Indonesia.go.id - Situasi Geopolitik Global Kerek Harga Batu bara

Situasi Geopolitik Global Kerek Harga Batu bara

  • Administrator
  • Minggu, 12 Juni 2022 | 19:00 WIB
MINERBA
  Terkereknya permintaan batu bara Indonesia akibat krisis listrik yang menimpa India. Antara Foto/Nova Wahyudi
India dan Tiongkok sedang menumpuk stok batu bara demi memenuhi kebutuhan PLTU di musim gugur. Harga batu bara pun naik.

Perang antara Ukraina dan Rusia telah menyebabkan krisis energi dan pangan. Terganggunya logistik pasokan batu bara akibat perang di Benua Biru itu telah menyebabkan harga komoditas emas hitam terus menanjak.

Selain krisis di Eropa, terjadinya musim panas di India telah meningkatkan jumlah impor batu bara untuk penuhi pasokan ke pembangkit listriknya. Demikian pula yang terjadi di Tiongkok, permintaan batu bara meningkat untuk memenuhi stok musim gugur.

Akibat tingginya permintaan atas komoditas itu, harga pun terkerek. Pada perdagangan Selasa (7/6/2022), harga emas hitam untuk kontrak Juli di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup di level USD 369 per ton. 

Harga batu bara acuan (HBA) Indonesia pun ikut terkerek. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan HBA Juni 2022 sebesar USD323,91 per ton. HBA terus mencetak rekor tertinggi sejak tahun lalu.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, HBA Juni naik USD48,27 per ton dibandingkan Mei yang berada di level USD 275,64 per ton.

“Kenaikan HBA itu akibat faktor India dan kebutuhan batu bara di Tiongkok. Mereka [India dan Tiongkok] lagi menumpuk stok batu bara untuk penuhi kebutuhan PLTU di musim gugur,” ujarnya, pada Minggu (5/6/2022).

Agung pun memberikan beberapa penyebab terkereknya permintaan batu bara Indonesia. Salah satunya, krisis listrik yang menimpa India akibat gelombang hawa panas. Pemerintah India telah meningkatkan jumlah impor batu bara dikarenakan ketatnya suplai batu bara dari produsen domestik untuk pembangkit listriknya.

Selain dari India, sambung Agung, nilai HBA juga masih dipengaruhi atas kondisi kebutuhan batu bara Tiongkok. “Permintaan mereka juga naik lantaran PLTU di sana mulai menumpuk stok batu bara untuk musim gugur. Apalagi adanya kebijakan penghapusan pajak impor batu bara di Tiongkok selama sembilan bulan ke depan,” jelasnya.

Faktor penting lain adalah kondisi geopolitik Eropa imbas konflik Rusia-Ukraina. Uni Eropa mengeluarkan kebijakan akan menyetop impor batu bara dari Rusia efektif mulai Agustus mendatang. “Pembeli dari Eropa mulai aktif mencari pasokan batu bara dari Asia.”

HBA merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya. Harga patokan HBA menggunakan komoditas batu bara dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, total moisture 8%, total sulphur 0,8%, dan ash 15%.

Agung menuturkan, selama enam bulan terakhir, grafik HBA terus menanjak. Dimulai dari Januari 2022 sebesar USD158,50 per ton, naik ke USD188,38 per ton di Februari. Selanjutnya, pada Maret menyentuh angka USD203,69 per ton, April sebesar USD288,40 per ton, dan terakhir di Mei berada di level USD275,64 per ton.

“HBA Juni ini akan digunakan secara langsung dalam jual beli komoditas batu bara (spot) selama satu bulan pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Veseel),” ujarnya.

Produksi Naik Terus

Bagaimana dengan produksi batu bara? Seiring dengan meningkatnya permintaan batu bara dunia, tren produksi batu bara Indonesia terus meningkat. Tahun ini, target produksi batu bara ditetapkan sebesar 663 juta ton dengan Domestik Market Obligation (DMO) sebanyak 166 juta ton. Bila dilihat trennya selama lima tahun terakhir, produksi batu bara cenderung naik terus.

Sebagai ilustrasi, mengutip data Ditjen Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batu bara sudah mencapai 557 juta ton dengan DMO sebanyak 155,08 juta ton pada 2018. Pada 2019, produksi naik menjadi 616,2 juta ton, 562,5 juta ton (2020), 606,22 juta ton (2021), 663 juta ton (2022).

Penetapan DMO pun naik di level 133 juta ton (2021) dan 166 juta ton pada 2022. Pemerintah menetapkan skema DMO sebesar 25 persen dari target yang ditetapkan.

Tak dipungkiri naiknya permintaan batu bara dunia dan naiknya harga komoditas emas hitam itu tentu sangat berpengaruh terhadap ketahanan energi nasional, terutama kelangsungan pasokan batu bara bagi kepentingan kelistrikan nasional.

Pemerintah, selain memiliki skema kepastian pasokan DMO untuk mengamankan bahan baku energi pembangkitan, kini berkembang sejumlah opsi usulan seiring dengan tren harga komoditas itu di pasar dunia yang terus menanjak. Pertama, adanya usulan untuk meningkatkan ketetapan DMO dari 25 persen menjadi 30 persen.

Sebagai tambahan informasi, agar arus kas PLN sebagai produsen listrik tak terpengaruh seiring dengan harga batu bara yang naik terus, pemerintah telah mewajibkan pelaku usaha pertambangan batu bara nasional menjual komoditas DMO seharga USD70 per ton bagi pembangkit listrik untuk kepentingan umum, serta USD90 per ton bagi industri selain smelter.

Adanya ketetapan kewajiban pasokan dan harga DMO ini memungkinkan harga produk industri hingga tarif listrik tetap stabil. Sebab, harga komoditas ini secara langsung mempengaruhi beban operasional pembangkitan (PLN), industri, maupun konsumen rumah tangga.

Selain rencana menaikkan porsi DMO, juga ada usulan agar pemerintah melepas harga batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) ke mekanisme pasar, bukan lagi memakai harga patokan USD70 per ton. Usulan itu sejalan dengan rencana pembentukan Entitas Khusus Batu Bara atau Badan Layanan Umum (BLU) pemungut iuran batu bara. Kabarnya, pembentukan BLU pemungut iuran batu bara ini bakal terlaksana pada Juli 2022 ini.

Nantinya, mengacu usulan yang berkembang, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara (Puslitbangtek Tekmira) sebagai badan yang memegang kendali BLU batu bara tersebut. Fungsi BLU yang berperan sebagai pemungut iuran batu bara itu akan melepas harga batu bara ke mekanisme pasar. BLU akan memungut selisih harga pasar dengan harga patokan USD70 per ton. Selisih harga itu akan diberikan kepada PT PLN (Persero).

Apapun skenario yang akan dijalankan, tak dipungkiri kenaikan harga batu bara di pasar global bisa dipastikan sangat mempengaruhi arus kas PLN dan ujungnya soal kesehatan APBN. Harapannya, pemerintah bijak menyikapi masalah komoditas batu bara dan sejumlah pengaruh lanjutannya.

Masyarakat yang tengah mengalami “demam” akibat krisis pascapandemi selama dua tahun terakhir ini tentu membutuhkan waktu untuk tetap bisa bernafas menuju pemulihan ekonominya.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/ Elvira Inda Sari