Pemerintah focus menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global. Salah satunya, peningkatan harga komoditas energi.
Indonesia telah membulatkan tekadnya untuk penggunaan energi hijau. Peta jalan menuju visi itu pun telah ditetapkan. Salah satu bentuk komitmennya, yakni rencana penerapan pajak karbon sebagai solusi guna mengatasi permasalahan iklim.
Di antara berbagai ide yang digagas, pajak karbon digadang-gadang menjadi salah satu solusi. Pajak karbon adalah instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (sustainable) sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Dalam rangka itu, Indonesia pun menetapkan waktu penerapannya. Pertama, penerapannya pada April 2022. Namun, rencana itu ditunda karena regulasinya belum siap. Berikutnya ditetapkan kembali pada 1 Juli 2022 dan itupun kembali ditunda.
Kementerian Keuangan belum memberikan kepastian kapan pajak karbon akan diberlakukan setelah penerapan pajak karbon ditunda sebanyak dua kali. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, pihaknya tengah merumuskan aturan turunan dari pajak karbon.
"Kita akan terus rumuskan," kata Sri Mulyani, kepada awak media usai menghadiri rapat kerja Banggar DPR dengan pemerintah dan Bank Indonesia, Senin (27/6/2022).
Tidak dipungkiri, instrumen pajak karbon adalah instrumen yang dinilai tepat untuk melakukan pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Bahkan, lembaga internasional seperti OECD dan IMF menyarankan pengenaan pajak karbon sebagai solusi mitigasi iklim sekaligus sumber penerimaan baru pascapandemi Covid-19.
Dalam rangka persiapan menuju penerapan pajak karbon, pemerintah Indonesia pun menyiapkan sejumlah regulasi untuk mengaturnya. Ketentuan mengenai pajak karbon telah diatur dalam UU nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Dari sekian sektor, pemerintah menilai sektor ketenagalistrikan dinilai sebagai sektor yang paling siap untuk dikenakan pajak karbon. Waktunya pun kemudian ditetapkan, April 2022 yang kemudian diubah lagi pada 1 Juli 2022.
Regulasi Pendukung
Dalam rangka itu, aturan teknis pelaksanaannya pun disiapkan, antara lain, tarif dan dasar pengenaannya, cara perhitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan serta peta jalan pajak karbon.
Sementara itu, aturan teknis lainnya, seperti batas atas emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
Selain UU nomor 7/2021, Perpres nomor 3/2021 juga regulasi yang mengatur soal pajak karbon. Di perpres itu diatur, antara lain, terkait tata laksana penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) dan nationally determined contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi.
Selain Indonesia yang berencana menerapkan pajak karbon, sebenarnya beberapa negara sudah menerapkan pajak yang mengurangi potensi meningkatkan emisi. Menurut data Bank Dunia, pajak karbon telah diterapkan di 27 negara di dunia, di antaranya Finlandia, Swedia, Swiss, Polandia, Kanada, Meksiko, Chili, Afrika Selatan, Singapura, dan Jepang. Bahkan, Finlandia sebagai negara yang pertama menerapkannya. Negara Eropa Utara itu telah memberlakukannya sejak 1990.
Menanggapi penundaan penerapan pajak karbon, Menteri Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, persoalan perlunya kesiapan yang lebih paripurna jadi alasan penundaan implementasi regulasi tersebut. “Kesiapan ini penting agar tujuan inti dari penerapan pajak karbon memberikan dampak yang optimal,” tambahnya.
Sri Mulyani juga menekankan rencana penerapan tersebut harus memenuhi kriteria seperti tetap memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Namun pada saat yang sama, dia menjelaskan, penerapan itu juga mampu mengatasi ketidakpastian yang berasal dari global terutama harga-harga energi yang sedang bergejolak.
"Kita lihat seperti di Eropa, dengan Rusia tidak menyuplai gas, mereka sekarang bahkan menggunakan batu bara lebih banyak. Hal-hal seperti ini harus kita kalkulasikan sangat hati-hati terhadap policy-policy yang menyangkut energi termasuk di dalamnya adalah pajak karbon," jelas Sri Mulyani.
Pada kesempatan yang berbeda, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan, pajak karbon dimaksudkan agar perekonomian Indonesia bisa lebih hijau, bukan dengan memajaki emisinya. "Bukan masalah tundanya, pajak karbon itu dimaksudkan agar perekonomian kita bisa lebih green. Bukan dengan memajaki emisinya, tapi dengan mengkombinasikan dia dengan cap and trade," katanya.
Suahasil menyampaikan, penerapan pajak karbon akan memperhatikan kesiapan seluruh ekosistem. "Saat ini fokus utama pemerintah adalah menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global yang salah satunya adalah peningkatan harga komoditas energi dan pangan global seiring terjadinya perang di Ukraina yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik," tambah Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu terkait dengan penundaan pajak karbon.
Terlepas dari semua itu, kebijakan pemerintah dengan menunda penerapan pajak karbon merupakan langkah tepat dan patut diapresiasi. Pemerintah tentunya perlu lebih bijak lagi bila berencana menerapkan kebijakan pajak karbon.
Kesiapan seluruh ekosistem tetap harus menjadi perhatian selain juga stabilitas perekonomian nasional tetap perlu dijaga, terutama rambatan risiko global yang kini sedang menghadapi gejolak harga energi yang lagi mendidih.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari