
Harus diakui, masalah krisis pangan dan energi itu telah menjadi perhatian serius dunia. Wajar saja, pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa yang dihelat mulai 12 Juni–16 Juni 2022 masalah itu pun menjadi pokok pembahasan.
Seperti diketahui, KTM ke-12 WTO di Jenewa kali itu merupakan pertemuan pertama setelah KTM WTO sempat vakum selama lima tahun. Pertemuan menteri WTO terakhir digelar di Buenos Aires, Argentina, dalam KTM ke-11 WTO.
Mereka berkumpul di Jenewa membahas beberapa isu, antara lain, soal keamanan pangan pascaperang Rusia-Ukraina, penangkapan ikan yang berlebihan, dan akses ke vaksin Covid yang bersifat adil.
Pada kesempatan itu, Ketua WTO Ngozi Okonjo-Iweala ketika berpidato membuka pertemuan sembari memberikan peringatan adanya jalan berbatu dan bergelombang dengan beberapa ranjau darat di sepanjang jalan di pertemuan itu. Tetapi Iweala bersemangat dan menyakini, lebih dari 100 menteri yang hadir bisa menyetujui setidaknya satu atau dua dari garis panjang masalah mendesak, dan itu akan sukses.
Tak dipungkiri, WTO berada di bawah tekanan untuk meningkatkan kesepakatan perdagangan tentang berbagai masalah dan menunjukkan persatuan di tengah pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung dan krisis kelaparan global yang akan datang. Tetapi karena badan perdagangan global hanya membuat keputusan melalui konsensus, pencapaian kesepakatan bisa jadi lebih sulit. Krisis pangan salah satunya.
Persoalannya, dua negara yang tengah berseteru, yakni Rusia-Ukraina, secara tradisional merupakan lumbung pangan yang memberi makan ratusan juta orang. Artinya, wilayah kedua negara itu merupakan daerah penyangga ketahanan pangan dunia.
Dari enam isu utama yang dibahas di forum WTO itu, minimal ada tiga isu yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Pertama, soal krisis pangan. Ada tiga hal penting yang menjadi substansi dari isu krisis pangan. Pertama, deklarasi menteri terkait perdagangan dan keamanan pangan.
Kedua, kesepakatan menteri terkait pertanian. Kemudian ketiga, soal deklarasi menteri terkait larangan ekspor atau pembatasan ekspor terhadap foodstuffs (bahan makanan) yang diperoleh oleh World Food Programme (WFP) untuk tujuan noncommercial.
Isu kedua, berkaitan dengan reformasi pertanian. Tiga pilar dalam isu tersebut adalah public stockholding for food security purposes (PSH), special safeguard mechanism (SSM), dan domestic support.
Isu ketiga adalah subsidi perikanan. Pembahasan subsidi perikanan di WTO dilatarbelakangi desakan lembaga multilateral lainnya ke WTO untuk mengatur pemberian subsidi global perikanan tangkap yang menyebabkan overfishing dan overcapacity (OFOC) perikanan dunia.
Ketika penutupan KTM ke-12 World Trade Organization di Jenewa, Swiss, organisasi itu akhirnya membuat komunike bersama yang tertuang dalam deklarasi KTM ke-12 WTO. Mereka menyepakati beberapa isu yang telah dibahas.
Salah satunya mengenai penanganan krisis pangan yang kini sangat mengkhawatirkan, sejalan dengan gangguan iklim dan eskalasi perang Rusia-Ukraina. Segala upaya untuk mengatasi masalah krisis pangan harus dengan tujuan nonkomersial.
Sikap Indonesia
Lantas bagaimana respons Indonesia berkaitan dengan masalah krisis pangan dan energi tersebut? Presiden Joko Widodo tentu memberikan perhatian serius terhadap kedua masalah tersebut.
Dalam Sidang Kabinet Paripurna (SKP) di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/6/2022), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menginstruksikan jajarannya untuk mewaspadai situasi dunia yang tidak dalam kondisi normal serta mengantisipasi krisis pangan dan energi.
Ada tiga poin yang ditekankan Kepala Negara berkaitan dua isu krusial tersebut. Pertama, meminta peningkatan produksi besar-besaran baik itu dari petani, baik itu dari korporasi, baik itu dari BUMN. “Semuanya, saya minta harus dilihat betul. Jangan kita terjebak, sekali lagi, pada rutinitas harian,” ujar Presiden Jokowi, saat memimpin sidang kabinet paripurna tersebut.
Presiden Jokowi menekankan agar penanaman komoditas secara besar-besaran tersebut disesuaikan dengan karakter masing-masing daerah. “Kemarin saya dengan Kepala KSP melihat sorgum di NTT, misalnya. Di sana tanam jagung enggak hidup, begitu ditanam sorgum, hijau, sangat hijau, dan sangat kelihatan subur sekali tanamannya. Lah ini kan setelah dicek, ternyata memang di NTT dulu yang banyak adalah tanaman sorgum atau cantel,” ujarnya.
Kedua, Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk segera memastikan offtaker yang akan menampung hasil peningkatan produksi besar-besaran tersebut. “Jangan sampai nanti petani sudah berproduksi banyak Bulog-nya ndak ngambil, RNI enggak ambil. Misalnya kalau sudah ditentukan, lah ini mekanisme itu harus segera diputuskan,” ujarnya.
Ketiga, Kepala Negara menekankan pentingnya pendistribusian komoditas pangan yang telah diproduksi secara besar-besaran tersebut, sehingga stok tidak menumpuk atau kualitasnya menurun bahkan busuk. “Artinya semuanya harus ada grand plan-nya, rencana besarnya seperti apa kan sudah kita sampaikan, dalam pelaksanaannya juga harus ada,” ujarnya.
Presiden Jokowi juga menekankan pentingnya kolaborasi semua pemangku kepentingan dalam menjalankan tiga fokus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta meningkatkan ketahanan pangan di tanah air. “Inilah yang memerlukan sebuah orkestrasi yang baik antara kementerian/lembaga, BUMN, swasta, dengan daerah, semuanya,” ujarnya.
Tak hanya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, Presiden Jokowi juga menilai pentingnya peningkatan produksi pangan dan potensi ekspor komoditas pangan Indonesia. “Kita ini menjadi salah satu dari lima champion untuk global respons untuk pangan, energi, dan keuangan. Jadi kalau kita bisa ekspor itu membantu negara lain,” pungkasnya.
Dalam konteks pangan ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk sektor pangan senilai Rp92,3 triliun pada tahun ini. Dana itu dikucurkan ke kementerian dan lembaga sebesar Rp36,6 triliun.
Adapun, kementerian yang dimaksud, seperti Kementerian Pertanian (Kementan) senilai Rp14,5 triliun, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) senilai Rp6,1 triliun, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) senilai Rp15.5 triliun, serta kementerian lainnya Rp600 miliar.
Sisa anggaran pangan lainnya masuk di belanja nonkementerian/lembaga sebesar Rp33,38 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp21,9 triliun. Selain itu, pemerintah juga menganggarkan subsidi untuk pupuk sebesar Rp25,3 triliun, belanja cadangan beras Rp3 triliun, stabilitas harga pangan Rp2,6 triliun, dan cadangan subsidi pupuk Rp2,9 triliun.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari