Indonesia.go.id - Unan-Unan dan Tradisi Lima Tahunan Masyarakat Tengger

Unan-Unan dan Tradisi Lima Tahunan Masyarakat Tengger

  • Administrator
  • Jumat, 10 Mei 2024 | 17:03 WIB
BUDAYA
  Warga suku Tengger mengikuti tradisi Ritual Unan-Unan di sanggar Desa Wonotoro, Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, Selasa (23/4/2024). ANTARA FOTO/ Umarul Faruq
Tradisi unan-unan tak hanya mempersembahkan rasa syukur, melainkan upaya memperpanjang bulan dalam kalender suku Tengger, sekaligus simbol penyatuan alam.

Suku Tengger di Jawa Timur merupakan satu dari sedikit masyarakat adat di Nusantara yang masih mempertahankan tradisi dan budaya yang kemudian menjadi kearifan lokal setempat. Salah satunya adalah unan-unan atau upacara untuk melengkapi bulan yang hilang dan kemudian kembali utuh. Uniknya, ritual budaya tersebut digelar tiap lima tahun sekali dalam hitungan kalender Tengger.

Unan-unan digelar dalam bentuk persembahan sesaji berupa kepala kerbau sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Tengger kepada alam karena telah memberikan kehidupan selama ini. Masyarakat Tengger menggunakan kerbau sebagai sesaji karena mereka meyakini bahwa hewan bertanduk itu merupakan binatang pertama yang muncul di bumi. Tradisi ini telah dijalankan sejak berabad silam dan masih lestari sampai sekarang. Memasuki tahun 2024, masyarakat Tengger yang mayoritas adalah pemeluk Hindu Bali kembali menggelar unan-unan.

Upacara dilakukan di seluruh desa yang dihuni oleh masyarakat suku Tengger kawasan dataran tinggi Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru (TNGBTS)yang meliputi Kabupaten Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, dan Malang. Masyarakat di tiap desa bakal menyiapkan 100 tusuk sate, 100 jenis jajanan pasar hingga 100 tumpeng yang digabung dengan kepala kerbau utuh.

Sesaji itu umumnya diletakkan di dalam keranda berbentuk tubuh kerbau atau dikenal sebagai ancak dalam bahasa masyarakat setempat. Menjelang siang, sesaji akan diarak ke lokasi persembahyangan diikuti oleh seluruh warga, baik yang beragama Hindu Bali ataupun Islam dan Buddha yang juga banyak dianut oleh keturunan suku Tengger. Arak-arakan turut diiringi alunan musik tradisional seperti gong, kendang, dan suling. Upacara unan-unan ini juga menunjukkan kuatnya toleransi di antara sesama anak keturunan suku Tengger.

Hal itu juga tampak pada upacara unan-unan yang diadakan di Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Probolinggo pada Selasa (23/4/2024). Bagi masyarakat desa yang terletak di ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut tersebut, unan-unan digelar sebagai permohonan agar diberikan keselamatan dan terhindar dari bencana.

Demikian pula halnya dengan ritual serupa yang diadakan di Desa Ranupani, Kabupaten Lumajang. Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Lumajang, Agus Triyono mengatakan bahwa unan-unan lebih dari sekadar ritual ungkapan rasa syukur semata. tetapi juga menjadi sebuah keharusan untuk menjaga keharmonisan yang diberikan alam kepada suku Tengger selama ini.

"Unan-unan yang dilaksanakan di Desa Ranupani adalah cermin dari rasa syukur yang mendalam. Ini sebuah warisan leluhur yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan suku tengger menyebutnya sebagai landung. Kami, sebagai bagian dari alam ini, merasa berkewajiban untuk merawatnya. Semoga kita dilindungi dan diberkahi," kata Sekretaris daerah Lumajang Agus Triyono seperti diwaartakan Antara.

Seperti diketahui, suku Tengger memiliki sistem kalender penanggalan yang unik dimana mereka menetapkan dalam satu tahun terdiri dari 13 bulan. Unan-unan sendiri berasal dari kata una yang bermakna memperpanjang. Tidak hanya mempersembahkan rasa syukur, melainkan sebagai upaya memperpanjang bulan dalam kalender suku Tengger. Sekaligus simbol menyatunya mereka dengan alam.

Sementara itu, tokoh Hindu Bali asal Tengger, Timbul Oerip mengungkapkan, unan-unan juga menjadi simbol toleransi antarumat beragama yang masih dijaga sampai sekarang. Mereka bergotong royong dalam menyiapkan seluruh perlengkapan sesaji termasuk membangun ancak. "Kami memegang teguh pesan orang tua dan leluhur agar terus menjaga kerukunan hidup dan hubungan lintas iman," terangnya.

Kerukunan dan toleransi itu tak hanya ucapan di mulut saja karena mereka mampu membuktikannya dengan membangun rumah-rumah ibadah saling berdekatan dan bergotong royong kala mendirikannya. Contohnya seperti terlihat di Desa Ngadas, Dusun Sepuh, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Masyarakat desa yang berdekatan dengan Gunung Semeru itu membangun pura, vihara, dan musala dalam jarak berdekatan dan saling berhadapan. 

Kendati merupakan sebuah upacara adat, tradisi unan-unan juga berpotensi menyedot perhatian wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara karena keunikan dan penyelenggaraannya yang dilakukan tiap lima tahun. 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari