Penguatan industri difokuskan pada efisiensi operasional, peningkatan daya saing, dan penetrasi pasar yang lebih luas.
Saat ini, ekonomi global tengah menghadapi tekanan berat akibat ketidakpastian geopolitik dan lesunya pasar internasional. Dampaknya jelas terasa di Indonesia, terutama pada sektor manufaktur yang mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut.
Data terbaru Purchasing Managers' Index (PMI) dari S&P Global menunjukkan, PMI Manufaktur Indonesia berada pada angka 49,2 pada Oktober 2024. Itu merupakan angka yang sama dengan bulan sebelumnya, yang sekaligus menandakan terjadinya stagnasi.
Indeks yang kembali berada di bawah batas ekspansi (50) menandakan bahwa sektor manufaktur masih dalam fase kontraksi. Sebagai informasi, sejak Juli 2024, PMI Manufaktur Indonesia menunjukkan tren kontraksi di level 49,3.
Kondisi terus berlanjut di bulan berikutnya, Agustus (48,9), September (49,2), dan Oktober (49,2). Kondisi ini mengingatkan kembali pada periode awal pandemi Covid-19, ketika PMI juga mencatat kontraksi beruntun selama empat bulan, yakni pada April--Juli 2020.
Namun, kini tantangan yang dihadapi lebih kompleks, terkait dengan lesunya perekonomian global akibat perang Ukraina-Rusia, ketegangan di Timur Tengah, serta berbagai isu ekonomi regional yang memperlambat aktivitas perdagangan dunia.
Menurut S&P Global, penurunan indeks manufaktur Indonesia dipengaruhi oleh melemahnya output, penurunan pesanan baru, serta pengurangan lapangan pekerjaan. Hal ini mengakibatkan tumpukan pekerjaan berkurang dan stok barang meningkat, yang menandakan minimnya permintaan pasar baik domestik maupun internasional. Keyakinan terhadap prospek ekonomi pun melemah, mencatat level terendah dalam empat bulan terakhir.
“Manufaktur Indonesia terus menunjukkan kinerja yang lesu pada Oktober, dengan produksi, pesanan baru, dan lapangan pekerjaan semuanya mengalami penurunan marginal sejak September,” ungkap Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence.
Smith menambahkan, pelaku bisnis menunjukkan kewaspadaan tinggi akibat ketidakpastian geopolitik yang mengurangi minat pasar untuk mengajukan pesanan baru, baik di pasar domestik maupun ekspor.
Tantangan Mengejar Pertumbuhan
Kondisi ini menjadi tantangan awal bagi tim ekonomi Presiden Prabowo Subianto, yang baru dilantik pada 20 Oktober lalu. Mengusung target pertumbuhan ekonomi hingga 7--8 persen per tahun, penguatan motor penggerak ekonomi, sektor manufaktur, menjadi sebuah keniscayaan.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa kontraksi manufaktur ini juga dialami oleh sejumlah negara ASEAN. Menurutnya, tren serupa terlihat di sektor domestik Indonesia. Airlangga berharap, sektor konsumsi bisa kembali pulih sehingga sektor industri juga akan terdorong.
“Jika konsumsi meningkat, kami berharap sektor industri juga dapat mengalami pemulihan,” tambah Airlangga.
Menurut Airlangga, untuk mendorong pemulihan manufaktur, kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat sangat penting karena terkait erat dengan permintaan pasar domestik.
Butuh Dukungan Seluruh Pemangku Kepentingan
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif juga menekankan bahwa upaya memulihkan sektor manufaktur harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan. “Kami (Kemenperin) tidak bisa bertindak sendiri dalam menjaga iklim kondusif bagi industri dalam negeri. Kebijakan dari kementerian dan lembaga lain sangat menentukan,” ujar Febri.
Sementara itu, laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tren deflasi yang terjadi selama lima bulan sejak Mei 2024 telah berakhir, dengan inflasi 0,08 persen pada Oktober 2024.
Kenaikan indeks harga konsumen (IHK) ini memberikan harapan bagi peningkatan permintaan domestik, yang dapat membantu sektor manufaktur menuju pemulihan. Namun ini hanya awal, dan masih diperlukan upaya lebih besar untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi sektor manufaktur.
Tim ekonomi pemerintah Prabowo Subianto perlu kerja lebih keras lagi mendorong dan mendongkrak daya saing manufaktur nasional. Upaya penguatan industri harus difokuskan pada efisiensi operasional, peningkatan daya saing, dan penetrasi pasar yang lebih luas.
Salah satu solusi adalah reformasi struktur biaya produksi, di antaranya menurunkan biaya energi, bahan baku, serta transportasi yang seringkali menjadi beban operasional terbesar bagi perusahaan manufaktur.
Selain itu, perlunya mempertimbangkan kebijakan dukungan fiskal dalam bentuk insentif pajak, seperti pengurangan pajak penghasilan untuk sektor padat karya dan manufaktur berteknologi tinggi.
Langkah ini diharapkan dapat mendorong investasi sekaligus meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri. Dukungan insentif ini, apabila disertai dengan pengembangan kemampuan teknologi dalam industri, akan membantu sektor manufaktur lebih kompetitif di kancah internasional.
Tidak dipungkiri, pemulihan sektor manufaktur Indonesia bukanlah hal yang mudah di tengah ketidakpastian geopolitik global. Namun, melalui kebijakan yang tepat dan dukungan penuh dari semua pihak, Indonesia memiliki peluang untuk bangkit dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Tantangan awal bagi pemerintah baru ini juga menjadi kesempatan untuk membuktikan komitmen mereka dalam meningkatkan kinerja industri dan memperkuat fondasi ekonomi nasional.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf