Indonesia.go.id - Penangguhan Vaksin AstraZeneca sebagai Buah Maslahat

Penangguhan Vaksin AstraZeneca sebagai Buah Maslahat

  • Administrator
  • Jumat, 19 Maret 2021 | 07:02 WIB
VAKSIN COVID-19
  Karyawan membongkar muat
Riset Inggris menunjukkan efikasi vaksin AstraZeneca terhadap virus B.1.1.7 sekitar 75%. WHO pun menyarankan untuk tetap memanfaatkan vaksin tersebut. Namun, kecemasan dunia terhadap dampak vaksin kian meluas. BPOM RI pun memilih menunggu kajian lebih lanjut.

Senin (8/3/2021) lalu, satu kontainer berisi vaksin Covid-19 yang diangkut dengan Boeing 777-300 dari KLM Royal Dutch Airlines Belanda mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Vaksin bermerek AstraZeneca tersebut merupakan produk vaksin pertama yang dikirim via skema kerja sama multilateral Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI).

Adalah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Kepala Perwakilan Unicef Debora Comini, serta N Paranietharan, selaku Kepala Perwakilan WHO di Indonesia, yang turut menyambut kedatangan paket pertama seberat 4,1 ton itu. Paket tersebut berisi 1.113.600 dosis vaksin jadi dan merupakan bagian dari batch pertama.

“Dalam batch pertama, Indonesia akan memperoleh 11.704.800 dosis vaksin. Pengiriman batch pertama ini dilakukan hingga Mei 2021 dan insya Allah akan diikuti batch-batch selanjutnya," tutur Menteri Retno.

Dalam konferensi pers yang digelar pascakedatangan vaksin AstraZenexca, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI mengungkapkan bahwa sebagaimana halnya dua vaksin terdahulu, pihaknya juga telah menerbitkan emergency use authorization (EUA) bagi vaksin yang dikembangkan Oxford University bekerja sama dengan AstraZeneca itu.

EUA bagi vaksin yang menggunakan platform Non-Replicating Viral Vector (ChAdOx 1) tersebut, menurut Kepala BPOM RI Penny K Lukita, diterbitkan pada 22 Februari 2021. Vaksin AstraZeneca tiba di Indonesia setelah mendapatkan persetujuan pemasukan obat jalur khusus (special access scheme/SAS) pada 6 Maret 2021.

Setelah tiba di lokasi penyimpanan di gudang Bio Farma, di Bandung, Jabar,

Selasa (9/3/2021) tim dari BPOM dan Balai Besar POM Bandung pun melakukan sampling dan pemeriksaan fisik vaksin. Tujuannya, untuk mengecek suhu penyimpanan, kesesuaian bets, tanggal kedaluwarsa, dan sebagainya.

Dan tepat 10 hari setelah kedatangan vaksin AstraZeneca di tanah air, BPOM RI pun menyampaikan pengumuman lebih lanjut terkait vaksin tersebut. Di mana bertolak dari komitmen Badan POM untuk terus mengawal mutu vaksin sepanjang jalur distribusinya, mulai keluar dari industri farmasi hingga disampaikan kepada masyarakat melalui vaksinasi, maka memutuskan untuk menangguhkan penggunaan vaksin tersebut.

BPOM RI menjelaskan bahwa pihaknya masih akan melakukan kajian lebih lanjut terhadap vaksin AstraZeneca. Sehingga, rekomendasi penggunaannya belum diberikan selama hasil kajian belum diperoleh.

Langkah ini disebut sebagai bentuk kehati-hatian yang ditempuh BPOM bersama dengan tim pakar Komisi Nasional Penilai Obat, Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulanan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (PP KIPI), dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI). “Selama masih dalam proses kajian, vaksin AstraZeneca direkomendasikan tidak digunakan,” katanya, dalam keterangan resmi BPOM pada Rabu (17/3/2021).

Bets Berbeda

Vaksin AstraZeneca telah diterima Indonesia melalui COVAX Facility yang diproduksi oleh SK Bioscience Co. Ltd., Korea Selatan, dengan jaminan mutu sesuai standar persyaratan global untuk Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Vaksin AstraZeneca merupakan vaksin kedua yang disetujui masuk dalam daftar WHO-Emergency Use Listing (EUL) setelah vaksin produksi Pfizer BioNtech.

Diketahui, bets produk vaksin AstraZeneca yang masuk ke Indonesia itu berbeda dengan bets produk yang diduga menyebabkan pembekuan darah dan diproduksi di fasilitas produksi yang berbeda. Bets tertentu (ABV5300, ABV3025, dan ABV2856) yang menyebabkan dua kasus pembekuan darah pasca penyuntikan di Austria dan Denmark, ditegaskan Badan POM, tidak masuk ke Indonesia.

Terkait evaluasi keamanan, BPOM menyebutkan bahwa berdasarkan data hasil uji klinik yang disampaikan, pemberian vaksin AstraZeneca dua dosis dengan interval 4-12 minggu pada total 23.745 subjek dinyatakan aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Sedangkan dari evaluasi khasiat, pemberian vaksin AstraZeneca menunjukkan kemampuan yang baik dalam merangsang pembentukan antibody, baik pada populasi dewasa maupun lanjut usia.

Efikasi vaksin dengan dua dosis standar yang dihitung sejak 15 hari pemberian dosis kedua hingga pemantauan sekitar dua bulan menunjukkan efikasi sebesar 62,10%. Hasil ini sesuai dengan persyaratan efikasi untuk penerimaan emergensi yang ditetapkan oleh WHO, yaitu minimal efikasi 50%. Sedangkan untuk aspek mutu, Badan POM melakukan evaluasi menyeluruh dari dokumen mutu yang disampaikan dengan hasil bahwa vaksin secara umum telah memenuhi syarat.

“Sebagaimana vaksin Covid-19 sebelumnya, setelah memperoleh EUA, sebelum produk siap untuk digunakan, Badan POM melakukan proses pelulusan produk (lot release) dan setelah diberikan pelulusan produk, baru vaksin tersebut siap untuk digunakan dalam program vaksinasi,” tambah Kepala Badan POM.

Vaksin Oxford/AstraZeneca sendiri sejatinya telah mengantungi izin dari badan regulasi obat-obatan di 50 negara. Dan Inggris merupakan negara pertama yang memberi izin penggunaan pada 30 Desember 2020. Selain Inggris, India merupakan negara yang paling banyak menggunakan vaksin tersebut dan sejauh ini tidak melaporkan adanya efek samping yang serius.

Dengn kedatangan vaksin AstraZeneca, Indonesia telah memiliki sekitar 39 juta dosis, setelah lima kali penerbangan sebelumnya mendatangkan 38 juta dosis dari Sinovac, Tiongkok. Yang dari Tiongkok itu hanya 3 juta yang berbentuk vaksin jadi, selebihnya berbentuk vaksin curah (bulk) yang kemudian diproses lanjutan di PT Biofarma Bandung.

Sejauh ini, vaksinasi di Indonesia telah menjangkau 1,3 juta orang yang menerima dua kali suntikan lengkap, dan 3 juta lainnya yang baru sekali. Vaksinasi akan terus bergulir seiring ketersediaan vaksin.

Target pengadaannya sekitar 140 juta dosis sampai Juni 2021. Meski jadwal rincinya belum disebutkan, Menlu Retno mengatakan, dari komitmen 11,7 juta dosis vaksin AstraZeneca itu, 25-35 persen akan datang pada Maret dan 65-75 persen lain akan tiba antara April-Mei 2021.

Diplomasi vaksin itu sendiri, bilateral maupun multilateral, telah menghasilkan komitmen pengiriman vaksin Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, dan Novavax. Dua merek vaksin lain, yakni Sinopharm dan Moderna, telah dikonfirmasi akan dipakai untuk vaksinasi gotong-royong alias mandiri. Semua ikhtiar itu diharapkan bisa mendatangkan 426 juta dosis vaksin untuk 181,5 juta orang, 70 persen dari penduduk Indonesia, untuk mencapai herd immunity di awal 2022.

Sengkarut Masalah

Walau sederet manfaat ditunjukkan dalam berbagai kajian atas vaksin AstraZeneca, keraguan atas keamanan dan keampuhan vaksin itu terus meluas di berbagai belahan dunia. Hingga 17 Maret 2021 diketahui, penangguhan penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca di telah dilakukan oleh 15 negara di Eropa. Selain itu tercatat pula, dua negara di Asia dan satu negara Afrika juga mengumumkan penghentian sementara vaksinasi dengan vaksin buatan Inggris/Swedia itu.

Argumen yang disampaikan negara-negara itu nyaris serupa, yakni sebagai wujud tindakan antisipasi dini dan jaga-jaga. Keraguan warga terhadap vaksin merek itu memang terus menyeruak, bermula dari laporan kritis media yang mempertanyakan efikasinya, laporan soal kurang ampuhnya vaksin melawan virus mutasi Afrika Selatan, lalu kurang lengkapnya hasil uji klinis terhadap kelompok usia di atas 60 tahun.

Dan yang teranyar adalah laporan dari Austria dan Denmark ihwal temuan efek samping serius berupa trombosis dan emboli paru pada sejumlah warganya setelah mendapat vaksinasi AstraZeneca. Bahkan dilaporkan, ada kasus kematian, walau belum terbukti terkait langsung dengan vaksinasi.

Dampak pemberitaan negatif serupa itu relatif terasa di Jerman. Di sejumlah negara bagian dan wilayah Jerman, banyak orang menolak divaksin dengan AstraZeneca. Vaksin AstraZeneca ibarat menyandang status vaksin kelas dua di Jerman, di bawah vaksin BioNTech/Pfizer dan Moderna. Akibatnya, persediaan vaksin menumpuk di lemari pendingin.

Citra negatif AstraZeneca di Uni Eropa makin kencang, setelah silang sengketa dengan Komisi Uni Eropa terkait suplai pesanan vaksin tersebut. Akhir Januari lalu AstraZeneca mengumumkan, hanya akan memasok 31 juta dosis vaksin hingga akhir kuartal pertama 2021, dari yang disepakati suplai sekitar 80 juta dosis vaksin untuk 27 negara Uni Eropa. Walau perusahaan kemudian meralat, yakni bisa memasok 40 juta dosis vaksin, itu artinya tetap hanya berjumlah separuh dari janji semula.

Belum lagi keributan itu tuntas, muncul isu terbaru, sekitar satu juta dosis vaksin AstraZeneca Batch ABV5300, yang didistribusikan di 17 negara anggota Uni Eropa disebutkan memicu efek samping serius, yang kemudian memaksa sejumlah negara menghentikan sementara vaksinasi massal.

Respons WHO

Lantas bagaimana WHO merespons persoalan yang melilit penggunaan vaksin produksi AstraZeneca itu? Dalam pernyataan pada 10 Februari lalu, WHO menyarankan untuk tetap memanfaatkan vaksin AstraZeneca, bahkan jika di negara bersangkutan tercatat sebagai kawasan penyebaran varian virus mutasi. Pasalnya, WHO menilai, vaksin tetap memberikan perlindungan dalam upaya melawan bagian virus yang tidak mengalami mutasi.

WHO juga menyarankan, untuk sementara vaksin bisa digunakan bagi personal berusia di atas 18 tahun dan untuk mereka yang tergolong komorbid, yang menghadapi risiko tinggi mengalami gejala sakit berat jika terinfeksi Covid-19.

WHO menyarankan pula vaksinasi bagi pengidap penyakit autoimun dan yang sistem pertahanan tubuhnya lemah karena berbagai penyebab. Hanya saja, disarankan juga untuk melakukan konsultasi dengan dokter sebelum mendapat vaksinasi.

WHO memang menjagokan vaksin ini untuk program COVAX, yakni inisiatif global untuk vaksin murah bagi negara-negara anggota dengan pembagian kuota secara adil. Pasalnya, menurut pertimbangan WHO, selain harga vaksin AstraZeneca per dosisnya sangat murah, yakni hanya sekitar 15% dari harga vaksin BioNTech atau Moderna, logistik vaksin itu juga jauh lebih sederhana.

Berbeda dengan vaksin berbasis RNA yang harus disimpan dalam suhu superdingin hingga minus 70°C, vaksin AstraZeneca bisa disimpan pada suhu kulkas biasa hingga enam bulan. Dengan itu, maka transportasi dan logistik vaksin bisa dilakukan di negara-negara yang tidak punya kapasitas instalasi superdingin.

Uji klinis yang dilakukan AstraZeneca pada virus Corona varian asli menunjukkan efikasi 76 persen setelah pemberian dosis pertama. Bahkan setelah pemberian dosis kedua dalam jeda 12 minggu, efikasi naik hingga minimal 82 persen.

Vaksin juga bisa mereduksi beban virus, yang membuat penularan Covid-19 makin lambat. Berdasar data ini vaksin mendapat izin penggunaan dari lembaga pengawas obat-obatan Eropa-EMA dan lembaga serupa di berbagai negara.

Riset keampuhan vaksin AstraZeneca terhadap virus varian mutasi Inggris yang disebut varian B117--yang dilakukan di Inggris--melaporkan efikasinya sekitar 75%. Efikasi sedikit di bawah keampuhan terhadap virus asli, tapi masih tergolong sangat bagus.

Namun riset keampuhan vaksinnya terhadap varian mutasi Afrika Selatan B1351 menunjukkan hasil yang jauh lebih rendah. Riset pada 2.000 responden di Afrika Selatan menunjukkan, vaksin hanya memberikan perlindungan minimal terhadap Covid-19 yang dipicu varian B1351.

Hal itu terjadi karena vaksin AstraZeneca yang sudah berizin dibuat dari vektor virus, yang memicu antibodi melawan protein spike dari varian virus corona awal. Sehingga menghadapi virus yang bermutasi, antibodi tidak mengenali sepenuhnya dan memerangi varian bersangkutan.

Itulah sebabnya, menyinggung efek samping, para pakar kesehatan menyebut bahwa semua vaksin berizin punya efek samping yang lazim. Walau begitu, terkait laporan efek samping serius vaksin AstraZeneca, WHO dan EMA menyatakan akan terus melakukan kajian dan mengumumkan laporannya kepada publik.



Penulis: Ratna Nuraini
Redaktur: Elvira Inda Sari