Klaster tambak udang dengan teknologi mutakhir dibangun di berbagai daerah sebagai model percontohan. Produksi udang Indonesia terus meningkat, terserap pasar lokal maupun ekspor.
Revitalisasi tambak tradisional untuk meningkatkan produksi udang nasional. Begitulah semboyan yang sering dikemukakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Tranggono pada berbagai kesempatan. Revitalisasi tambak rakyat itu menjadi salah satu strategi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengejar target produksi udang nasional 2 juta ton per tahun pada 2024.
Budi daya udang tambak adalah tulang punggung produksi udang. Sebagian telah dioperasikan oleh korporasi swasta dengan teknologi budi daya udang yang mutakhir. Namun, sebagian besar tambak digarap rakyat dengan teknologi seadanya. Produktivitas rendah. Potensi areal lahan tambak yang ada hampir 2,9 juta hektare, yang dimanfaatkan baru 715.000 hektare, 60 persen di antaranya adalah tambak tradisional yang sebagian tak mampu berproduksi secara kontinyu.
Maka, jajaran KKP terus mendorong agar masyarakat petambak memperbarui teknik budi dayanya. KKP bekerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota membangun klaster tambak udang sebagai percontohan. Klaster tambak udang yang dibangun tersebut dilengkapi dengan fasilitas seperti bak tandon, bak distribusi air baku, petak pemeliharaan udang yang dihampari plastik kedap air warna hitam, saluran buang, instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), mesin aerator, dan titian kayu untuk memberikan pakan.
Menjelang tutup tahun 22 Desember lalu, Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Tb Haeru Rahayu meresmikan sebuah klaster tambak udang di Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang. Luas total 2,6 hektare dengan 11 kolam pemeliharaan yang masing-masing 2.000 m2. Kementerian KP memprakarsai rehabilitasi mangrove di dekat area tambak, untuk menjamin area itu tak digerus abrasi dan bisa berkelanjutan pengoperasiannya.
“Pembangunan kawasan budi daya berkelanjutan akan dioptimalkan pada kawasan-kawasan yang memiliki potensi tinggi dan memiliki dukungan, baik dari masyarakat maupun pemerintah daerah. Dukungan seperti itu diharapkan bisa mendorong berkembangnya usaha perikanan budi daya yang berbasis komoditas unggulan,” ujar Dirjen Perikanan Budi Daya, itu dalam keterangan persnya yang disampaikan melalui laman resmi kementerian.
Klaster tambak itu merupakan aset milik masyarakat. Pemerintah hanya membangun infrastruktur, sarana, dan memberikan pendampingan teknis. Ada insentif lainnya dari Ditjen Perikanan Budi Daya Tb Haeru Rahayu berupa bantuan benih udang (benur) vaname sebanyak 2 juta ekor. Jumlah yang memadai untuk budi daya udang vaname yang memiliki densitas benur 80 ekor per m3 air kolam. Haery Rahayu berharap klaster tambak ini bisa menjadi percontohan bagi masyarakat petambak di Aceh Tamiang, kabupaten di pesisir timur Aceh, yang berbatasan dengan Sumatra Utara.
Klaster tambak modern ini rencana lama di KKP. Namun, baru dapat dilaksanakan pada era Menteri Sakti Wahyu Trenggono tahun 2000. Sejauh ini klaster tambak serupa telah dibangun di Kabupaten Aceh Timur, Padang Pariaman, Lampung Selatan, Cianjur, Sukamara (Kalteng), Pasangkayu (Sulawesi Barat), Buol (Sulawesi Tengah), dan sejumlah lainnya.
Klaster tambak yang beroperasi di Pasangkayu Sumbar terbukti bisa menghasilkan udang sampai 40 ton dalam satu siklus. Untuk Klaster Tamiang, Tb Haeru Rahayu berharap bisa mencapai produksi 27 ton, atau sekitar 2,5 ton per petak, hanya dalam satu siklus 100--110 hari. Bila per petak diusahakan satu petambak, kata Dirjen Perikanan Budi Daya ini, masing-masing dapat berpenghasilan bersih Rp10 juta per bulan di sepanjang tahun.
‘’Mudah-mudahan klaster tambak udang vaname berkelanjutan ini berhasil, sehingga klaster yang serupa bisa kita akan kembangkan lebih luas dengan melibatkan pembudi daya lainnya,” kata Haeru Rahayu, sambil menekankan bahwa prospek udang vaname ini masih kuat di pasaran lokal maupun ekspor.
Dalam berbagai kesempatan Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono juga terus mengajak swasta untuk terus mengembangkan bisnis budi daya udang vaname, baik dari sisi produksi, penyediaan bibit, dan indukan, serta pengolahannya. Produksi udang budi daya nasional sendiri pada 2019 mencapai 518 ribu ton, meningkat menjadi hampir 600 ribu ton pada tahun 2021 ini. Bila akselerasi dapat dipacu terus, produksi 2 juta ton pada 2024 bukan hal yang mustahil.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ekspor hasil perikanan Indonesia selama masa pendemi Covid-19 meningkat. Pada periode Januari sampai Oktober 2021, ekspor produk perikanan Indonesia sudah mencapai USD4,56 miliar. Jumlah ini naik 6,6% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang senilai USD4,28 miliar.
Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Artati Widiarti memperkirakan, ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2021 akan mencapai USD5,45 miliar, meningkat 4,81% dibanding tahun 2020. Impornya hanya USD408 juta, maka neraca perdagangan Indonesia di sektor perikanan surplus USD4,15 miliar per Oktober 2021.
"Surplus ini naik 5,8% dari periode sama tahun lalu, yakni USD3,92 miliar," kata Artati, dalam konferensi pers catatan akhir tahun 2021 dan Proyeksi 2022 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), secara virtual, Rabu (8/12/2021).
Negara tujuan ekspor Indonesia terbesar masih ke Amerika Serikat (AS) dengan kontribusi 45% dan total transaksinya mencapai USD2,05 miliar. Menyusul ke Tiongkok dengan nilai transaksi nilai USD682 juta, ke Jepang USD503 juta, ke ASEAN dengan transaksi sebanyak USD423 juta, dan ke Uni Eropa mencapai USD259 juta.
Dari total nilai ekspor produk perikanan Januari sampai Oktober 2021, udang masih tetap menjadi komoditas utama dengan total transaksi mencapai USD1,82 miliar. Lalu, kelompok tuna, cakalang, dan tongkol yang mencapai USD586 juta; rajungan kepiting USD491 juta; kelompok cumi, sotong dan gurita mencapai USD462 juta, dan rumput laut mencapai USD269 juta.
Udang memang primadona. Di tengah pandemi 2020, ketika secara ekspor ikan konsumsi yang lain menyusut, ekspor udang meningkat. Begitu halnya pada 2021, ekspornya juga tumbuh. Utamanya dari udang vaname. Berbeda dari udang windu atau udang galah, yang hidup di dasar kolam, vaname bisa hidup mengambang mengisi seluruh kolom air dari atas hingga ke dasar, dan karena itu kolam tambak bisa diisi vaname dengan kepadatan tinggi.
Bupati Aceh Tamiang H Mursil mencium peluang itu. Ia antusias menyambut pembangunan klaster tambak di daerahnya. Ia optimistis hasilnya akan optimal. ‘’Saya sangat mengapresiasi bantuan KKP dalam pengembangan klaster tambak udang ini. Saya merasa dan berterima kasih kepada KKP yang telah mengalokasikan anggaran klaster pengembangan udang vaname di Aceh Tamiang ini,” ujar H Musril seperti dikutip dalam rilis Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Bupati H Masril meyakini, klaster tambak baru ini bisa merangsang masyarakat setempat untuk mau kembali membuka usaha tambak udang dan mengembalikan kejayaan udang di Aceh Tamiang yang pernah melambung pada era 1980-an. Namun, kejayaan udang itu cepat runtuh karena ketiadaan bibit unggul yang produktif dan tahan penyakit.
Fakta bahwa udang vaname punya reputasi tahan penyakit dan bisa produktif, itu yang membuat Masril antusias. “Kami pernah dikenal sebagai daerah penghasil udang berkualitas tinggi, melalui program ini mudah-mudahan bisa kita kembalikan kejayaannya,” tandasnya. Paket klaster tambak udang di Aceh Tamiang itu sendiri dibangun KKP dengan biaya Rp5,8 miliar.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari