Indonesia.go.id - Tertahan di Hulu, Hilir Jadi Pilihan

Tertahan di Hulu, Hilir Jadi Pilihan

  • Administrator
  • Sabtu, 19 September 2020 | 00:58 WIB
BATU BARA
  Aktivitas pertambangan batubara. Foto: Antara Foto/Prasetyo Utomo

Menteri ESDM mengatakan target serapan pasar domestik untuk batu bara bisa tercapai. Menteri Luhut Binsar Panjaitan menawarkan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah.

Secara perlahan harga batu bara merambat naik. Meski wabah Covid belum mereda, industri mulai menggeliat dan mendorong naiknya permintaan batu bara. Indikator itu bisa terlihat dari tren harga acuan dari Newcastle Coal Future, harga acuan kontrak batu bara global, yang telah menempatkan emas hitam itu bertengger di harga USD54,64 per ton pada Kamis (17/9/2020).

Sehari sebelumnya, harga komoditas itu tertahan di level USD52,75 per ton, lalu jadi terkerek naik 1,18 persen. Pada hari pertama perdagangan pekan ini, Senin (14/9/2020), harganya sempat ditutup pada level USD53,8 per ton. Ada fluktuasi, hingga kemudian sampai ke level 54 dolar AS.

Masih perlu waktu agar harga di Newcastle ikut mengatrol harga batu bara Indonesia. Harga batu bara acuan (HBA) Indonesia per September menunjukkan tren menurun dan dipatok di level USD49,42 per ton. Turun dari HBA pada Agustus yang USD50,34 per ton. Puncak harga 2020 tercapai Maret lalu ketika HBA dipancang di level USD67,08 per ton di Maret 2020. Ditera dari posisi itu, harga batu bara anjlok 26,04 persen.

Harga batu bara acuan (HBA) itu merujuk pada kualitas tertentu, yakni batu bara kalori 6.322 Kcal/kg gross air received atau GAR. Kondisi September 2020 itu menyamai harga di Februari 2016 yang merupakan level terendah dalam lima tahun terakhir.

Kebanyakan produsen batu bara Indonesia kini memproduksi jenis kalori 4.200 Kcal/Kg GAR. Harga batu bara dengan nilai kalori itu kini harga jual free-on-board bahkan sudah berada di bawah level USD26--USD27, level harga yang menurut konsensus agar bisa impas. Dengan kondisi seperti ini lebih separuh dari produksi batu bara nasional sudah di level minus, mengingat produksi Indonesia sebagian besar di kalori 4500 Kcal/Kg GAR ke bawah.

Produksi batu bara Indonesia 2020 ditargetkan mencapai 550 juta ton. Dari produksi sebesar itu, proyeksi serapan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) adalah 155 juta ton. Proyeksi itu telah direvisi menjadi 141 juta ton akibat pelambatan ekonomi nasional. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun menebar optimistis bahwa target produksi itu tetap mampu diserap oleh pasar.

Tak dipungkiri, pandemi Covid-19 telah menghantam sektor industri pertambangan batu bara, meski aktivitas produksi kini mulai berjalan normal. Pandemi menghantam permintaan global dan telah mendorong kejatuhan harga ke level terendah dalam 10 tahun terakhir ini.

Sejumlah pelaku usaha mengeluhkan kondisi saat ini dan disebutnya lebih berat dibandingkan periode kejatuhan harga komoditas pada 2013—2016. Pelaku usaha (produsen batu bara) nasional merasa masih menghadapi situasi yang berat.

Dalam satu kajian yang dirilis oleh Asosiasi Pengusaha Batu bara Indonesia (APBI) disebutkan, separuh pemasok batu bara dunia mengalami kerugian oleh level harga rendah dalam situasi pandemi ini. Bisnis batu bara Indonesia tercatat mengalami kontraksi sampai 52 persen, Rusia 61 persen, dan yang terparah Kolombia (83 persen).

Lantas, apa kiat produsen batu bara lokal mensiasati kondisi yang kurang menguntungkan bagi bisnis mereka di tengah berlangsungnya pandemi Covid-19 yang tak menunjukkan tanda-tanda mereda ini? Sebagian melakukan perubahan bisnis, salah satunya masuk ke bisnis PLTU. Tujuannya untuk menyeimbangkan volatilitas batu bara bagi kinerja perseroan. Mereka berniat masuk ke arena bisnis produksi listrik di hilir seraya memanfaatkan kapasitas mereka memproduksi batu bara.

Kiat itu merupakan diversifikasi portofolio perusahaan guna masuk ke lini usaha hilir. Dengan begitu, mereka bisa mempertahankan kinerja keuangannya agar lebih berkesinambungan.

Langkah mitigasi perlu diambil. Apalagi bila mengacu ke perkiraan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2020 masih di zona negatif, pada kisaran 0,0 persen sampai dengan -2,1 persen. Batu bara adalah salah satu penyumbang penerimaaan negara yang penting bersama dengan migas, minyak sawit, dan pariwisata.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun dalam berbagai kesempatan sudah memberikan gambaran soal ekonomi negara yang disebutnya akan mengalami pertumbuhan negatif -1,1 persen—0,2 persen. “Ini melihat kemungkinan, dalam kisaran (angka) ini karena adanya PSBB di DKI Jakarta. Harus betul-betul dipersiapkan kemungkinan di lower end,” kata Sri Mulyani, Selasa (15/9/2020).

 

Terus Digenjot

Menkeu pun menjanjikan agar perekonomian tidak turun terlalu dalam. Program pemulihan ekonomi nasional (PEN) diyakini bisa mendorong perekonomian bergerak pada jalur positif. Country Economist ADB (Asian Development Bank) for Indonesia Emma Allen mengatakan, pada tahun ini ekonomi nasional diperkirakan terkontraksi -1,0 persen.

Kontraksi ini merupakan yang pertama kalinya sejak krisis finansial di Asia pada periode 1997—1998. “Ekonomi Indonesia akan terkontraksi -1,0 persen, tapi akan tumbuh 5,3 persen pada tahun depan sejalan dengan pemulihan ekonomi,” ujarnya, dalam paparan Asian Development Outlook 2020 Update, Kamis (17/9/2020).

Dari gambaran itu, mungkin pendapat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bisa menjadi acuan bagi gerak langkah usaha pelaku usaha di sektor pertambangan batu bara.

Menurut Luhut, potensi nilai tambah atau hilirisasi batu bara di Indonesia cukup besar. Luhut pun menekankan dua jenis hilirisasi, yakni dalam bentuk gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl ether (DME) atau menjadikannya metanol. Langkah itu bisa menjadi opsi yang menarik.

Dia mengatakan, hilirisasi merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan nilai tambah, dibandingkan dengan terus-terusan menjual batu bara sebagai barang mentah. Dengan opsi hilirisasi, cadangan batu bara Indonesia dapat dimanfaatkan lebih optimal. Apalagi, konsumsi penggunaan batu bara di dalam negeri masih lebih rendah ketimbang yang diekspor.

Sebagai gambaran, pada tahun lalu serapan domestik batu bara masih sebesar 138 juta ton, sedangkan yang diekspor mencapai 375 juta ton, dengan nilai ekspor sekitar USD19 miliar. "Penjualan batu bara sebagian besar diekspor, kita perlu maintenance batu bara ini. Karena cadangan tidak banyak, jadi perlu melihat itu," kata dia, saat memberikan paparan dalam rangkaian acara 30 tahun Perhapi, Senin (14/9/2020).

Luhut juga memaparkan, produk turunan bisa memberikan nilai tambah hingga 2--3 kali lipat. Pengolahan batubara menjadi metanol (coal to methanol), misalnya, bisa memberikan peningkatan nilai ekspor hingga 2,4 kali. Sementara itu, peningkatan nilai untuk batu bara menjadi DME sebanyak 1,85 kali.

Apalagi, hilirisasi batu bara menjadi DME dan metanol bisa menjadi produk substitusi yang dibutuhkan Indonesia. Seperti DME untuk substitusi LPG yang sebagiannya masih diimpor, serta metanol yang bisa dijadikan campuran biodiesel (FAME).

Artinya, berkaca dari pemaparan di atas, di tengah tekanan menurunnya permintaan dan belum menariknya harga komoditas batu bara itu, kini saatnya bagi pelaku usaha lokal untuk masuk penghiliran batu bara.

 

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini