Indonesia.go.id - Para Penjaga Maria di Pelosok Kapuas Hulu

Para Penjaga Maria di Pelosok Kapuas Hulu

  • Administrator
  • Rabu, 6 November 2019 | 22:52 WIB
MISI KARYA
  Gereja paroki Hati Santa Maria Tak Bernoda Putussibau. Foto: IndonesiaGOID/Eri Sutrisno

Tahun 1905, Ordo Capusin memulai penjajakan untuk melakukan misi di pedalaman Kapuas Hulu. Itu juga disebut sebagai titik balik dalam perkembangan umat Katolik di Kalimantan Barat.

Sumur di belakang gereja itu terlihat seperti sumur tua biasa yang lama tidak dipugar. Tembok keliling sumur dengan diameter sekitar satu setengah meter itu hanya campuran semen, kapur, dan batu biasa. Airnya masih bening dan bisa diminum.

Pastor Martin adalah orang yang memperlihatkan kepada penulis peninggalan yang paling berharga dari para pendahulunya di Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sore itu, pastor atau "romo" kalau sebutan di Jawa, terlihat habis berolahraga, keringat masih menetes di dahinya. Dengan sepatu kets, celana pendek, dan kaus berlengan warna abu-abu terang dia terlihat membawa  sebotol "tumbler" berwarna jingga. Sangat gaul penampilannya.

"Sumur ini adalah salah satu peninggalan zaman Belanda yang masih ada di Putussibau, selain tentunya makam-makam di belakang itu," kata Pastor Martin.

Sumur itu memang tak ternilai harganya dalam sejarah perjuangan para "gembala" umat Katolik yang masuk ke pelosok-pelosok terpencil di Kalimantan, atau dulu dikenal dengan nama Borneo.

"Buatan zaman Belanda memang beda, air sumur ini masih begitu bening. Sebagai sumber air, sumur ini tidak pernah kering walau musim kemarau," cerita Pastor Martin yang berasal dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur ini.

Pastor Martin adalah pastor yang berbakti di Gereja Putussibau kurang lebih sejak tiga tahun terakhir. Memang belum cukup lama jika dibandingkan tempat dia sebelumnya di Bandung. Gereja Katolik yang ada di Putussibau adalah Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda. Pastor Martin adalah seorang imam projo yang bergabung dalam Ordo Serikat Maria Monfortan, yang berciri di belakang namanya terdapat inisial SMM. Ordo Katolik ini dalam sejarahnya terkenal dengan kepeloporan menjalankan misi ke tempat-tempat terpencil dengan penekanan pada pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan pelestarian lingkungan.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1573125601_Pak_Oji_dan_Romo_Martinus_Amor.jpeg" />Romo Martinus Amor (kanan) bersama Yul Amrozi (kiri) saat berkunjung di Gereja paroki Hati Santa Maria Tak Bernoda Putussibau. Foto: IndonesiaGOID/Eri Sutrisno

Kepeloporan Yesuit

Perkembangan umat beragama Katolik di pedalaman Kapuas Hulu hanya sedikit lebih tua umurnya dibandingkan dengan berdirinya Negara Republik Indonesia. 10 Juni 1939 adalah tanggal yang disepakati berdirinya Paroki Putussibau, yang merupakan bagian dari Keuskupan Sintang. Tanggal itu dikenang dalam sejarah sebagai awal mula kedatangan Pater Jan Linsen yang mendirikan paroki di Putussibau.

Sejarah misionaris Katolik di bumi Kalimantan Barat sebenarnya membentang cukup panjang. Tulisan Anton Surya di Kompasiana, yang berjudul “Sejarah Gereja Kalimantan Barat” (dipublikasikan 8 Januari 2014, diperbarui 24 Juni 2015) menjelaskan cukup panjang riwayat itu.

Arsip Ordo Fransiskan mencatat pertama kali kunjungan Odorico da Pordenone di tahun 1313 di bumi Nusantara. Dalam catatan itu dia singgah ke Tiongkok kemudian mampir ke Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Catatan itu bahkan menyebutkan kalau dia sempat singgah ke Ibu Kota Majapahit.

Sesudah catatan itu, belum ditemukan peristiwa lain hingga tahun 1688 yang menulis kedatangan Imam dari Kongregasi Theatin ke Borneo. Sejarah masih sangat sedikit menulis tentang misionaris Katolik di pulau yang masih penuh hutan belantara tak terjamah. Baru pada 1847 ada pembicaraan Mgr (Monsignore) Vrancken dengan Ordo Yesuit untuk menjalankan misi ke Borneo. Setelah melalui perundingan dengan pemerintah Hindia Belanda, tahun 1851-1853, pastor Sanders pertama kali melakukan survei ke Borneo dari bagian barat hingga ke timur.

Tahun 1862 survei Pastor Van Grinten di wilayah barat menghasilkan laporan kemungkinan bisa dilakukannya misi ke wilayah Borneo bagian barat. Banyak kendala untuk melakukan misi ke Borneo, faktor yang utama adalah kekurangan tenaga relawan dan keamanan. Perang kongsi, yang berlangsung lama antara pemerintah Hindia Belanda dengan kongsi-kongsi dagang penguasa sungai-sungai besar Borneo adalah faktor yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan misionaris. Belum lagi, tantangan alam hutan belantara dengan segala macam bahayanya yang membuat Pulau Borneo kerap menjadi wilayah penuh mitos. Cerita tentang hewan-hewan buas dan suku-suku pemakan manusia kerap hadir dalam imajinasi Eropa.

Jejak misionaris Katolik di Borneo masih berjalan sangat pelan sampai tahun 1880. Catatan Pater de Vries  dan Pater Staal dari Ordo Yesuit menyebutkan, umat katolik di bagian barat Borneo yang sudah mencapai 110 orang. Pada 1885 berdirilah stasi atau wilayah tingkat dua keuskupan Katolik di Singkawang.

Jejak Pastor Berkerudung

Pemerintah Hindia Belanda pada 7 Agustus 1884 mengizinkan Pastor Staal melakukan kunjungan ke Sambas, Mempawah, dan Sintang. Awalnya akan didirikan stasi berikutnya di Semitau tetapi karena jauh dari jangkauan penduduk pedalaman, stasi diarahkan ke daerah Sejiram. Pastor Looymanlah yang tercatat memulai misi pertama di Sejiram dengan bantuan  tiga bersaudara, yakni Babar, Bantan, dan Unang. Misi itu tercatat pada 1892. Kesulitan yang sangat tinggi dan biaya yang sangat besar membuat kepeloporan Ordo Yesuit ini sering terkendala kurangnya tenaga manusia. Pada 1898 misi di Sejiram sudah ditinggalkan oleh dua orang pastor yang ditarik ke wilayah yang berkembang, yakni Batavia. Setelah zaman inilah muncul misi yang dilakukan oleh Ordo Kapusin. Ordo Kapusin adalah salah satu kongregasi Katolik yang mengikuti jejak orang suci Santo Fransiskus de Asisi. Ciri khas mereka umum diketahui mengenakan jubah gaya Fransiscan berwarna coklat tua lengkap dengan tudung kepala dan ikat pinggang bertali besar.

Tahun 1905, Ordo Capusin memulai penjajakan untuk melakukan misi di pedalaman Kapuas Hulu. Anton Surya menyebutnya sebagai titik balik dalam perkembangan umat Katolik di Kalimantan Barat. Buku Kenangan 75 Tahun Paroki Putussibau (2015) menulis itu sebagai upaya melanjutkan kepeloporan Yesuit. Mereka mulai dari Sejiram dan setahun berikutnya mengembangkan misi sampai ke wilayah Dayak Iban di perbatasan Borneo-Sarawak.

Juli 1908, sejarah mencatat para misionaris Kapusin memulai misi ke pedalaman dari jalur Sarawak-Kapuas Hulu. Mereka memulai dari Desa Lanjak yang paling dekat dengan wilayah perbatasan Sungai Batang Lupar. Dari Lanjak mereka bergerak ke Sungai Tamambaloh. Di wilayah inilah mereka mendirikan gereja yang diberi nama Banua Banyoh. Nama ini kemudian diganti menjadi Banua Martinus alias Rumah Martinus untuk mengingat sumbangan seorang Belanda bernama Martinus Van Thiel. Pembuatan gereja ini adalah kali pertamanya dilakukan di wilayah Kapuas Hulu.

Juli 1910, pastor-pastor Kapusin mulai mengunjungi Putussibau kemudian bergerak ke atas, ke arah Bika, Nanga Mandai, dan Mendalam. Di sana ternyata mereka menemukan orang-orang Dayak Kayaan yang dulu dibaptis Pastor Looymans dari Sejiram. Saat mereka menemukan 150 jemaat di Kapuas Hulu inilah mereka bersepakat untuk membuat paroki sendiri. Tahun 1924 mereka membuat paroki di Bika. Mereka menamakannya Gereja Bika Nazareth.

Suster-Suster Perawat Orang Sakit

Kekurangan sumber daya untuk menjalankan misi di pedalaman membuat Monsignor Pasifikus Bos yang ada di Pontianak menyurati Vatikan untuk mendapatkan tenaga tambahan. Yang dibutuhkan adalah tenaga yang punya kemampuan mengatasi persoalan kesehatan dan lingkungan sekitar. Bantuan datang dari kongregasi Suster Misi Fransiskan Santo Antonius atau dikenal sebagai SMFA.

"Suster-suster SMFA inilah yang memelopori susteran di Putussibau," kata Pastor Martin, sewaktu bercerita tentang asal mula pondok susteran yang saat ini masih tersisa bangunannya di sebelah gereja lama Putussibau.

"Rumah sakit Belanda yang ada di pusat Kota Putussibau itu adalah tempat susteran yang pertama," tutur Pastor Martin.

Perbincangan yang cukup panjang pada sore hari itu berlangsung dengan gurauan tentang mengapa harus berganti dari kepeloporan Yesuit menjadi kerja-kerja SMM.

"Kalau masih dipegang para Yesuit bisa jadi berantakan. Dalam sejarahnya pastor-pastor Yesuit dipulangkan ke Batavia karena mereka menjadi gemar minum Tuak, yang sudah membudaya buat orang sekitar sini," kata Pastor Martin sambil tertawa.

Tahun 1931 mencatat kedatangan empat suster dari Belanda. Mereka adalah Suster Gerarda, Dominika, Dolorosa, dan Yosefine. Mereka memulai dari Banua Martinus di Lanjak. Tugas mereka adalah mencuci pakaian anak sekolah dan merawat orang-orang sekitar yang berpenyakit kulit dengan sabun dan salep.

Para Penjaga Maria

Sejarah umat Katolik di Kapuas Hulu yang masuk wilayah Keuskupan Sintang mulai berkembang sejak penyerahan karya Yesuit ke Ordo Kapusin. Peran serta suster-suster SMFA turut meletakkan kepeloporan di bidang kesehatan, kesejahteraan, dan kelestarian lingkungan. Tahun-tahun berikutnya banyak kongregasi lain yang turut serta menjalankan misi ke Kapuas Hulu. Di antaranya adalah Serikat Maria Montfortan, Oblat Maria Imakulata, Kongregasi Pasionis, Oblat Santo Agustinus, dan suster-suster Sloot dari Bajabang.

Pendirian Paroki Putussibau dan keberlangsungannya hingga saat ini masih dijaga oleh Serikat Maria Montfortan. Kongregasi ini jika dibandingkan dengan tradisi Islam mirip dengan keberadaan tarekat. Serikat Maria Montfortan inilah yang terpetakan dalam nama Paroki Putussibau. Nama "hati perawan Maria tak bernoda" adalah perlambang dari peran serikat yang dikenal sebagai "Jemaat Penjaga Maria" atau "Company of Mary". Serikat ini didirikan oleh Saint Louis de Monfort pada 1705.

Tahun 1939 adalah tahun kedatangan para SMM. Mereka adalah Bruder Bruno, Pastor Linsen, dan Pastor L'ortye. Mereka berangkat dari Marseille menuju Singapura. Saat itu perjalanan dari Eropa ke Borneo memerlukan waktu hingga enam bulan. Setiba di Singapura mereka menumpang kapal Khoen Hoe menuju Pontianak.

Sejarah mencatat, mereka tiba di Pontianak 7 April 1939, sepuluh hari kemudian mereka berangkat dengan menyusuri sungai Kapuas ke Sintang. Tanggal 20 April mereka tiba di sana. Seminggu kemudian mereka berangkat ke Bika yang jaraknya dari Sintang sekitar 900 km. Mereka berperahu hingga empat hari, dan tiba di Bika pada 29 April 1939.

Di Bikalah mereka tinggal di tengah masyarakat Kantu dengan aneka kebiasaan hidup mereka. Ada yang tekun belajar bahasa, ada yang berbaur dengan tradisi lokal sambil minum "Saguer" alias tuak. Ada juga yang melatih koor, mengajar, mengobati orang sakit, hingga membaptis.

Setelah dua bulan di Bika Pastor Jan Linsen pergi ke Putussibau bersama tiga orang suster SMFA. Tanggal 10 Juni 1939 adalah tanggal kedatangan Pastor Linsen yang hingga saat ini diperingati sebagai ulang tahun Paroki Putussibau. (Y-1)