelolaan mineral kritis yang memainkan peran penting dalam industri teknologi global, energi terbarukan, dan transisi menuju kendaraan listrik. Hal itu menjadi sebagian rangkaian tahapan action plan dan kebijakan yang telah dilancarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, Kementerian ESDM melalui Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (PSDMBP) dan PT Eramet Indonesia Mining, membahas tindak lanjut kerja sama terkait studi dan eksplorasi mineral kritis di Indonesia di Jakarta, Selasa (15/10/2024).

Tak hanya itu, sebelumnya Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Inggris telah menyepakati kerja sama strategis di bidang mineral kritis. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Menteri Pembangunan Inggris Anneliese Dodds menandatangani MoU bidang Kemitraan Strategis Bidang Mineral Kritis di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (18/9/2024). 

"Substansi perjanjian ini adalah kita akan melakukan tukar teknologi kerja sama di bidang mineral, ini bagian tindak lanjut dari apa yang menjadi kesepakatan selama ini antara kedua negara. Saya dan Ibu Menteri sudah menandatangani tinggal kami akan menjalankan tindak lanjutnya," ujar Bahlil usai penandatanganan kepada pers. MoU ini akan menjadi fondasi kerja sama selanjutnya.

Dodds menyampaikan bahwa MoU ini menciptakan framework kerja sama dan kolaborasi antara Inggris dan Indonesia terkait mineral kritis. MoU ini mendukung berbagai isu, komitmen bersama, investasi, penciptaan lapangan kerja, dan untuk memastikan adanya manfaat bagi masyarakat. 

"Saya sangat senang, bahwa kita telah menyelesaikan MoU ini, sehingga bisa bersama-sama memastikan potensi dari pertumbuhan hijau, potensi lapangan kerja dan lainnya bagi masyarakat setempat," ujarnya.

Selain itu, Kementerian ESDM juga berupaya menarik minat Tesla, raksasa otomotif asal Amerika Serikat, untuk berinvestasi dalam pengembangan rantai pasok baterai kendaraan listrik di Indonesia. Hingga kini, pembicaraan masih terus berlangsung, dan jika tercapai, kesepakatan ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam industri kendaraan listrik global. 

Kepala PSDMBP Agung Pribadi mengatakan, PSDMBP tengah berupaya untuk menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan asing, yang difokuskan pada studi mendalam terkait potensi mineral kritis. “Mineral kritis, seperti nikel, kobalt, dan litium, menjadi komoditas yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan teknologi masa depan, terutama untuk baterai kendaraan listrik. Dengan adanya studi yang komprehensif, diharapkan dapat ditemukan cadangan mineral kritis baru yang lebih besar dan bernilai ekonomis tinggi," ujar Agung kepada pers, Selasa (15/10/2024).

Pilar Kebijakan 

Langkah paling signifikan yang diambil pemerintah adalah kebijakan hilirisasi mineral, terutama untuk nikel. Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar dunia, pemerintah menargetkan untuk meningkatkan nilai tambah dari mineral ini dengan memprosesnya di dalam negeri sebelum diekspor. Kebijakan ini didorong oleh larangan ekspor bijih nikel mentah yang diberlakukan sejak 2020, yang memaksa perusahaan tambang untuk berinvestasi dalam pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter.

Hilirisasi memberikan dampak positif yang besar. Pada 2021, ekspor produk nikel olahan seperti feronikel dan nikel matte mencapai lebih dari USD14 miliar, meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya. Indonesia, yang dulunya hanya mengekspor bijih mentah dengan nilai ekonomi yang rendah, kini menjadi salah satu eksportir utama produk nikel dengan nilai tambah lebih tinggi, yang digunakan dalam industri baja stainless dan baterai litium-ion.

Selain nikel, mineral lain seperti kobalt dan tembaga juga menjadi fokus dalam kebijakan hilirisasi, karena kedua mineral ini berperan penting dalam produksi baterai dan teknologi hijau lainnya. Dengan meningkatnya permintaan global terhadap kendaraan listrik, Indonesia berupaya mempercepat pembangunan ekosistem industri baterai domestik.

Langkah Strategis 

Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yang merupakan bahan baku utama untuk produksi baterai kendaraan listrik. Untuk memanfaatkan potensi ini, pemerintah meluncurkan program Indonesia Battery Corporation (IBC) pada 2021. IBC adalah perusahaan patungan antara empat BUMN yang bertujuan mengintegrasikan seluruh rantai pasok baterai, mulai dari penambangan mineral kritis hingga produksi baterai siap pakai untuk kendaraan listrik.

Langkah ini sejalan dengan strategi pemerintah untuk mengambil peran lebih besar dalam industri kendaraan listrik global. Indonesia telah berhasil menarik investasi dari beberapa perusahaan asing terkemuka, termasuk LG Energy Solution yang menanamkan modal senilai USD9,8 miliar untuk membangun pabrik baterai di Indonesia. Kerja sama ini diharapkan dapat mendorong percepatan pengembangan teknologi baterai di dalam negeri, sekaligus memberikan akses kepada Indonesia terhadap pasar global yang lebih luas.

Pusat Hilirisasi 

Salah satu bukti nyata keberhasilan kebijakan hilirisasi adalah berkembangnya kawasan industri seperti Morowali di Sulawesi Tengah dan Weda Bay di Maluku Utara. Kedua kawasan ini telah menjadi pusat pengolahan nikel dan logam dasar lainnya, terutama untuk industri baterai dan baja stainless.

Di Morowali, perusahaan-perusahaan tambang dan smelter telah membangun fasilitas pengolahan yang menggunakan teknologi modern untuk memaksimalkan produksi dan mengurangi dampak lingkungan. Kawasan ini didukung oleh infrastruktur yang memadai, termasuk pelabuhan dan pembangkit listrik, yang memudahkan distribusi produk olahan ke pasar global. Untuk kawasan Weda Bay juga telah menarik perhatian investor asing, dengan beberapa perusahaan besar membangun fasilitas pengolahan di sana.

Pembangunan infrastruktur di kawasan industri ini menjadi kunci dalam mendukung kebijakan hilirisasi, sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Namun, pemerintah masih menghadapi tantangan besar dalam memastikan pembangunan ini berlangsung secara berkelanjutan, terutama terkait pengelolaan limbah tambang dan dampak lingkungan.

Kedaulatan Mineral Kritis 

Secara keseluruhan, Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam pengelolaan mineral kritis, terutama melalui kebijakan hilirisasi dan pengembangan industri baterai. Peningkatan produksi nikel olahan, pembangunan smelter, dan masuknya investasi asing menunjukkan bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasok global untuk mineral kritis.

Namun, tantangan lingkungan dan keberlanjutan, serta pengelolaan rare earth elements (REE), masih perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Keberhasilan dalam mengatasi tantangan ini akan menentukan seberapa besar Indonesia dapat memanfaatkan potensi mineral kritisnya untuk mendukung transisi energi global dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi domestik.

Di masa depan, dengan dukungan kebijakan yang tepat, pengelolaan mineral kritis di Indonesia tidak hanya akan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, tetapi juga menjadi pilar penting dalam upaya global untuk mencapai kemandirian energi yang berkelanjutan.

Potensi mineral kritis Indonesia:

Nikel

Cadangan nikel Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Menurut data US Geological Survey (2023), Indonesia memiliki 72 juta ton cadangan nikel. 

  • Pada 2023, Indonesia menyumbang 48 persen produksi nikel global menjadikannya produsen terbesar di dunia.
  • Produksi nikel Indonesia mencapai 1,6 juta ton pada 2022, meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya karena peningkatan permintaan untuk baterai kendaraan listrik.

Tembaga

  • Indonesia memiliki cadangan tembaga yang besar, dengan total cadangan mencapai 28 juta ton, menempatkannya di peringkat ketujuh dunia.
  • Salah satu tambang tembaga terbesar di dunia, Grasberg, di Papua, menghasilkan sekitar 700.000 ton tembaga per tahun.
  • Produksi tembaga di Indonesia mencapai 870.000 ton pada 2022.

Kobalt

Indonesia memiliki potensi besar untuk kobalt yang merupakan mineral kunci dalam pembuatan baterai. Namun, produksi kobalt di Indonesia biasanya terkait dengan produksi nikel, karena kobalt adalah produk sampingan dari penambangan nikel laterit.

  • Cadangan kobalt Indonesia diperkirakan mencapai 600.000 ton.
  • Indonesia mulai berfokus pada peningkatan kapasitas pengolahan kobalt, seiring dengan pembangunan smelter nikel dan pabrik baterai pada 2023

Bauksit (Aluminium)

Indonesia memiliki cadangan bauksit yang melimpah, diperkirakan mencapai 1,2 miliar ton. Produksi bauksit Indonesia mencapai 20 juta ton, yang sebagian besar diekspor atau diolah menjadi alumina untuk industri aluminium pada 2022

Timah

Indonesia adalah salah satu produsen timah terbesar di dunia, dengan cadangan mencapai 2,8 juta ton, sekitar 16 persen dari cadangan global. Produksi timah Indonesia pada 2022 mencapai 68.000 ton, menjadikannya produsen timah terbesar kedua di dunia setelah Cina.

Litium (Potensi)

Indonesia belum memiliki cadangan litium yang signifikan yang telah dieksplorasi secara komersial. Namun, mengingat meningkatnya permintaan untuk baterai, pemerintah sedang mengeksplorasi potensi cadangan litium di beberapa wilayah, meskipun litium belum menjadi produk andalan. (*)

 

Penulis: Dwitri Waluyo 
Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf