Hanya tujuh jam menjelang Tahun Baru 2019, warga Kampung Cimapag, Desa Sirnaresmi, Sukabumi, itu harus menutup kalender tahun 2018 dengan cerita pilu. Di ujung sore Senin 31 Desember lalu, lereng bukit di sisi barat dusun itu longsor. Disertai suara gemuruh, material tanah yang melumpur itu menerjang Cimapag, Kecamatan Cisolok, sebuah kampung di kaki pegunungan Taman Nasional Halimun-Salak. Sebanyak 34 rumah warga tertimbun sebagian atau seluruhnya.
Jatuhnya korban tak terhindarkan. Tim SAR yang diterjunkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan dibantu personel TNI-Polri, melaporkan bahwa pada hari kedua Rabu (2/1/2019) tercatat ada 15 korban ditemukan tewas, dan 20 lainnya masih dicari. Dua kendaraan berat dikerahkan untuk membantu evakuasi korban.
Daftar panjang bencana alam terpahat di sepanjang 2018. Dalam catatan BNPB, setidaknya terjadi 2.000 peristiwa bencana alam dengan korban sekitar 3.600 jiwa, dan 3 juta lainnya korban terdampak bencana. Sebut saja, gempa Lombok-Sumbawa dengan korban 564 jiwa, gempa Palu- Donggala dengan korban jiwa 2.110 orang dan 1.300 orang lainnya hilang. Tsunami Selat Sunda yang menelan 437 jiwa dan 10 lainnya dinyatakan hilang.
Dari sisi frekuensi kejadian, bencana 2018 ini lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya, yakni pada 2017 yang tercatat 2.392 kasus bencana dan 2016 ada 2.306 kasus. Namun, skala kebencanaan di 2018 lebih kuat. Misalnya, akibat gempa bumi di Lombok dan Sumbawa, di luar korban manusia, ada kerusakan dan kerugian Rp17,13 triliun. Sementara itu, gempa dan tsunami Palu-Donggala telah menimbulkan kerugian lebih dari Rp13,82 triliun.
Bencana alam 2018 adalah yang terburuk sejak 2007. Namun, musibah alamiah memang tak bisa terhindarkan di Bumi Nusantara. Berada di atas busur cincin api dunia, Indonesia memiliki banyak gunung berapi yang aktif. Negeri ini juga tumbuh di atas zona pertemuan lempeng-lempeng bumi utama di dunia. Ada Lempeng Indo-Australia, Eurasia, Filipina, dan Pasifik, yang formasinya baku tindih di masing-masing tepiannya.
Lempeng-lempeng itu terus bergerak. Satu teori menyebut, pendorongnya adalah massa air laut dan rotasi bumi. Gerakan itu sering menimbulkan patahan atau deformasi, lantas melepas energi dalam bentuk gempa, yang sering diikuti tsunami. Sialnya, lempeng-lempeng itu telah pecah dan pecahan yang satu mendorong yang lain di zona yang disebut sesar.
Peta geologi memetakan adanya 295 ruas sesar di Idonesia. Sesar Flores adalah pemicu gempa di Lombok-Sumbawa tahun lalu. Sedangkan Sesar Palu-Koro menjadi biang pemantik gempa di Palu-Dongala. Mengacu pada peta geologi tadi, terlihat banyak wilayah di Indonesia yang bisa terpapar gempa tektonik.
Gunung berapi menjadi sumber bahaya yang lain. Di Indonesia terdapat 127 gunung, dan tujuh di antaranya sedang aktif, yakni Gunung Sinabung (Sumut), Anak Krakatau (Selat Sunda), Merapi di Jateng-Yogyakarta, Ijen (Jatim), Agung (Bali), Soputan (Sulut), dan Gamalama (Ternate). Ada lima juta warga yang akan terpapar langsung bila gunung-gunung itu meletus.
Banjir tentu masuk dalam daftar kebencanaan, karena sebagian besar wilayah Indonesia terletak di kawasan tropis basah. Di musim hujan, banjir sudah seperti berita harian. Apalagi, derah aliran sungai (DAS) di Indonesia banyak yang sudah lama terkikis.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1546585635_antarafoto_evakuasi_korban_longsor_cisolok_020119_agr_8.jpg" style="height:533px; width:800px" />Evakuasi korban longsor Cisolok. Sumber foto: Antara Foto
Melengkapi potensi bencana alam itu masih ada unsur badai di laut, angin puting beliung, abrasi pantai, kekeringan yang utamanya di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan tanah longsor seperti yang melanda Dusun Cimapag di Kecamatan Cisolok, Sukabumi.
Kampung Cimapag memang tergolong dusun rawan becana longsor. Terletak di bawah perbukitan terjal bertanah liat bercampur humus dan pasir, Cimapag selalu diintai bahaya setiap musim hujan tiba. Curah hujan tinggi dikombinasikan dengan lereng bukit terjal dan lapisan tanah yang gembur mudah terinfilrasi air dan mudah melumpur, pun menjadi ancaman nyata.
Maka ketika hujan turun beruntun selama beberapa hari dan membuat tanah di lereng perbukitan itu menjadi jenuh, struktur tanah yang ada tak mampu menahan beban mekanik di atasnya. Massa tanah itu pun runtuh, melumpur, dan tergelincir..
Adanya vegetasi rapat di lereng bukit, berupa belukar perdu dan pepohonan liar, tak cukup untuk menghentikan longsor. Zona perakaran tak cukup dalam. Sementara itu, lereng terjal memberikan energi potensial bagi massa lapisan tanah untuk meluncur ke bawah. Lantas, hujan berhari-hari menjadi pemicunya, karena membuat tanah jenuh, lebih berat, dan melumpur. Longsor menjadi keniscayaan.
Di Sukabumi, bukan hanya Cimapag yang masuk daftar rawan longsor. Para pegiat SAR setempat mencatat bahwa di daerah tersebut setidaknya ada 47 desa rawan longsor. Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor mencatat, dari 40 kecamatan yang ada, 22 di antaranya punya potensi longsor. Bisa dibayangkan besarnya potensi bahaya itu, bila setiap kecamatan punya 10 titik rawan.
Tak mau jadi langganan bencana alam yang menelan korban jiwa, BPBD Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, menempuh cara yang tak lazim dalam mitigasi bencana. Tak kurang dari 474 rambu bencana dipasang di berbagai lokasi. Ada yang menunjuk titik rawan longsor, ada yang menandai titik rawan erupsi kawah di Pegunungan Dieng, banjir bandang, dan semburan gas beracun.
Kondisi rawan longsor itu ada di mana-mana, mulai dari Aceh hingga Papua. Pengecualian hanya ada di wilayah kering dengan perbukitan bercadas seperti di NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, serta Kalimantan yang konturnya landai. Selebihnya, ada saja titik-titik rawan longsor. Tidak heran bila BNPB memperkirakan jumlah penduduk yang berada di zona rawan longsor mencapai 40 juta.
Merelokasi warga dari titik rawan bencana hampir mustahil. Begitu banyak lokasi rawan bencana dan begitu sedikit tempat yang benar-benar bebas dari segala potensi bencana. Dalam situasi ini pilihannya adalah menyiapkan langkah-langkah mitigasi bencana.
Di tengah keterbatasannya, BPBD Banjarnegara melakukan mitigasi dengan cara yang sederhana, memasang rambu-rambu potensi bencana. Langkah itu dimaksudkan sebagai pengingat, supaya warga masyarakat tidak bermukim dan tak membangun fasilitas umum di lokasi tersebut. Rambu itu juga sengaja dipasang agar warga selalu waspada. Ketika tanda bahaya datang, mereka tahu ke mana harus jalan untuk menyelamatkan diri.
Peringatan Dini
BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) sempat dibidik kritik terkait tsunami Selat Sunda, yang menerjang tanpa ada peringatan dini. Badan pemerintah itu mengakui, perkakasnya tak mendeteksi tsunami akibat luruhnya lereng Anak Krakatau, yang sebagian terbenam di dalam laut akibat peristiwa vulkanik. Assesment gempa dari BMKG lebih mengacu pada data kegempaan tektonis.
Ketika meninjau tsunami Selat Sunda di Pandeglang (24/12/2018), Presiden Joko Widodo menyatakan akan menyempurnakan instrumen pemantauan tsunami. BMKG pun cepat merespons problem ini. Setelah membangun jejaring konektivitas data dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BMKG akan berbagi data pemantauan dengan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), lembaga yang berada di bawah Kementerian ESDM.
Dengan konektivitas berstandar 4.0, yang seluruh proses pertukaran data dilakukan oleh mesin, kedua badan itu bisa saling memanfaatkan hasil pemantauan mereka secara real time. BMKG bisa mengirim peringatan dini ke publik jika hasil pemantauan PVMBG menunjukkan adanya deformasi di laut akibat dari peristiwa vulkanik. Alat-alat baru juga akan ditambahkan ke dalam jaringan itu.
Tentu, semuanya akan makan waktu. Sementara menunggu, BMKG, BNPB, dan PVMBG berencana menyusun modul-modul deteksi dini bencana alam, termasuk longsor. Sebelum longsor, misalnya, secara visual ada tanda-tanda tanah yang retak, pohon yang miring karena ada pergeseran, dan dipicu hujan yang berkepanjangan. Modul-modul ini bisa dibagi ke masyarakat melalui media sosial (medsos). (P-1)