Pada panel tingkat tinggi tentang keterkaitan pertanian dan kehutanan yang diselenggarakan di Roma Italia, pada awal Oktober lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya kembali menyatakan komitmennya untuk menaikkan serapan karbon sektor kehutanan. Forum ini merupakan agenda ke-6 dari The Committee on Forestry (COFO)-26.
Siti Nurbaya mengatakan, Indonesia melalui FOLU Net Sink 2030 mendorong tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar -140 juta ton CO2e pada 2030. Pelaksanaan program tersebut merupakan wujud nyata dari komitmen sektor kehutanan Indonesia. Tidak hanya untuk kepentingan nasional, melainkan juga untuk berkontribusi kepada masyarakat global menuju pemulihan hijau, sekaligus membangun ekonomi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
Perlu diketahui, Indonesia Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030 merupakan suatu kondisi di mana tingkat serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan sektor tersebut pada 2030. FOLU Net Sink 2030 mencerminkan pengakuan terhadap peran ekosistem, air tawar, air tanah, dan tanah yang sehat dalam memastikan sistem pangan yang berkelanjutan serta keamanan dan keamanan pangan global.
Menteri Siti mengakui bahwa sektor FOLU memiliki peran besar dalam upaya pencapaian target net zero emission (NZE) nasional, menjadi net emitor ke penyerap bersih GRK. Indonesia berpandangan bahwa ada tiga jalur yang saling terkait. Yakni, menghentikan deforestasi dan memelihara kelestarian hutan, memulihkan lahan terdegradasi dan memperluas agroforestri, serta pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dan membangun rantai nilai hijau.
Ketiga elemen tersebut tidak hanya menunjukkan hubungan antara hutan dan pertanian, melainkan juga antara hutan dan iklim. “Sebagai bagian integral dari respons kami terhadap tantangan global saat ini, kami perlu memastikan bahwa upaya kami untuk memperkuat ketahanan pangan global akan berjalan seiring dengan langkah-langkah kami untuk mencapai tujuan kami. Itu terkait dengan sumber daya air, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, degradasi lahan, pengurangan polusi, dan keanekaragaman hayati," katanya.
Menteri Siti menyampaikan, FOLU Net Sink 2030 menggunakan empat strategi utama, yaitu menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta peningkatan serapan karbon (sink). Dalam pengelolaan hutan lestari, Indonesia telah menetapkan peraturan tentang model kehutanan multiusaha yang memungkinkan pemanfaatan kayu, produk nonkayu, termasuk makanan, serta jasa lingkungan.
Peraturan itu mendukung penerapan agroforestri, silvofishery, silvopasture, ekowisata dan penyembuhan, serta dalam skema penyerap karbon. Kebijakan lainnya dalam melengkapi FOLU Net Sink 2030 adalah program perhutanan sosial, yang difokuskan pada kawasan yang rawan deforestasi dan masyarakat yang bergantung pada hutan, sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Kawasan Perhutanan Sosial (PIAPS).
Program perhutanan sosial Indonesia telah dirancang untuk mengatasi keseimbangan antara produktivitas pertanian dan kelestarian lingkungan, dengan tetap mempertimbangkan penerimaan sosial. Ini adalah contoh keterkaitan antara hutan dan pertanian dalam mengatasi perubahan iklim.
Program perhutanan sosial telah mencakup sekitar 25.000 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan, dari total sekitar 80.000 desa di Indonesia. Program tersebut juga mencakup sekitar 5 juta ha kawasan hutan yang melibatkan sekitar 1,1 juta rumah tangga. Dari 5 juta ha, sekitar 875 ribu ha merupakan tutupan vegetasi alami yang rapatnya rendah (sekitar 10%).
Perhutanan sosial melibatkan sekitar 1.600 kelompok tani hutan, di mana sekitar 1.300 kelompok menggarap tanaman pangan. Tanaman pangan yang dikembangkan melalui perhutanan sosial, antara lain, kopi, tanaman semusim, jagung, kakao, lada, kemiri, serta buah-buahan seperti mangga dan nangka.
Pemerintah memfasilitasi masyarakat lokal untuk penguasaan tanah, memberikan kesempatan bertani dan bisnis yang lebih baik, dan keterampilan manajerial, dalam kerangka menghormati ekologi dan menjaga hutan berfungsi dengan baik.
Menteri Siti mengatakan, program perhutanan sosial juga dilaksanakan melalui pengelolaan dan restorasi lahan gambut, dengan menggunakan paludikultur sebagai teknik untuk memulihkan ekosistem lahan gambut yang terdegradasi. Kegiatan ini mencakup penanaman hasil hutan bukan kayu yang meniru ekologi hutan gambut, dengan menggunakan spesies asli gambut.
Terkait dengan konservasi hutan, FOLU Net Sink 2030 juga menerapkan program kemitraan konservasi untuk pemberdayaan masyarakat. Masyarakat lokal mendapatkan akses ke kawasan konservasi dalam bentuk pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), pemanfaatan sumber daya perairan tradisional, budi daya tradisional, dan berburu spesies yang tidak dilindungi sesuai peraturan perundang-undangan.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari