Indonesia berhasil mencapai swasembada beras berkelanjutan. Kini melalui ekstensifikasi lahan, RI mengejar swasembada jagung.
Indonesia telah mematok target swasembada jagung pada 2024. Sebuah ambisi yang cukup realistis. Target swasembada itu tak tanggung-tanggung diucapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Upaya untuk mencapai ambisi tersebut, memang hampir membuahkan hasil. Data Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, mengutip prognosis Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa kini Indonesia sudah mampu memproduksi jagung 15,79 juta ton.
Dari total produksi sebanyak itu, tingkat kadar air jagung domestik 14 persen dengan luas panen selama Januari–Desember 2021 mencapai 4,15 juta hektare (ha). Dari sisi kebutuhan nasional, selama setahun diperlukan 14,37 juta ton.
Melansir pernyataan Kepala Negara ketika menerima penghargaan dari International Rice Research Institute di Istana Negara, beberapa waktu lalu, Indonesia kini hanya menyisakan impor sebanyak 800.000 ton, dari sebelumnya 3,5 juta ton.
Kementan pun sudah menyusun prognosa target produksi tahun ini sebesar 23,10 juta ton dan tahun depan 23.21 juta ton pipilan kering. Dalam rangka itu, seperti dikatakan Dirjen Tanaman Pangan Kementan Suwandi, kementeriannya mendorong para investor serta pelaku usaha maupun industri untuk mengembangkan agribisnis jagung pada lahan berskala luas (corn estate).
“Hal itu seiring permintaan komoditas jagung yang terus meningkat, yakni untuk konsumsi langsung, pakan ternak, serta industri makanan dan minuman,” ujarnya pada Selasa (18/10/2022).
Menurut Suwandi, rencana itu juga mengacu arahan dan kebijakan Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Indonesia mesti mencapai swasembada jagung pada 2024, setelah berhasil swasembada beras sejak 2019, yang ditandai dengan tidak adanya lagi impor beras umum.
“Jadi arahan presiden dan menteri, Indonesia harus swasembada beras berkelanjutan dan sekarang kita kejar swasembada jagung 2024, melalui berbagai upaya, salah satunya ekstensifikasi atau perluasan lahan.”
Ada tiga strategi yang dilakukan Kementan untuk mencapai swasembada jagung. Pertama, intensifikasi dengan tujuan meningkatkan produktivitas jagung. Selain penggunaan benih unggul, intensifikasi ditempuh dengan penggunaan bahan-bahan alami, seperti pupuk organik, pupuk hayati, dan pestisida nabati.
Kedua, optimalisasi lahan yang ada dengan tujuan lahan bisa panen hingga empat kali dalam setahun. Hal ini di antaranya dengan penerapan pola tumpang sari, yakni antara jagung dengan tanaman perkebunan, seperti jati dan sawit, atau pola tumpang sisip dengan menanam jagung pada areal lahan tanaman lain yang hampir panen.
Terakhir dengan pola ekstensifikasi atau perluasan lahan baru. Penting juga melakukan inovasi teknologi, seperti memberikan perlakuan hormon auksin sehingga jagung tongkol satu bisa menjadi tongkol 2--4.
Pendekatan ekstensifikasi mengenal dua cara. Pertama, yang murah dengan melakukan vegetasi. Kategori ini termasuk ringan, Nah, cara kedua masuk kategori berat, karena membutuhkan investasi, skala ekonomi besar dan luas, tapi kalkulasi teknis dan ekonomi layak. “Model itu dengan dicapai lewat pengembangan corn estate,” ungkap Suwandi.
Suwandi menuturkan, konsep corn estate yang ideal melalui pola perluasan lahan untuk saat ini masih perlu dibahas bersama, di antaranya, terkait luasan lahannya. Ekstensifikasi bisa dilakukan pada lahan kering, tadah hujan, dan juga lahan rawa.
“Ini (corn estate) sangat menarik. Dan kami mendorong investor-investor, welcome, silakan gabung. Sebab, jagung ini permintaannya memang tinggi dan harganya bagus. Jadi, pola-pola seperti ini (corn estate) efektif untuk mengejar target swasembada ke depan,” ungkap Suwandi.
Menurut Suwandi, biji jagung di tanah air digunakan untuk memenuhi tiga kebutuhan penting, yakni konsumsi langsung, pakan ternak, serta industri makanan dan minuman. Di luar itu, batang dan daun tanaman jagung juga dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Berdasarkan data Kementan, penggunaan jagung sebagai bahan baku pakan dibagi menjadi dua, yaitu industri pakan ternak yang kebutuhannya kurang lebih 8,9 juta ton per tahun dan pakan mandiri kurang lebih 3 juta ton per tahun, kebutuhan itu 100 persen dipenuhi dari dalam negeri. Sementara itu, dia mengatakan, pada tahun ini produksi jagung ditargetkan sebesar 23.103.448 ton dan tahun depan mencapai 23.213.500 ton pipilan kering.
Jagung merupakan salah satu sumber pangan pokok, terutama karbohidrat, selain padi/beras. Jagung juga menjadi bahan baku utama bagi industri pakan ternak dengan komposisi 40--50 persen, yang mana untuk peternak mandiri saja kebutuhannya sekitar 3 juta ton per tahun, industri makanan dan minuman sekitar 1,5-2 juta ton per tahun, dan industri bioetanol sekitar 535 ribu ton (mengajukan impor jagung).
“Kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk,” ungkap perwakilan dari Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementan Arnen Sri Gemala.
Arnen Sri Gemala menjelaskan, Indonesia telah mendapatkan penghargaan dari IRRI karena dinilai telah swasembada padi/beras dan Presiden Joko Widodo meminta agar selanjutnya Indonesia bisa swasembada jagung. Dengan arahan tersebut, apabila Indonesia hanya mengandalkan lahan yang ada untuk mencapai swasembada, maka relatif berat.
“Oleh karena itu, perlu adanya perluasan areal untuk meningkatkan luas tanam demi mencapai swasembada jagung tersebut. Penanaman jagung saat ini tidak hanya di lahan eksisting, tapi semua lahan. Pak Menteri menyatakan bahwa jangan biarkan lahan kosong, artinya semua lahan kalau bisa ditanami jagung supaya Indonesia tidak ada impor jagung,” ungkap Arnen.
Apalagi bila dilihat dari optimalisasi penggunaan lahan bagi kepentingan komoditas jagung, data Kementan mengungkapkan, penggunaan lahan untuk pertanaman jagung saat ini baru mencapai 25,85 persen dari total lahan tegalan/huma/ladang yang luasnya mencapai 16.62 juta hektare.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari