Lebih dari 9.000 ha lahan hutan di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), kini terbuka untuk dimanfaatkan masyarakat. Kawasan hutan yang menghampar di lima kecamatan itu, sejak setahun lalu berpredikat sebagai Hutan Kemasyarakatan.
Meski fungsinya sebagai hutan lindung tidak berubah, kini masyarakat diijinkan memanfaatkan hutan itu dengan syarat tetap mempertahankan fungsinya sebagai sumber air dan penjaga tata lingkungan alam sekelilingnya.
Setelah setahun dikelola warga, di kawasan hutan itu kini muncul pepohonan baru. Ada pohon kelapa, kemiri, alpukat, kakao, sengon, dan kopi. Di lembah-lembah, yang tidak termasuk zona lindung, terlihat bonggol tanaman jagung dan padi kering.
Pola budidaya di lahan hutan kemasyarakatan itu dilakukan sesuai dengan arahan dari petugas kehutanan. Warga kini bebas keluar masuk kawasan itu tanpa dilabeli sebagai perambah hutan atau penebang kayu ilegal.
Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUP HKm) adalah salah satu skema Program Perhutanan. Seperti di Kabuaten Sikka, IUP itu diterbitkan oleh Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL).
Untuk memperoleh ijin tersebut, pemohon yakni kelompok tani mengajukan permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan tembusan ke gubernur, bupati atau wali kota. Jika segala syarat terpenuhi, dalam tempo sebulan ijin sudah bisa dikantongi. Ijin itu berlaku sampai 35 tahun, namun akan ada evaluasi setiap lima tahun.
Perhutanan sosial itu adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang diselenggarakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak atau hutan adat. Pelakunya masyarakat setempat. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan warga seraya menjaga keseimbangan lingkungan setempat. Untuk program itu, Pemerintahan Jokowi-JK mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar.
Selain hutan kemasyarakatan, ada pula skema kedua, yakni Hutan Desa (HD). Di mana itu adalah hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa untuk kesejahteraan desa itu sendiri.
Sedagkan skema ketiganya, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang memanfaatkan lahan dalam areal hutan produksi milik negara. Kelompok tani yang telah mengantungi ijin HTR ini boleh melakukan budidaya kehutanan, menanam pohon kayu misalnya, lalu mengambil manfaatnya, dengan tetap menjamin kelestarian dari sumberdaya hutan tersebut.
Berikutnya, ada skema empat. Yakni, ijin pengelolaan Hutan Adat (HA). Adapun yang dimaksud hutan adat ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hutan adat. Seperti pada skema yang lain, pemanfaatan hutan adat itu juga tidak boleh mengubah fungsi hutan itu sendiri. Warga diberi akses legal untuk memanfaatkan hasil hutan sejauh tidak menebang pohon atau membangun usaha pertambangan rakyat.
Skema terakhir ialah Kemitraan Kehutanan, di mana dibangun pola kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan yang sudah ada, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, jasa hutan, pemegang izin pinjam pakai di kawasan hutan tersebut, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.
Pada intinya, sejauh warga mengambil manfaat yang berbeda dari pemegang ijin pertama, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan, maka ijin akses bisa diberikan.
Pelaku Perhutanan Sosial adalah kelompok yang tinggal di kawasan hutan atau bahkan di dalam kawasan hutan negara, yang keabsahannya dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan memiliki riwayat melakukan penggarapan kawasan hutan, dan aktivitas mereka itu berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Dengan kelima skema tersebut, warga dimungkinkan untuk mendapat akses legal guna memanfaatkan hasil sumberdaya hutan yang berkelanjutan.
Sejak Program Perhutanan Sosial digulirkan di lapangan pada 2016, setidaknya ada 239 ribu keluarga telah memperoleh akses legal ke kawasan hutan negara dan hutan adat. Mereka berhimpun dalam 2.460 unit organisasi petani yang disebut Kelompok Usaha Perhutanan Sosial. Mereka bekerja memanfaatkan hamparan hutan seluas tidak kurang dari 604.000 hektar.
Pemerintahan Jokowi menargetkan kelompok Perhutanan Sosial itu akan mekar menjadi 5.000 unit sampai akhir tahun 2019. Konsep Perhutanan Sosial itu sendiri mulai bergema sejak 1999. Namun situasi transisi pascareformasi yang serba kurang menentu membuat program ini tak mudah dilaksanakan.
Pada 2007, program ini kembali digulirkan. Namun selama 2007-2014, hutan yang terjangkau akses kelola masyarakat hanya seluas 450 ribu hektar saja.
Akses legal pengelolaan hutan ini bisa dipandang sebagai aksi nyata kehadiran negara di tengah masyarakat pinggiran. Ada peluang bagi mereka untuk lebih produktif, lebih sejahtera, dan pada ujungnya adalah hidup yang lebih berkualitas.