Indonesia.go.id - Sektor Pangan Masih Moncer

Sektor Pangan Masih Moncer

  • Administrator
  • Selasa, 16 Februari 2021 | 14:38 WIB
KINERJA EKONOMI
  Petani kentang di Magelang, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Sangat nyata bahwa sektor pertanian masih menjadi bantalan selama resesi ekonomi karena pandemi Covid-19.
Sektor pertanian, terutama tanaman pangan ternyata menjadi subsektor yang tahan terhadap gelombang resesi karena pandemi sejak awal Maret 2020.
 
Indikator itu bisa terlihat dari laporan Badan Pusat Statistik, berkaitan dengan kinerja ekonomi Indonesia periode kuartal IV 2020 yang baru saja dirilis belum lama ini. Menurut data itu, PDB sektor pertanian pada kuartal IV 2020 tersebut tumbuh sebesar 2,59 persen secara year on year (yoy).
 
Bahkan, bila datanya dilihat lebih jauh lagi ternyata subsektor pendukung utamanya adalah tanaman pangan sebesar 10,47 persen dan diikuti hortikultura sebesar 7,85 persen. Dari gambaran itu sangat nyata bahwa sektor pertanian menjadi bantalan selama resesi ekonomi karena pandemi Covid-19.
 
Harus diakui, kinerja subsektor tanaman pangan dan hortikultura yang cukup moncer disebabkan angka produksi memang meningkat dan harga cukup bersahabat. Hal ini menyebabkan nilai tambah juga naik signifikan yang menjadi basis perhitungan PDB Pertanian.
 
Kinerja sektor pertanian ini juga terkonfirmasi pernyataan Kepala BPS Suhariyanto. Menurutnya, laju pertumbuhan berdasarkan jenis lapangan usaha ternyata hanya sektor pertanian yang tumbuh positif selama triwulan IV 2020.
 
Secara keseluruhan, tambah Suhariyanto, PDB Indonesia pada kuartal IV-2020 tumbuh -2,19 persen (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy). Dengan demikian, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negatif (kontraksi) dalam tiga kuartal beruntun.
 
"PDB kuartal IV-2020 membaik dari kuartal sebelumnya walau secara keseluruhan masih melemah. Berdasarkan laju pertumbuhan lapangan usaha, hanya sektor pertanian yang tumbuh positif selama triwulan IV 2020,” jelasnya.
 
Perlu diketahui, data BPS mengungkapkan bahwa pertumbuhan PDB sektor pertanian pada kuartal IV 2020 yang tumbuh sebesar 2,59 persen tersebut disebabkan beberapa fenomena sebagai faktor penyebabnya. 
 
Pertama, paling besar disebabkan pertumbuhan PDB tanaman pangan sebesar 10,47 persen didorong oleh adanya peningkatan luas panen dan produksi padi, jagung, ubi kayu, serta cuaca yang mendukung.
 
Kedua, komoditas hortikultura tumbuh 7,85 persen karena permintaan buah-buahan dan sayuran selama pandemi covid-19. Ketiga, komoditas perkebunan tumbuh 1,13 persen dengan komoditasnya berupa kelapa sawit.
 
Meskipun sektor pertanian mencatat pertumbuhan dibandingkan sektor lainnnya, pemangku kepentingan juga patut mewaspadai soal daya beli masyarakat yang turun akibat pandemi. 
 
Namun, pemerintah pun sudah mengantisipasinya. Oleh karena itu agar masyarakat tetap memiliki daya beli, pemerintah pun merilis stimulan yang semuanya tercakup melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dan, dana PEN untuk 2021 pun sudah ditambah oleh pemerintah menjadi Rp627,9 triliun.
 
Skala Ekonomi
 
Presiden Joko Widodo pun sangat perhatian terhadap sektor pertanian terutama berkaitan dengan masalah laten di sektor tersebut, yakni bagaimana produksi pertanian jadi meningkat.
 
Dalam pembukaan rapat kerja nasional pembangunan pertanian tahun 2021 yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (11/1/2021), Kepala Negara menekankan pentingnya peningkatan skala ekonomi dan penerapan teknologi pertanian.
 
Menurut presiden, itu merupakan langkah utama pembangunan pertanian nasional yang harus segera ditempuh. Dengan cara itu maka biaya produksi dapat menjadi lebih murah sehingga menimbulkan harga yang kompetitif dari produksi komoditas pertanian nasional.
 
 “Skala luas dan teknologi pertanian dipakai betul. Itulah cara-cara pembangunan pertanian yang harus kita tuju sehingga harga pokok produksinya nanti bisa bersaing dengan harga komoditas yang sama dari negara-negara lain,” ujarnya.
 
Di masa pandemi saat ini, sektor pertanian menempati posisi sentral. Apalagi dengan penduduk Indonesia yang sejumlah lebih dari 270 juta jiwa mengharuskan pengelolaan pertanian dijalankan dengan baik dan serius.
 
Pembangunan pertanian kini tak lagi bisa hanya dilakukan dengan menggunakan cara-cara konvensional yang sudah bertahun-tahun dilakukan. Menurut Kepala Negara, apa yang dibutuhkan oleh negara kita ialah membangun sebuah kawasan pertanian berskala ekonomi besar, termasuk salah satunya lumbung pangan baru.
 
“Oleh sebab itu kenapa saya dorong food estate ini harus diselesaikan. Paling tidak tahun ini yang di Sumatra Utara dan Kalimantan Tengah harus selesai. Kita mau evaluasi masalahnya apa, teknologinya yang kurang apa, karena ini akan menjadi contoh,” imbuhnya.
 
Kepala Negara melihat bahwa permasalahan utama yang dihadapi para petani lokal selama ini ialah tidak kompetitifnya harga komoditas yang mereka hasilkan. Biaya pokok produksi yang tinggi oleh karena produksi yang dilakukan dalam jumlah sedikit menyebabkan komoditas lokal kalah bersaing dengan komoditas impor.
 
Untuk itulah diperlukan peningkatan skala ekonomi sehingga para petani yang nantinya terhimpun dalam kelompok tani besar memiliki nilai tukar petani yang lebih besar sekaligus meningkatkan jumlah produksi.
 
“Kalau harga tidak kompetitif ya akan sulit kita bersaing sehingga sekali lagi ini harus dibangun dalam sebuah lahan yang sangat luas,” tutur Presiden.
 
Berkaitan masalah pangan, semua pemangku kepentingan juga patut mewaspadai peringatan yang disampaikan Organisasi Pangan Dunia (FAO). Mereka baru saja merilis laporan yang menyebutkan terjadinya kenaikan harga pangan tertinggi terjadi pada komoditas serealia, yakni padi/beras, jagung, gandum, sorgum, dan jelai. 
 
Harga pangan dunia pada Januari 2021 naik ke level tertingginya sejak Juli 2014. Menurut organisasi itu, indeks harga pangan FAO pada Januari mencapai rata-rata 113,3 poin, naik dari 108,6 pada Desember 2020. 
 
Sebagai informasi, indeks harga pangan ini mengukur perubahan bulanan harga sekeranjang komoditas serealia, minyak sayur, susu, daging, serta gula. Produk pangan serealia di antaranya padi/beras, jagung, gandum, sorgum, dan jelai. FAO memproyeksikan produksi serealia di seluruh dunia akan mencapai rekor tertingginya pada 2020. 
 
Meski demikian badan pangan dunia ini memperingatkan adanya ancaman penurunan stok pangan seiring tingginya permintaan impor dari Tiongkok. Harga serealia pada Januari naik 7,1 persen dibandingkan bulan sebelumnya, dipimpin oleh harga jagung yang melonjak hingga 11,2 persen, serta harga gandum yang naik 6,8 persen yang didorong oleh tingginya permintaan global dan proyeksi turunnya penjualan oleh Rusia. 
 
FAO memprediksi produksi serealia pada 2020 mencapai 2,744 miliar ton, dengan produksi gandum dan beras meningkat. Sedangkan proyeksi produksi biji-bijian kasar dipangkas karena turunnya produksi di AS dan Ukraina. "Melihat produksi serealia tahun 2021, prospek produksi awal untuk tanaman gandum musim dingin di belahan bumi utara menunjukkan sedikit peningkatan tahun ini," kata FAO seperti dikutip Reuters, Kamis (4/2/2021). 
 
Konsumsi serealia global pada 2020/21 diperkirakan mencapai 2,76 miliar ton, naik dibandingkan perkiraan sebelumnya 2,74 miliar ton. Sedangkan prakiraan stok serealia dunia dipatok pada 802 juta ton turun dari sebelumnya 866,4 juta ton. “Perdagangan semua serealia utama diperkirakan naik,” kata pernyataan FAO. 
 
Dari gambaran di atas, sektor pertanian Indonesia ternyata masih cukup menjanjikan. Sejumlah langkah pemerintah, termasuk penekanan masalah perlu segera digenjotnya penggunaan teknologi pertanian dan juga menyiapkan food estate yang terintegrasi merupakan langkah tepat menuju swasembada pangan yang diimpikan. 
 
Benar, melalui swasembada pangan, bangsa ini memiliki ketahanan pangan yang kuat dan itu merupakan wujud pertahanan nasional yang nyata di tengah masih berlangsungnya pandemi yang belum ada tanda-tanda melandai.
 
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari