Indonesia.go.id - Negeri Senja bernama Malalayang

Negeri Senja bernama Malalayang

  • Administrator
  • Kamis, 10 Oktober 2019 | 05:00 WIB
PARIWISATA
  Pantai Malalayang Manado. Foto: Pesona Indonesia

Sastrawan Seno Gumira Adjidarma (SDA) dalam buku romannya mengisahkan seorang pengembara yang singgah di sebuah negeri yang tidak pernah mengalami pagi, atau siang, atau malam. Seluruh hari yang dia lalui adalah senja berwarna jingga yang keindahannya tidak pernah ditemukan di negeri-negeri lain yang pernah disinggahinya.

Karena indahnya, SDA menyebut negeri itu sebagai Negeri Senja, sekaligus memahatnya menjadi judul buku romannya. Roman Negeri Senja karya SDA tersebut berhasil menyabet penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2004. Terlepas dari pemimpin Negeri Senja --Puan Tirana-- yang buta dan kejam, penggambaran senja pada Negeri Senja membuat pembacanya penasaran, bagaimana senja yang sangat indah itu?

Dalam dunia nyata, keindahan senja yang tergambar di Negeri Senja karangan SDA mungkin bisa kita temukan di sebuah pantai tua dekat Manado bernama Malalayang. Pantai itu paling dekat dengan kota dan bisa dicapai dalam 10-15 menit dengan melalui jalan antarkota yang menyempit dan mengarah ke barat daya kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut).

Presiden Joko Widodo pernah menyebut bahwa Sulut adalah bintang pariwisata baru Indonesia. Setidaknya ada lima destinasi wisata di Sulut yaitu yaitu Bunaken, Selat Lembeh, Pulau Mahoro, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang, dan Pantai Malalayang. Saking indahnya, pengunjung di destinasi wisata itu naik 600 persen selama empat tahun terakhir. Salah satu tempat tepat untuk menyelam dan menikmati senja adalah Pantai Malalayang

Pantai Malalayang memiliki sedikit pasir dan selebihnya adalah batu bulat. Batu memang sesuatu yang berarti bagi suku Bantik (sub suku Minahasa) yang mendiami daerah Malalayang. Setidaknya ada empat situs yang mengiringi sejarah wilayah ini  yaitu batu Niopo, batu Buaya, batu Kuangang dan batu Lyarna. 

Batu Niopo dipercaya sebagai tempat Tuhan (lazim disebut Opo Lramo) bertemu secara spiritual dengan suku Bantik. Orang bisa berdoa menyampaikan permohonannya kepada Tuhan di batu ini. Karena itu, tempat yang tak jauh dari monument pahlawan R.W. Monginsidi ini sangat dikeramatkan.

Situs kedua adalah batu Buaya atau Bihuayang yang letaknya tak jauh dari batu Niopo. Bentuknya menyerupai badan buaya dan di masa lalu dipercaya sebagai wujud musuh dari suku lain yang kemudian dikalahkan oleh tokoh suku Bantik. Batu ini juga dipercaya menjadi pelindung suku Bantik saat Jepang berkuasa. Di tempat ini, sesekali  masyarakat  masih memberikan sesaji dan memasang lampu Situs

ketiga adalah batu Kuangang yang bentuknya mirip mainan congklak (dakon). Batu Kuangang dipercaya sebagai permainan anak yang dibuat oleh seorang bapak. Karena sang bapak dan ibu meninggalkannya untuk bekerja dalam waktu lama, sang anak  terus menerus menangis. Untuk menghibur hati sang anak, bapak menatah sebuah batu sebagai alat permainannya. Usahanya ternyata berhasil karena sang anak gembira dengan mainan kuangangnya, dan tidak menangis lagi. 

Situs keempat adalah bekas telapak kaki dotu (leluhur) Minahasa yang disebut batu Lrana yang terletak di pesisir pantai, tak jauh dari terminal Malalayang. Ada dua telapak kaki di batu Lrana yaitu milik dotu Tumampasa dari Kalrasay (Kalasey) dan dotu Kaburoi dari Minanga Malalayang. Pada masa itu, dua dotu  bertugas sebagai penjaga perbatasan dari serangan musuh dari darat maupun laut.

Suatu saat mereka mendapati beberapa orang dari Sangihe berada di pantai dan menambatkan perahu di balik pulau Manado Tua. Ketika mereka akan balik ke Sangihe, dua dotu ini menumpu kakinya ke batu, untuk meloncat ke perahu-perahu orang Sangihe sebagai tanda peringatan. Saking kerasnya, jejak tapak kaki itu tercetak di batu. Sampai sekarang batu Lrana yang berisi tapak kaki dotu Kaburoy masih bisa ditemukan di pesisir pantai Malalayang, sedang batu berisi tapak kaki dotu Tumampasa, sudah hilang.

Meraih Penghargaan Museum Rekor Indonesia

Semua destinasi pantai di Sulut punya laut yang sangat jernih dengan bebatuan koral yang bisa dilihat dari atas sehingga cocok untuk diving dan snorkeling. Dari kejauhan, air laut tampak biru.

Selain berpasir sedikit, yang membedakan Malalayang dengan pantai lain di Sulut adalah, pantai ini punya profil dasar laut yang datar dan luas dengan arus  bawah laut yang tidak deras. Pasirnyapun tidak mudah naik, meski diselami banyak orang. Profil dasar laut seperti ini cocok bagi kegiatan selam yang menyertakan banyak orang dalam satu waktu.

Tak heran bila kegiatan-kegiatan akbar yang melibatkan banyak penyelam, diselenggarakan di pantai ini.  Kegiatan akbar itu antara lain; pengambilan sampah-sampah plastik dalam laut  oleh masyarakat, upacara bendera 17 Agustus dalam air, atau pembentangan bendera raksasa berukuran panjang 500 meter dan lebar enam meter di bawah air yang dilakukan Kodam III Merdeka pada Agustus lalu. Kegiatan-kegiatan ini meraih penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) karena melibatkan ratusan penyelam.

Penanaman terumbu karang yang melibatkan massa yang banyak dan massif juga sering dilakukan di pantai di Pantai Malalayang. Terumbu karang mirip pohon bagi mahluk hidup, karena menjamin ketersediaan oksigen. Dengan oksigen yang cukup, banyak binatang dan tumbuhan laut yang memilih hidup dekat terumbu karang. Tak heran jika pantai ini amat disukai oleh ikan karena lautnya mengandung makanan yang cukup dan kaya ragam.

Bahkan ikan langka jenis Coelacanths atau dikenal dengan sebutan ikan Raja Laut beberapa kali ditemukan di pantai ini. Menurut beberapa literatur, ikan ini hidup sekitar 360-80 juta tahun lalu dan  pernah dianggap punah bersama dengan dinosaurus. Oleh para peneliti, spesies ikan Raja Laut di Manado ini diberi nama ilmiah Latimeria menadoensis. Punya panjang sekitar 1-1,30 meter dan berat sekitar 30 kilogram. Ikan ini kerap ditemukan berenang di pantai Malalayang pada kedalaman 80 cm sampai 1 meter mengarah ke pulau Manado Tua. 

Tak salah jika sekali-kali Anda menyempatkan diri menyelam di pantai tua ini. Beberapa tempat  seperti Taman Laut Boboca menyewakan perahu dan peralatan menyelam. Jika memang tidak menyelam, Anda bisa duduk-duduk makan pisang goreng kipas dan sambal ikan roa, sambil menikmati  senja yang memang sangat indah. Guratan jingganya seakan melekat dengan langit Sabua Bulu Malalayang yang merupakan tempat kuliner bersahaja di pinggir Malalayang yang pantas untuk dinikmati.

Sambil menikmati itu semua, mungkin kita berfikir bahwa sastrawan SDA melukiskan senja dalam buku romannya karena terinspirasi senja indah di Malalayang. (K-CD)