Bicara bagaimana pentingnya peran agama Nasrani, baik Protestan maupun Katolik, bagi masyarakat Papua, jelas bisa dilihat dari berbagai perubahan yang terjadi di tengah masyarakat di seluruh Tanah Papua hingga dewasa ini.
Seperti telah disinggung dalam tulisan sebelumnya, Wisata Religius ke Pulau Mansinam, sejarah ini berawal dari kedatangan dua zendeling berkebangsaan Jerman, yakni Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottloba Geissler. Keduanya menginjakkan kaki pertama di Pulau Mansinam, kemudian ke Kwawi-Manokwari, yang secara lokasi berada di Kepala Burung.
Momen ini merupakan tonggak sejarah baru dalam kehidupan masyarakat Papua, yang sebagian besar dari populasi mereka di pulau ini hidup secara terisolasi selama berabad-abad. Setelah zending dimulai pada 1855, belakangan menyusul misi Katolik Roma dimulai pada 1896, kedua gerakan keagamaan ini jelas memiliki kontribusi perubahan secara positif yang tidak sedikit.
Benar, jauh hari sebelumnya orang Portugis atau Spayol pernah singgah. Sebutlah George de Menezes berasal dari Purtugis, misalnya, ia merupakan orang Eropa pertama yang melihat pulau ini pada 1526. Atau pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retez, tercatat mengunjungi pulau ini pada 1545 dan konon dia pulalah yang memberikan nama “Nueva Guinea” atau “Guinea Baru.”
Bagaimana bisa disebut Nueva Guinea? Guinea atau tepatnya Pantai Guinea ialah nama daerah di Afrika, penduduk juga berkulit hitam. Ketika melihat masyarakat Papua, agaknya Ortiz teringat pada masyarakat di Pantai Guinea Afrika itu. Selain Nueva Guinea, juga dikenal istilah “Papua.” Konon, istilah ini diberikan oleh pelaut Portugis, Antonio d’Arbreu, yang juga tercatat singgah di Papua setelah Ortiz, yaitu di tahun 1551. Istilah Papua konon berasal dari bahasa Melayu, "pua-pua" yang berarti rambut keriting.
Sedangkan pemerintah Hindia Belanda sendiri resmi menguasai Papua pada 1828, setelah mendirikan Benteng di Lobo, Teluk Triton, sekarang wilayah Kabupaten Kaimana. Tapi, bicara teritori Hindia Belanda tidaklah mencakup keseluruhan pulau itu. Terbesar kedua di dunia setelah Pulau Greenland di Jerman, pada sisi timur pulau itu, yang sekarang merupakan Negara Papua Nugini, sejak tahun 1883 pada bagian selatan pulau itu menjadi bagian dari kekuasaan Inggris, sedangkan bagian utara pulau itu dikuasai oleh Jerman sejak 1884.
Meskipun interaksi dengan peradaban Barat sudah terjadi, roda perubahan dan kemajuan barulah mulai diputar serius semenjak kedatangan dua pendeta Ottow dan Geissler. Pasalnya sejak itu pulalah pendidikan formal mulai diperkenalkan. Tradisi membaca, menulis, dan berhitung, mulai diajarkan melalui dibukanya sekolah-sekolah.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1568079406_Sekolah_laudjuLan.JPG" style="height:200px; width:312px" />
Sekolah laudjuLan. Foto: Dok. Irian Barat
Kedua pendeta itu bekerja mengabarkan Injil atas intruksi Utrechtscge Zendelings Vereniging. Sudah tentu saat itu mereka dibantu oleh pemerintah Hindia Belanda. Bantuan itu dimaksudkan untuk memberikan dasar yang kuat bagi penegakan kekuasaan Belanda di bumi Papua, menghadapi persaingan pengaruh dengan negara Eropa lainnya, Jerman, dan Inggris.
Karena pada perjalanannya nanti Kerajaan Belanda di Eropa menjadi sekuler, pemerintah kolonial Belanda juga tidak bisa mencegah misionaris Katolik Roma melakukan aktivitasnya di Hindia Belanda, termasuk di Papua. Pemisahan antara gereja dan negara berarti negara juga harus mengambil sikap netral mengenai isu-isu agama, karenanya aktivitas zending maupun misi diserahkan pada sektor nonpemerintahan.
Ada hal menarik patut dicatat di sini. Bahwa, agenda zending ke Papua ini dilakukan setelah Ottow dan Geissler beroleh izin dari Sultan Tidore yang Islam. Dari sumber yang berbeda, Kamma (1981) dalam karyanya Ajaib di Mata Kita mengatakan izin itu diberikan oleh Sultan Ternate yang Islam juga.
Segera saja setelah menginjakkan kakinya di Papua, kedua Rasul Papua ini bekerja melayani dengan kesabaran, kesetiaan, dan semangat yang tak kenal lelah. Pulau Mansinam dan juga Kwawi-Manokwari dijadikan sebagai pos pekabaran Inji. Setahun sejak kedatangannya di Pulau Mansinam, pada 1856 mereka memperkenalkan pendidikan Kristen dengan mendirikan sekolah dasar. Sekolah ini disebut dengan nama Sekolah Pengadaban (Beschoving School).
Pada awalnya pendidikan merupakan sarana untuk memperkenalkan agama Kristen Dimulai dari memperkenalkan kebiasaan sehari-hari yang baik, seperti menjaga kesehatan, ketertiban, membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dan berdoa. Selain itu, juga diberi pelajaran yang kelak akan bermanfaat dalam hidupnya (life skills), seperti: berkebun, bercocok tanam, pekerjaan tangan, dan hidup secara sehat.
Merujuk Sejarah Ringkas Pekabaran Injil dari Mansinam ke Seluruh Tanah Nieuw Guinea karya Hanz Wanma (2014), sampai dengan kematian Ottow (9 November 1862) dan Geissler (11 Juni 1870) keberhasilan zending saat itu bisa dikata masih sangat kecil. Jumlah orang Papua yang dibaptis di Pulau Mansinam hanya 5 orang dan 15 anak di sekolah.
Sekalipun belum memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan, toh demikian jalan perubahan dan proses transformasi masyarakat Papua telah ditorehkan. Roda perubahan dan kemajuan telah dan terus diputar.
Pada tahun 1897 tercatat terdapat 7 sekolah. Situasi baru yang menggembirakan baru terjadi setelah ada kesaksian seorang murid Zendeling Bink, yang bernama Yan. Walhasil, pada 1914, Sekolah Pengadaban jumlahnya telah meningkat menjadi 51 buah dengan jumlah guru 73 orang dan murid 2.353 orang.
Sebagai usaha lanjutan, anak-anak muda yang telah mendapat bekal sekolah dasar ini kemudian didorong untuk belajar lagi di luar Pulau Papua. Kebijakan ini dilakukan untuk mengisi kekosongan guru melalui guru-guru pribumi. Sebelumnya guru-guru masih harus didatangkan dari daerah Maluku, Ambon, dan Sangir, atau orang-orang Papua yang telah mengenyam pendidikan dasar harus disekolahkan lagi terlebih dulu ke sana.
Menimbang kebutuhan tersebut, pada tahun 1923 didirikanlah Sekolah Sambung dan Sekolah Guru Desa di Pulau Mansinam. Tujuan didirikannya adalah untuk menampung siswa-siswa Papua, yang memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Pembukaan sekolah guru juga dimaksudkan menjawab kebutuhan guru, seiring dibukanya beberapa sekolah di kampung-kampung.
Namun dalam perkembangannya kemudian, pada Oktober 1925 pihak gereja Protestan melalui Izaak Samuel Kijne memutuskan memindahkan Sekolah Sambung dan pendidikan Sekolah Guru Desa itu ke Miei, tepatnya di Bukit Aitumieri, Kabupaten Wondama.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1568079629_Kantor_Jajasan_sekolah_Kristen_di_Sukarnapura.JPG" />
Kantor Jajasan sekolah Kristen di Sukarnapura. Foto: Dok. Irian Barat
Kembali merujuk tulisan Kamma, disebutkan kepindahan dari Mansinan ke Aitumieri sebagai upaya untuk melahirkan siswa asli Papua yang kelak akan menjadi pemimpin bagi masyarakatnya sendiri. Sebuah prasasti yang disebut “Batu peradaban” di Wondama, tertulis pesan atau harapan Izaak Samuel Kijne terkait pemindahan sekolah ini:
“Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan kearifan tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Wasior, 25 Oktober 1925).
Sekolah-sekolah ini tidak dapat disangkal berasal dari inisiatif para Zendeling yang datang berturut-turut. Tentu saja juga oleh para misionaris Katolik Roma di berbagai lokasi pengembangan pos-pos penyebaran Injil. Lazimnya gerakan keagamaan keduanya dikemas menjadi satu paket antara gereja, sekolah (pendidikan), dan pelayanan kesehatan.
Ya, bicara transformasi sosial budaya di Tanah Papua tidak bisa tidak memang harus bicara perihal peranan sentral agama dan pendidikan. Agama dan pendidikan telah menautkan masyarakat Papua dengan dunia luar. Dalam konteks inilah, bahasa Melayu lazimnya menjadi bahasa pengantar pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh para zendeling atau juga misionaris.
Bahasa Melayu lingua franca, yang dalam perjalannya berdialektika menjadi bahasa nasional melalui momen Sumpah Pemuda 1928 ini, sedikit atau banyak telah membantu mempersatukan imajinasi masyarakat Papua terhadap identitas kolektif dirinya sebagai etnis.
Merujuk Profil Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan Papua karya Normawati dkk (2007) disebutkan, di Papua setidaknya terdapat 240 bahasa dan tiap bahasa mempunyai penutur rata-rata 4.000 orang. Sumber lain, ada yang menyebutkan bahkan mencapai jumlah 270 – 300 bahasa.
Sialnya, karena situasi keterisolasian hutan di sana, maka secara etnis masyarakat Papua menjadi demikian terfragmentasi. Ini juga mengakibatkan, tak sedikit di antara mereka sendiri yang tidak mengetahui bahasa masing-masing subetnis. Implikasinya, bukan hal aneh jikalau dahulu, perang antarsuku atau subetnis nisbi cukup sering terjadi.
Artinya, selain peran agama dan sekolah (Pendidikan), bisa disebut satu aspek lagi yaitu bahasa Melayu, yang bisa dikata bukan saja memiliki signifikansi perubahan melainkan juga berdampak transformatif bagi kesadaran masyarakat Papua.
Ketiga aspek ini, khususnya pada fungsi bahasa Melayu (kini, Indonesia), setidaknya sedikit banyak telah berhasil memberikan aspek keseragaman dan integrasi pada realitas kondisi fragmentasi etnis Papua. Ini bukan semata terlihat pada munculnya perluasan agenda integrasi kebudayaan antarsubetnis masyarakat Papua, melainkan juga pada penggunaan bahasa yang sama di antara mereka. (W-1)