Indonesia.go.id - Menjaga Jiwa Tetap Sehat

Menjaga Jiwa Tetap Sehat

  • Administrator
  • Selasa, 26 November 2024 | 11:12 WIB
KESEHATAN
  Ilustrasi - Sejumlah pekerja berjalan sepulang kerja di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Masyarakat dianjurkan melakukan skrining kesehatan mental di puskemas minimal setahun sekali. Untuk kondisi tertentu, dapat dilaksanakan 3 kali dalam 1 tahun.

Kesehatan jiwa atau mental menjadi hal penting dalam kehidupan manusia karena seseorang dengan kondisi mental sehat akan turut berpengaruh pula kepada kualitas hidupnya. Ketika seseorang sejahtera secara psikologis, sosial maupun emosional, maka bisa dikatakan bahwa individu tersebut memiliki mental yang sehat. 

Seseorang dengan kesehatan mental yang baik tentu memiliki pikiran positif sehingga mampu untuk mengatasi segala persoalan yang ada dan mampu berinteraksi dengan optimal karena mereka bisa menjalin komunikasi dengan mudah dan juga mudah berbaur dengan lingkungannya. Mental yang sehat bisa dijadikan cikal bakal untuk membentuk tubuh yang sehat pula. 

Semua aktivitas serta kerja tubuh berada di bawah pengaruh otak atau pikiran. Seseorang dengan mental yang sehat tentunya memiliki pikiran yang sehat. Kesehatan mental memiliki hubungan yang sejajar dengan pola pikir dan juga arah pergerakan diri. Seseorang dengan mental yang sehat akan memiliki pikiran yang lebih terfokus dan terarah sehingga memudahkan untuk mengumpulkan konsentrasi sehingga dapat melakukan aktivitas dengan maksimal.

Namun, ada kalanya kesehatan mental tadi menjadi tidak mampu terjaga dengan baik oleh beberapa sebab seperti stres atau depresi, dan meningkatnya gangguan kecemasan. Seseorang dengan masalah pada gangguan kesehatan mental (mental illness) harus segera mendapatkan bantuan agar dilakukan proses pemulihan atau bahkan dilakukan perawatan jika tingkatannya dapat memparah kondisi penderitanya. Dalam beberapa kejadian, seseorang dengan gangguan kesehatan mental ini mendapatkan diskriminasi lantaran dianggap tak mampu lagi untuk melanjutkan aktivitas atau pekerjaannya secara normal.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporannya yang terbit pada 2022 dan bertajuk World Mental Health Report: Transforming Mental Health for All telah menyatakan bahwa dampak dari diskriminasi tadi justru makin memperburuk situasi yang dialami oleh penderitanya. Menurut Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Imran Pambudi, ada 3 langkah yang dapat dilakukan untuk memutus rantai stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental atau kejiwaan.

Imran menjelaskan, terdapat beberapa langkah dianjurkan WHO untuk melawan diskriminasi tersebut, yakni melakukan strategi edukasi (education strategies) untuk meluruskan mitos dan kesalahpahaman. Termasuk di dalamnya kampanye literasi dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, dan berbagai kegiatan pelatihan dan pembelajaran. Langkah berikutnya adalah strategi kontak (contact strategies) guna mengubah sikap negatif masyarakat melalui interaksi dengan mereka yang memiliki gangguan kesehatan jiwa. 

Strategi ini dapat mencakup kontak sosial langsung, kontak simulasi, kontak video atau online, serta penggunaan layanan dukungan sebaya (peer group) dalam pengaturan perawatan kesehatan. “Berikutnya, langkah ketiga berupa strategi aksi (protest strategies), yaitu penolakan terhadap stigma dan diskriminasi secara formal. Contohnya, demo, petisi, boikot, dan kampanye advokasi lainnya,” tegas Imran seperti dikutip dari website Kemenkes.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 3 langkah WHO tersebut menunjukkan bahwa bagi sebagian besar kelompok orang, kontak sosial adalah jenis intervensi paling efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap terkait stigma dan diskriminasi. Beberapa negara berpenghasilan tinggi telah berhasil mengampanyekan kesadaran publik berskala besar dan strategi berbasis kontak untuk menciptakan perubahan positif terkait kesehatan mental.

Kemenkes sendiri, seperti diutarakan Imran menganjurkan kepada masyarakat untuk dilakukannya skrining atau pemeriksaan kesehatan mental minimal sekali dalam setahun. Hal ini dilakukan sebagai langkah deteksi dini terhadap kondisi kejiwaan atau mental seseorang. Sehingga apabila ditemukan tanda-tanda masalah mental, dapat segera dilakukan intervensi yang lebih cepat dan tepat. Tindakan ini ditujukan untuk seluruh kelompok masyarakat, mulai dari anak-anak hingga lanjut usia (lansia). 

Layanan skrining ini dapat diakses masyarakat di puskesmas, baik di kota besar maupun daerah. Jika dibutuhkan, skrining juga dapat dilakukan lebih dari satu kali dalam setahun. Misalnya untuk kelompok masyarakat yang berisiko masalah kesehatan jiwa seperti individu dengan penyakit kronis dan khusus ibu hamil dianjurkan dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun. “Sasaran skrining kesehatan jiwa adalah seluruh siklus hidup, mulai dari ibu hamil, nifas, anak, remaja, dewasa, dan lansia," ujar Imran.

Untuk ibu hamil rinciannya, 2 kali selama masa kehamilan, yaitu pada saat pemeriksaan kehamilan pada trimester pertama, kunjungan pertama Antenatal Care (ANC) dan pada saat trimester ketiga, kunjungan kelima ANC. Kemudian, skrining lagi satu kali pada masa nifas, yaitu saat pelayanan nifas ketiga dilakukan pada waktu 8-28 hari setelah persalinan atau KF-3. Dia menjamin bahwa setiap puskesmas sudah bisa melayani kegiatan skrining ini.

Kemenkes telah mengembangkan skrining kesehatan mental secara digital dalam aplikasi, baik melalui Sistem Informasi Kesehatan Jiwa (SIMKESWA) maupun SATUSEHAT Mobile. SIMKESWA adalah aplikasi berbasis website untuk mengumpulkan, memproses, dan menganalisis informasi terkait kesehatan jiwa. SIMKESWA bertujuan membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan jiwa. 

Semua itu dilakukan agar kesehatan mental masyarakat tetap terjaga dan menjadi ujung tombak bagi keberhasilan diri. 



Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf