Indonesia.go.id - Mendorong Industri Lebih Hijau

Mendorong Industri Lebih Hijau

  • Administrator
  • Minggu, 6 Maret 2022 | 08:51 WIB
INDUSTRI
  Groundbreaking pembangunan Kawasan Industri Hijau Indonesia, di Bulungan, Kaltara, Selasa (21/12). SETPRES
Kementerian Perindustrian sangat berhati-hati merumuskan kebijakan untuk mendorong adaptasi industri hijau bagi manufaktur dalam negeri.

Tuntutan dunia yang berkelanjutan dan rendah emisi telah melahirkan sejumlah inovasi. Sektor industri pun harus bisa memenuhi tututan industri hijau yang berkelanjutan.

Terpenuhinya sebuah ekosistem industri hijau pada ujungnya menghasilkan ekonomi hijau dan dimensi yang lebih luas lagi berupa terciptanya perekonomian Indonesia yang berorientasi melakukan proteksi terhadap lingkungan.

Bagaimana mencapainya? Tentu tidak mudah. Butuh komitmen yang kuat termasuk melakukan transformasi menuju ekonomi hijau termasuk industri hijau.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai pemangku kepentingan di sektor itu sudah memiliki regulasi yang berkaitan dengan standar industri hijau (SIH). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) nomor 51/M-IND/PER/6/2015.

SIH merupakan acuan bagi pelaku industri dalam menyusun secara konsensus terkait dengan bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, pengelolaan limbah dan/atau aspek lain yang bertujuan untuk mewujudkan industri hijau. Yang jelas, permenperin itu merupakan bagian dari amanat UU nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian.

Pemerintah mengakui adopsi menuju industri hijau tidak mudah, selain biayanya mahal. Bila dilakukan secara tergesa-gesa juga memberikan implikasi lanjutan, yakni turunnya daya saing industri.

Seperti disampaikan Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Eko Cahyanto, dalam satu kesempatan, kementeriannya sangat berhati-hati merumuskan kebijakan untuk mendorong adaptasi industri hijau bagi manufaktur dalam negeri.

Menurutnya, implementasi menuju ke arah itu tentu tidak serta-merta mewajibkan. Tapi, juga harus diiringi dengan pemberian insentif. "Ini kan berkaitan dengan agenda global, masalah carbon tax. Kami masih mengkaji, menghitung, kami masih harus melihat karakteristik industri kita. Saya dalam posisi yang tidak terburu-buru untuk itu," kata Eko, Rabu (9/2/2022).

Sebagai informasi, Kemenperin saat ini memiliki 28 standar industri hijau dan 44 perusahaan industri yang telah mendapatkan sertifikasi. Namun, sertfikasi tersebut masih bersifat suka rela dan belum mandatori atau diwajibkan.

Setiap tahun, Kemenperin juga rutin menyelenggarakan penghargaan bagi perusahaan industri yang menerapkan standar industri hijau. Eko mengakui, meski bukan berupa insentif fiskal, sertfikasi dan penghargaan tersebut dapat menjadi keunggulan bagi perusahaan industri terkait, terutama untuk berekspansi ke pasar atau segmen konsumen yang menghendaki prinsip- berkelanjutan.

"Jadi kami dari sisi pembinaan industri, kami tidak mulai dari sesuatu yang sifatnya punishment, tapi kami kasih insentif [berupa penghargaan],” ujarnya.

Namun, Kemenperin mengakui, mereka kini terus melakukan pembahasan berkaitan insentif bagi perusahaan yang menerapkan standar industri hijau. Pemberian insentif fiskal berupa perpajakan nantinya akan diprioritaskan bagi perusahaan industri yang telah tersertifikasi hijau.

Adapun, bentuk insentif nonfiskal yang telah digelontorkan, antara lain, pembangunan kapasitas dalam rangka mendorong pemangkasan output gas rumah kaca di industri, dan penyelenggaraan sertifikasi industri hijau secara gratis. Kemenperin juga berencana memasukkan komoditas yang telah tersertifikasi hijau ke daftar belanja pemerintah.

Berdasarkan peta jalan industri hijau 2030, Kemenperin menargetkan 90 persen industri skala besar dan menengah sudah memiliki sertifikasi hijau pada 2030. Saat ini sudah ada 44 perusahaan industri yang telah memperoleh sertifikasi hijau.

Adapun, jumlah standar industri hijau yang dikeluarkan Kemenperin sebanyak 31 unit. Berdasarkan direktori industri manufaktur 2021 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perusahaan industri skala menengah dan besar mencapai sekitar 29.000 pada 2021. Artinya, capaian sertifikasi industri hijau sampai dengan tahun lalu baru mencapai 0,15 persen saja.

Kemenperin mengakui banyak tantangan untuk penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan di sektor industri. Salah satunya, yakni SIH yang masih terbatas pada 31 komoditas. Selain itu, butuh penyusunan SIH, penunjukan lembaga sertifikasi industri hijau yang baru untuk memperkuat sertifikasi.

Demikian pula penerapan SIH bagi industri kecil menengah (IKM). Kemenperin menargetkan bisa mencapai 50 persen pada 2030. Pasalnya, untuk bisa memenuhi standar yang layak. Banyak tantangannya, seperti masalah teknologi dan proses produksi yang umumnya belum mutakhir.

Di luar sertifikasi industri hijau, upaya lain untuk memacu penerapan prinsip keberlanjutan di sektor manufaktur, yakni penyelenggaraan penghargaan yang telah berlangsung sejak 2010.

Kemenperin juga memberikan penghargaan industri hijau bagi perusahaan yang sudah melaksanakan sertifikasi, yakni 70 persen proses produksi, 20 persen pengelolaan limbah dan emisi, dan 10 persen manajemen perusahaan.

Adapun, upaya pengurangan emisi gas rumah kaca difokuskan pada delapan sektor industri yang paling lahap energi, antara lain pupuk dan petrokimia, besi dan baja, kertas, semen, tekstil, keramik, minyak goreng, dan gula.

 

Regulasi Tambahan

Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Doddy Rahadi mengatakan, tahun ini pihaknya menargetkan penyusunan empat standar industri hijau tambahan, melengkapi 31 SIH yang sudah ada. “Penyusunan empat rancangan standar industri hijau, fasilitasi sertifikasi industri hijau bagi 50 perusahaan, dan fasilitasi pendampingan persyaratan standar industri hijau bagi 10 perusahaan industri,” kata Doddy.

Kemenperin juga kini sedang menggodok regulasi soal penerapan industri hijau. Regulasi itu diharapkan juga ikut mendukung pertumbuhan industri. “Penerapan industri hijau ini sebaiknya tidak dipandang sebagai beban. Apapun kebutuhanya [terkait regulasi] kami buat tentunya tidak memberatkan industri,” ujarnya.

Sementara itu, insentif fiskal masih terus digodok di lingkungan kementerian dan lembaga. Pembahasan mengenai insentif fiskal industri hijau memasuki tahun ketiga pada 2022.

Berkaitan dengan rencana sejumlah pengembangan industri hijau, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melihat ada peluang besar pengembangan industri hijau jika pemerintah memberikan stimulus berupa insentif pajak dan penciptaan pasar.

Koordinator Wakil Ketua Umum III Kadin Indonesia bidang Maritim Investasi dan Luar Negeri Shinta W Kamdani mengatakan, dua kebijakan akan mendorong industri untuk segera beralih ke proses produksi yang lebih berkelanjutan. “Insentif pajak akan dapat menstimulasi industri hijau di Indonesia. Pusat Industri Hijau Kemenperin membahas insentif perpajakan ini, selain revisi regulasi perpajakan,” kata Shinta.

Shinta memandang industri hijau telah menjadi pilar penting bagi ekonomi ke depan, seiring komitmen negara-negara di dunia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Indonesia dalam hal ini menargetkan netral karbon tercapai pada 2060.

Bagi pelaku usaha, tuntutan industri kini sudah menjadi keniscayaan. Mereka bila mau produknya berdaya saing dan diterima di pasar global, mereka harus memenuhi semua tuntutan itu, industri yang hijau karena tanggung jawab dunia yang lestari juga menjadi tanggung jawab bersama, termasuk pelaku usaha.

 

PenulisL Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari