Bali Compact akan menjadi tonggak transisi energi dunia dan Indonesia akan meninggalkan warisan (legacy) yang berharga untuk mencapai NZE secara global.
Forum menteri bidang energi negara G20 pada Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM), di awal September lalu, melahirkan sembilan poin yang bisa menjadi warisan dari Indonesia kepada G20.
Forum itu menyepakati sembilan hal penting yang dinamakan Bali Compact. Dalam ETMM itu, para menteri energi sepakat untuk melakukan transisi energi. Meskipun pada pertemuan itu, negara-negara mengakui ada perbedaan situasi dan kondisi setiap negara serta sepakat untuk mencapai target-target global.
Para menteri energi itu menekankan pentingnya pengembangan teknologi yang inovatif dan terjangkau untuk mendukung transisi energi, termasuk pentingnya kerja sama transfer pengetahuan dan inovasi teknologi. "Prinsip-prinsip yang ada pada Bali Compact ini akan menjadi legacy, dan harapan kami akan bisa mewarnai semua pelaksanaan transisi energi di negara-negara G20," jelas Staf Ahli bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yudo Dwinanda Priaadi, pada acara konferensi pers yang dilaksanakan secara virtual oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang bertajuk #G20Updates, Selasa (8/11/2022).
Bali Compact merupakan sesuatu yang ditawarkan oleh Indonesia dalam forum transisi energi G20, di mana setiap negara anggota G20 sudah memiliki rencana dan memulai untuk mencapai target net zero emission (NZE) masing-masing. Sehingga muncul ide-ide yang berisikan prinsip-prinsip untuk melaksanakan dan mempercepat NZE, yang kemudian didiskusikan hingga akhirnya tercapai konsensus oleh negara anggota G20, yang dinamai Bali Compact.
"Bali Compact berisi sembilan prinsip utama percepatan transisi energi dengan mempertimbangkan keuntungan bagi semua pihak dan no one left behind, semua sepakat melaksanakan transisi energi tanpa ada yang tertinggal," imbuh Yudo.
Sembilan prinsip tersebut adalah memperkuat kepercayaan dan kejelasan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi secara nasional; meningkatkan ketahanan energi, stabilitas pasar dan keterjangkauan; mengamankan pasokan energi, infrastruktur, dan sistem yang tangguh, berkelanjutan, dan andal.
Prinsip lainnya adalah meningkatkan pelaksanaan efisiensi energi, mendiversifikasi sistem dan bauran energi, serta menurunkan emisi dari semua sumber energi. Berikutnya, mengkatalisasi investasi yang inklusif dan berkelanjutan dalam skala besar ke arah sistem energi rendah emisi atau NZE, berkolaborasi dalam memobilisasi semua sumber pendanaan untuk mencapai tujuan agenda sustainable development goals (SDGs) 2030, dan Paris Agreement.
Selain itu, meningkatkan teknologi yang inovatif, terjangkau, cerdas, rendah emisi atau NZE, serta membangun dan memperkuat ekosistem inovasi untuk mendorong penelitian, pengembangan, demonstrasi, diseminasi, dan penerapannya.
Yudo meyakini, bukan sesuatu yang mustahil bila prinsip-prinsip yang ada di Bali Compact bisa dimanfaatkan oleh negara-negara di luar G20, karena Bali Compact sifatnya high level dan mendapatkan berbagai masukan dari berbagai keinginan negara-negara anggota G20 sehingga bisa dikerucutkan dan disepakati bersama.
"Banyak negara anggota G20 berpendapat ini goes beyond G20, ini bisa diterapkan di luar negara G20," sambungnya.
Yudo menilai, ke depan nanti Bali Compact akan menjadi tonggak transisi energi dunia dan Indonesia meninggalkan legacy yang berharga untuk mencapai NZE secara global. "Tentunya, Bali Compact bisa menjadi dasar untuk disempurnakan, ditambah, dan diperbaharui oleh semua negara di dunia," paparnya.
Mereka juga sepakat meningkatkan investasi, tambah Yudo, dan mendorong aliran dana kepada negara berkembang demi percepatan transisi energi serta pentingnya memperkuat kerja sama. Yudo mengingatkan, transisi energi membutuhkan inovasi teknologi yang berbiaya besar. Oleh karenanya, pendanaan diperlukan untuk mempercepat waktu pensiun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Lebih lanjut, penguasaan teknologi, waktu pelaksanaan proyek, dan kesiapan industri pendukung baik dari sudut aspek teknis maupun keekonomian juga menjadi catatan daftar tantangan berikutnya. Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, lanjut Yudo, Indonesia berupaya melakukan sejumlah terobosan. Antara lain, dengan menerbitkan Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2022 mengenai Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Terobosan terpenting lainnya adalah penyusunan rancangan undang-undang (RUU) energi baru dan energi terbarukan (EBT). Rancangan ini dibuat untuk memberi kepastian hukum, perkuatan kelembagaan dan tata kelola, penciptaan iklim investasi yang kondusif, dan pemanfaatan sumber EBT untuk pengembangan industri ekonomi nasional.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari