Kasus positif Covid-19 di Inggris sudah jauh melandai dan kian terkendali. AstraZeneca tetap menjadi vaksin andalan. Di Indonesia, vaksin itu tak menemui banyak kendala.
Kontroversi tentang efek sampingnya masih belum sepenuhnya reda, namun penggunaan vaksin AstraZeneca terus dilanjutkan. Alasannya, manfaat vaksinasi AstraZeneca tersebut jauh lebih besar dibanding risiko yang dihadapi. Pandangan itulah yang disampaikan baik oleh organisasi kesehatan dunia WHO, European Medicines Agency (EMA), dan Medicines and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA) dari Inggris.
“Risiko kematian akibat Covid-19 itu jauh lebih besar daripada risiko kematian akibat efek samping yang sebetulnya merupakan kejadian yang langka ini,” kata Direktur Eksekutif EMA Emer Cooke menyampaikan kesimpulannya di depan pers di Brussel, Selasa (6/4/2021).
Kontroversi efek samping AstraZeneca itu muncul sejak pekan kedua Maret 2021, setelah muncul laporan tentang kasus penggumpalan darah pada sejumlah kecil penerima vaksin AstraZeneca. Atas laporan tersebut, secara berturut-turut 12 negara Uni Eropa menunda penyuntikan AstraZeneca untuk sementara waktu.
Otoritas kesehatan di berbagai negara Eropa kemudian mencari bukti-bukti terkait dengan sinyalemen tersebut. Hasilnya memang nyata. Di Inggris, misalnya, hingga akhir Maret 2021 ditemukan 79 kasus penggumpalan darah, dan 19 di antaranya berujung kematian. Angka itu terjadi di antara 11 juta orang penerima suntikan vaksin AstraZeneca.
Hubungan sebab akibat antara vaksinasi dan penggumpalan darah itu sendiri masih remang-remang. Materi genome (antigen) pada vaksin AstraZeneca tidak berbeda dari vaksin yang lain, yang tak disebut menimbulkan efek penggumpalan darah. Maka, ahli EMA yang mengkaji vaksin buatan pabrik dari Oxford, Inggris, menyimpulkan, “Penggumpalan darah itu (merupakan) kasus tak biasa dan perlu dicatat sebagai efek samping yang sangat jarang terjadi.”
EMA menyatakan, salah satu penjelasan efek samping ini ialah kondisi imunitas individual yang setara dengan penyandang sindrom langka heparin induced thrombocytopenia (HIT), yang menyebabkan kekurangan trombosit. “Laporan penggumpalan darah dan rendahnya trombosit darah sangat jarang dan secara umum manfaat untuk mencegah Covid-19 lebih tinggi daripada risiko efek samping,” demikian penjelasan EMA.
Pembatasan Usia
Kontroversi soal pembekuan darah itu telah memunculkan desakan bagi Pemerintah Inggris untuk menunda penggunaan AstraZeneca. Namun, Pemerintah Inggris tetap berpandangan, “Hubungan penggumpalan darah dan vaksin itu logis, tapi masih perlu dikonfirmasi”. Deputi Menteri Kesehatan Inggris Jonathan Van-Tam menegaskan, mungkin ada penundaan vaksinasi hanya pada kelompok usia di bawah 30 tahun. Namun, katanya, penundaan itu akan berlangsung singkat, dan tak akan banyak mengganggu jadwal vaksinasi.
"Kami akan mengikuti saran terbaru hari ini, yang memungkinkan orang segala usia untuk terus percaya penuh pada vaksin, membantu kita menyelamatkan nyawa dan dengan hati-hati kembali ke keadaan normal," demikian cuitan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson di akun Twitter-nya.
Sejumlah negara Eropa, yang sebelumnya menunda penggunaan vaksin AstraZeneca, juga telah memilih untuk bersikap lebih longgar. Jerman mengizinkan penggunaannya untuk kelompok usia di atas 60 tahun. Langkah serupa diikuti oleh Belanda, Italia, dan Spanyol. Sementara itu, Prancis membolehkan penggunaan bagi warganya yang berusia di atas 55 tahun.
Di tengah kontroversi dampak vaksin AstraZeneca itu, kasus Covid-19 kembali melonjak di Eropa selama enam pekan terakhir. Kasus positif mingguan merangkak naik, dari posisi 950 ribu awal Februari 2021 menjadi 1,6 juta kasus per minggu di akhir Maret 2021. Kekhawatiran adanya gelombang ketiga serangan Covid-19 bukan omong kosong.
Di antara negara-negara Eropa, Inggris mencatat hasil pengendalian Covid-19 terbaik. Kurva kasus positif Covid-19 secara konsisten terus menurun sejak awal Januari 2021, bahkan telah menunjukkan kurva yang sangat melandai. Pada Jumat 9 April lalu, di seluruh wilayah Kerajaan Inggris hanya ada 2.378 kasus baru. Padahal, pada 9 Januari 2021, tercatat ada 59 ribu kasus baru dalam 24 jam.
Tekad untuk melanjutkan vaksinasi AstraZeneca juga terjadi di Australia. Seperti di negara lain, ada desakan sejumlah kalangan agar Australia menangguhkan penggunaan vaksin itu. "Pada titik ini, tidak ada saran yang menunjukkan akan ada perubahan pada penggunaan vaksin (AstraZeneca)," kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison dalam pernyataannya Kamis (8/4/2021).
Sejumlah negara Asia Tenggara yang sebelumnya menunda penggunaan AstraZeneca, kini telah mengaktifkannya kembali. Perdana Menteri (PM) Thailand Payut Chan-o-Cha justru menjalani suntikan vaksin AstraZeneca di tengah kontroversi efek sampingnya Maret silam. Kini, AstraZeneca menjadi andalam vaksinasi di Thailand.
‘’Lebih dari 150 ribu orang yang telah diinokulasi dengan Vaksin AstraZeneca,” kata Wakil PM Anutin Charninakul, yang sekaligus Menteri Kesehatan Thailand itu. Menurutnya, seperti dikutip CNBC, efek samping suntikan vaksin buatan Oxford itu tidak signifikan di Thailand.
Lain halnya dengan Filipina. Otoritas Kesehatan Filipina menyetop sementara pemakaian vaksin AstraZeneca untuk warga usia di bawah 60 tahun. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Filipina Enrique Domingo mengatakan, meski demikian pihaknya belum menemukan kasus pembekuan darah terhadap orang-orang yang disuntik vaksin AstraZeneca.
"Penghentian sementara ini tak berarti bahwa vaksin itu tidak aman atau tidak efektif, itu hanya berarti kami mengambil tindakan pencegahan untuk memastikan keamanan setiap warga Filipina," kata Domingo, pada Kamis (8/4/2021) seperti dikutip cnn.com.
Di Indonesia, vaksinasi AstraZeneca baru berjalan pekan ketiga. Sejauh ini, tak ada laporan adanya kejadian ikutan yang serius atas vaksin ini, dan praktis tak ada kendala di lapangan. Maka, tidak ada perubahan dalam kebijakan vaksinasinya.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari