Indonesia.go.id - Tiga Kuasa Alam Pembentuk Lembah Palu

Tiga Kuasa Alam Pembentuk Lembah Palu

  • Administrator
  • Jumat, 12 Oktober 2018 | 09:09 WIB
KEARIFAN LOKAL

Cerita-cerita dari nenek moyang seringkali lebih terasa maknanya ketika kita yang hidup di masa kini mengalami peristiwa yang menyentuh rasa kemanusiaan.

Lebih dari 2.000 warga Kota Palu dan sekitarnya menjadi korban meninggal akibat tiga peristiwa alam berkekuatan raksasa yang terjadi saat hari menjelang malam 28 September 2018. Yang pertama, gempa bumi. Goncangan bumi meruntuhkan berbagai bangunan besar, jembatan, dan rumah-rumah hunian di wilayah pesisir. Pusat perbelanjaan, hotel, restoran, kantor-kantor, dan pertokoan runtuh menimbun ratusan warga.

Yang kedua adalah ombak raksasa. Setelah goncangan bumi meruntuhkan bebatuan di bawah laut teluk Palu, air laut naik tinggi membentuk ombak raksasa sepanjang bentang teluk dengan tinggi 3 hingga 11 meter. Dalam hitungan detik, ombak raksasa itu menghempas wilayah pantai. Berbagai bangunan yang merintangi, jembatan besi, dermaga, taman wisata, lapangan festival, kios-kios, masjid, mobil, motor, hingga perkantoran dihempas tanpa kecuali berikut ratusan warga yang sedang berada di sana.

Yang ketiga adalah tanah runtuh. Di Balaroa, Palu Barat, kawasan padat penduduk Perumnas Balaroa, berjarak kurang lebih 5 KM dari pantai, bumi berpijak tiba-tiba runtuh, berlipat, berputar, sebagian naik. Ribuan orang tinggal di kelurahan itu. Saat Magrib itu, warga kampung Bugis, nama lain kampung Balaroa, banyak yang berada di rumah. Ketika tanah runtuh, ratusan rumah seperti dilipat dan diaduk. Atap kayu, besi beton, paku, beling, perabot, perkakas, lemari, mobil truk, angkot, diaduk oleh kekuatan raksasa menyisakan bau solar, dan api yang membakar dari kompor yg menyala. Hanya sebagian warga yang bisa lari mengungsi.

Di Petobo, Palu Timur berbatasan dengan Kabupaten Sigi, 15 KM dari teluk Palu tanah tidak hanya runtuh. Bumi berpijak kehilangan tenaga, tanah jadi gembur dan menghisap apapun yang ada di atasnya. Menara, tiang listrik, bangunan bertingkat, pohon-pohon kelapa hilang ke dalam bumi yang bergerak seperti lahar dingin berwarna hitam menggeser area persawahan dan kebun lebih dari 2 KM dari tempat semula. Sejalur 7 KM dari Petobo, yakni Desa Jono Oge, lenyap ditelan tanah runtuh yang berjalan. Kebon palawija bisa berganti menjadi jagung di area lebih dari 200 hektar.

Segitiga kuasa raksasa, memperlihatkan dirinya sebagai kekuatan purba yang muncul membentuk lembah palu. Wilayah yang berada di antara Bangga, Boru, Sigi, menjadi saksi Dislokasi, Tsunami, dan Likuefaksi. Gabungan ketiganya dalam skala 100 kilometer persegi adalah yang terbesar di dunia. Sejak peristiwa ini para ahli harus belajar kembali memetakan gerak lempeng bumi dan lebih penting lagi memikirkan masa depan manusia penghuni. 

Peristiwa gempa, tsunami, dan tanah runtuh  tercatat dalam sejarah Hindia Belanda. Pada 1 Desember 1927, berdasarkan makalah Daryono (BMKG, 2011), gempa dan tsunami di Palu saat itu bersumber dari Teluk Palu dengan ketinggian ombak mencapai 15 meter.

Catatan Belanda juga melaporkan bahwa dasar laut mengalami longsoran sejauh 12 meter. Kemudian disusul tsunami Parigi pada 20 Mei 1938, yang lebih dahsyat yang getarannya terasa di seluruh Kepulauan Sulawesi dan bagian timur Kalimantan. Di masa Orde Baru tercatat, tsunami di Tambu 14 Agustus 1968 dan Tsunami Toli-toli dan Palu pada 1996.

Kondisi Palu yang sudah mengenal gempa dan segala kejadian alam yang menyertainya, sebenarnya dari generasi ke generasi dituturkan dalam tradisi lisan. Muhammad Nizam, salah seorang anak keturunan suku Kaili yang saat ini menjadi Kepala Dinas Kominfo Sulawesi Tengah, menceritakan bahwa gempa dan ombak besar adalah dua hal yang harus dimaklumi para penghuni Lembah Palu.

Bahkan leluhur suku Kaili menceritakan, saat ada kejadian gempa selain harus mencari tanah atau pohon yang lebih tinggi, bagi para penenun kain dengan bilah-bilah kayu tenunnya harus dipakai mengelilingi tubuhnya dan dibawa serta. Konon kayu-kayu tenun inilah yang akan menyelamatkan jiwanya kalau-kalau tanah runtuh kayu-kayu inilah yang akan menahan dia tidak tertelan bumi.

Sumber-sumber hikayat tentang leluhur orang Palu, yang berasal dari Kerajaan Luwu Purba mempunyai cerita lain. Salah seorang anak keturunan dari To Manurung, orang yang turun dari langit, adalah pelaut tangguh yang menyusuri teluk, lembah, dan gunung di Sulawesi. Dia adalah Sawerigading. Dia datang di Teluk Palu dengan keinginan meminang putri penguasa Kaili yang bernama Ngilinayo.

Semula persiapan meminang Ngilinayo sudah lengkap. Sawerigading hanya tinggal menghadiri pesta pernikahan. Saat hari itu tiba, lembah Palu diguncang gempa hebat, tanah runtuh, dan ombak raksasa menerjang ratusan warga yang berkumpul banyak menjadi korban. Perahu Sawerigading bahkan bisa berpindah ke gunung. Sawerigading bertanya dalam hatinya apa yang membuat bumi bergoncang, ombak menerjang, dan lumpur membujur.

Dalam versi yang lain dikisahkan Sawerigading mempunyai pengawal sakti yang selalu menemani ke mana dia pergi. Dia adalah seekor anjing yang bernama Labolong. Labolong akan selalu berada di depan memastikan Sawerigading aman menempuh perjalanannya. Mendahului rombongan, Labolong ternyata melewati jalan yang bergunung-gunung. Di satu tempat ternyata tanahnya runtuh dan Labolong tenggelam di bawahnya. Labolong sang anjing sakti mencari siapa penyebab runtuh. Akhirnya Labolong bertemu dengan belut penjaga tanah Kaili yang bernama Lindu.

Labolong berpikir Lindu inilah yang akan mencelakai Sawerigading dengan membuat tanah runtuh. Labolong pun menyerang Lindu. Terjadi perkelahian. Akibat perkelahian seluruh bumi berpijak di Kaili berguncang. Halilintar menyambar, angin membadai. Belut Lindu yang juga sakti tidak takut Labolong. Mereka seimbang.

Labolong lebih cerdik. Untuk bisa memenangkan pertarungan Labolong menggigit kepala Lindu dan menyeretnya ke tanah datar. Lindu yang sakti pun melawan. Kedua hewan sakti yang sudah berubah wujud menjadi raksasa bertempur begitu rupa hingga lubang lindu inilah yang di kemudian hari menjadi Danau Lindu.  Goyangan badan lindu yang berbalut lumpur inilah yang membelah lembah palu dengan sungainya yang juga bernama Sungai Palu.

Ternyata di Lembah Palu keduanya tidak ada yang lebih kuat hingga akhirnya keduanya pun mati. Mendapati hal itu, pesta pun batal. Sawerigading urung menikahi Ngilinayo. Sawerigading berduka atas kematian hewan-hewan sakti kedua negeri. Sawerigading akhirnya mengangkat saudara Putri Ngilimayo. Setelah memperbaiki kapalnya Sawerigading pun melanjutkan perjalanan ke negeri Cina.