Dr. Ing. Bacharudin Jusuf (BJ) Habibie terbiasa mengkalkulasikan beban. Reputasinya mendunia dalam mengkalkulasikan beban pada sayap pesawat terbang akibat beban hempasan ketika landing, take off, G-Force ketika pesawat menanjak, meluncur turun dan berbelok, dan berbagai variasi cuaca. Retakan (ceack) pada sayap adalah resiko.
Menghitung progres retakan itu spesialisasi Habibie, doktor summa cum laude di Universitas Teknologi Rhein Westfalen, Aachen, dan karenanya dia dapat menyusun metode menghindari cracking ini untuk keselamatan penerbangan. Karya itu yang membuat namanya menjulang dan meraih karir mencorong di industri aeronautika Jerman. Sebelum boyongan dari Jerman, ia menjabat sebagai Direktur Teknik di MBB (Messerschmitt-Bölkow-Blohm).
Pada usia 38 tahun (1974), ia menerima pinangan menjadi konsultan bagi pemerintah RI untuk advance technology, khususnya bidang penerbangan. Tak lama kemudian, akhir 1976, ia dilibatkan membangun Industri Pesawat Terbang Nurtanio di Bandung. Toh, ia belum sepenuhnya meninggalkan MBB.
Namun, setelah niatnya membangun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) disetujui, BJ. Habibie yakin bahwa Presiden Soeharto ketika bersungguh-sungguh ingin mengembangkan teknologi tinggi. Habibie pun kembali ke Indonesia dengan dengan membawa reputasi tinggi dan cita-cita besar.
Bahkan, ia dipercaya menjabat Menteri Ristek dan Kepala BPPT 1978. Dalam rencananya, BPPT adalah badan akselerator untuk membangun keunggulan RI pada berbagai bidang. Dengan menyandang posisi Menteri Ristek, BJ Habibie lebih mudah melakukan kordinasi dengan lembaga penelitian dan riset yang ada seperti LIPI, Batan, perguruan tinggi, serta Badan Litbang di kementerian-kementerian.
Menghindari tumpang tindih, BPPT lebih fokus pada isu agroindustri, bioteknologi, teknologi informasi, material, energi baru, teknik indusrtri, rekayasa dan rancang bangun. Dalam bidang ini BJ. Habibie mau melakukan akselerasi. Kalau tidak, seperti sering dia katakan, Indonesia hanya akan menjadi konsumen teknologi. Dalam rencananya, Indonesia harus menghasilkan produk yang berteknologi agar mendapat nilai tambah yang lebih besar, pekerja lebih produktif, dan rakyat lebih sejahtera.
Namun, narasi tersebut harus disimpan dahulu menunggu waktu yang tepat. BJ. Habibie konsentrasi pada strategi supaya konsep intervensi teknologi untuk menambah gaya gerak perekonomian itu tidak terlalu banyak menghadapi hambatan yang tak perlu. Langkah besar memerlukan strategi besar, maka proyek ambisius pun dilakukan.
Casa, Puma dan Bolkow
BJ. Habibie lantas menggenjot progres industri pesawat terbang di Bandung melalui PT IPTN Bandung. Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tengggara yang melangkah ke industri aeronautika. Tak lama sentuhan Habibie juga masuk ke PT PAL Surabaya untuk mengembangkan rekayasa kapal laut mutakhir. Anak-anak muda dikirimnya belajar ke Eropa Barat, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan sejumlah negara maju lainnya untuk belajar vokasional, S-2 dan S-3.
Di berbagai kesempatan, BJ Habibie menyampaikan pendapatnya, bahwa teknologi tinggi aeronautika adalah salah satu lokomotif yang bisa menarik perkembangan cabang-cabang teknologi yang lain, yang di dalamnya ada teknologi telekomunikasi, komputer, rekayasa, dan seterusnya. Teknologi dirgantara pada tahap berikutnya akan menjadi motor bagi kemajuan industri secara umum.
Berpengalaman di industri aeronauika, BJ. Habibie paham bahwa IPTN yang kini menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI) tak bisa bekerja sendirian. Reputasi Habibie yang kuat membuat CASA, industri pesawat terbang Spanyol, mau digandeng menjadi mitra. Produk kerjasama itu antara lain CN-212 dan CN-235. Produk perdana CN-235 mengudara akhir 1983. Bekerja sama dengan Bolkow Blohm Jerman, IPTN pun memproduksi heli mungil BO-105. IPTN juga memasok komponen untuk Heli Puma Perancis.
Di laut PT PAL juga bergerak maju. Menjalin kerja sama dengan sejumlah galangan di Belanda, Jerman, Korea, untuk mengembangkan SDM-nya, PT PAL pun mulai memproduksi kapal-kapal mutakhir. Berkat investasi SDM waktu itu kini PT PAL sanggupc membangun kapal tanker, kontainer, kapal penumpang, dan kapal perang sampai kelas Korvet, bahkan kapal selam.
Atas sentuhan Habibie pula PT Pindad memproduksi seri senapan serbu (SS-1 dan SS-2) dengan lisensi dari industri senjata Belgia FNC. Pindad juga mengembangkan kendaraan tempur, amunisi serta roket. Kini PT Dirgantara Indonesia (nama baru IPTN) melangkah lebih jauh dengan membuat CN-292, dan PT Pindad memproduksi meriam, senapan mesin, roket, senapan sniper bahkan tank kelas medium 30 ton.
Ekonomi Widjojo Nitisastro
Namun, tak mudah menjadikan teknologi sebagai lokomotif pembangunan. Ekonomi Indonesia sudah meluncur dalam tracknya sendiri. Sejak 1968, perekonomian Indonesia bergerak di bawah kemudi tim ekonomi di bawah Prof. Widjojo Nitisastro, doktor ekonomi lulusan University of California at Berkeley AS. Veteran Tentara Pelajar dari Malang itu dikenal cerdas dan bertangan dingin.
Wijoyo lulus dari Fakultas Ekonomi UI 1955 dengan predikat cum laude. Tahun 1957 ia diberangkatkan ke Berkeley dan dalam 4 tahun ia menamatkan S-2 dan S-3nya. Prof. Widjojo dikenal sebagai penganut mazhab Keynes Ecomocics. Di bawah kemudi Prof. Widjojo, negara memegang kendali ekonomi lewat instrumen kebijakan dan fiskal (APBN), dan dengan keduanya negara mendorong investasi, produksi, dan tumbuhnya pasar. Bantuan luar negeri (hutang) digunakan untuk proyek-proyek khusus.
Strategi pembangunan yang dirancang oleh tim ekonom di bawah Prof. Dr. Widjoyo Nitisastro (Menko Ekuin sekaligus Menteri Negara/Kepala Bappenas 1973-1983) itu memang memberikan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Bila tahun 1966 income per kapita warga Indonesia masih US$ 70 per tahun, angka itu berlipat kali menyentuh US$ 1.000 pada 1996.
Pada kurun yang sama, kemiskinan turun drastis dari 55% menjadi 11,3%. Inftastruktur ekonomi telah berkembang pesat. Jalan raya, listrik, pelabuhan, bandara, kota mandiri, mal, apartemen, ada dimana-mana. Di sisi lain ladang minyak terkuras, hutan primer tandas (sebagian areal perkebunan dan hutan tanaman industri yang jutaan hektar dikuasai pengusaha besar). Prof. Widjojo tidak lagi aktif sebagai pejabat sejak 1983, tapi pengaruhnya masih terasa sampai satu dekade kemudian.
Sejak 1985-an dengan mengikuti tren dunia, ekonomi Indonesia pun makin membuka diri. Kebijakan deregulasi digencarkan. Bank-bank swasta, termasuk bank asing , tumbuh pesat. Pasar modal dengan segala produknya berkembang dan privatisasi BUMN digulirkan. Hasilnya, antara 1988-1991 ekonomi Indonesia tumbuh di atas 8% per tahun.
Pada masa itu pelaku-pelaku ekonomi punya banyak peluang. Pemerintah tak terlalu banyak mengatur “siapa mereka”, yang penting pertumbuhan yang tinggi itu akan menghasilak trickle down effect, dalam bentuk lapangan kerja, atau lapangan usaha sebagai berkah dari ekspansi pasar.
Dalam situasi itu, ide-ide ekonomi Prof. BJ. Habibie (Habibienomics), yang digulirkan sejak pertengahan 1980an, kurang berkembang. Presiden Soeharto bisa melihat bahwa di balik gemerlap ekonomi itu ada banyak pihak yang tidak puas. Pembangunan yang ada dianggap kurang memberi kurang afirmatif dan inklusi bagi pengusaha kecil dan pengusaha daerah. Kesenjangan membayang.
Pendukung BJ. Habibie menangkap gelagat ini dan mengkanalisasinya dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Atas seijin Presiden Soeharto, Menristek . Habibie memimpin ICMI sejak akhir 1990. Habibienomics kembali digulirkan sebagai antitesis Wijoyonomics. Presiden Soeharto tidak keberatan. Toh, keduanya ada di barisan pendukungnya.
Namun, Habibienomics dalam posisi kurang beruntung. Skala produksi yang kecil pada CN-212 dan CN-235 membuat harganya belum cukup ekonomis. Pembelian CN-235 oleh PT Merpati Airlines harus lewat proses birokrasi yang tidak efisien, sehingga kurang menguntungkan. Kondisi ini sering membuat ide-ide Habibienomics jadi ejekan. Pembiayaan untuk proyek Habibie dibatasi.
Turbulensi
Liberalisasi sektor keuangan sejak pertengahan 1980-an itu membuat uang asing mudah masuk melalui berbagai bank. Investasi jor-joran, termasuk dengan mata uang asing. Walhasil, ketika terjadi krisis atas sebagian besar mata uang Asia Timur, Indonesia mengalami akibat yang paling parah.
Tagihan dalam mata uang asing dak terbayarkan, karena investasi yang ada hanya menghasilkan rupiah, karena produknya tidak dapat diekspor. Perusahaan-perusahaan raksasa yang ada ternyata hanya jago kandang, keok bersaing di pasar internasional. Para pelaku usaha yang berkjenis ‘’konsumen teknologi” itu tak peduli dengan teknologi yang tergantung pada bahan baku impor dan hanya kompetitif di dalam negeri.
Krisis moneter itu akhirnya tumbuh menjadi turbulensi besar. Inflasi membumbung, cadangan devisa ambrol, banyak perusahaan kolaps, kegiatan produksi tercekik. Krisis ekonomi diikuti oleh krisis politik. Presiden Soeharto lengser dan BJ. Habibie menggantikannya. Ia menjadi Presiden RI ketika IMF begitu leluasa campur tangan dalam kebijakan ekonomi, karena memberi pinjaman valuta asing.
Niat BJ. Habibie menawarkan produk andalan IPTN, N-250 keluar negeri, mumpung saingan beratnya ATR dari Kanada sedang kerepotan, tak bisa jalan. Proyek IPTN disetop oleh IMF, karena dicap proyek berbiaya tinggi. Akibat krisis itu, IPTN (PT DI) nunggak hutang US$ 200 juta . Tak ada artinya di tengah gelombang tumpukan hutang yang jumahnya US$ 50 Milyar itu, dan banyak pengusaha yang beban utangnya di atas US% 1 Milyar.
Mengibaratkan dirinya pilot yang pesawatnya masuk ke pusaran turbulensi awan dan mengalami stall, hal yang pertama dilakukan ialah tenang. Tangan tetap di tuas kendali. Begitu arus turbulen itu kendur, dengan sigap Presiden BJ. Habibie mengambil tindakan. Kebutuhan dasar rakyat diamankan, bank-bank yang selamat dimerger, BI dijadikan independen. Kegaduhan politik diredamnya dengan agenda pemilu jurdil, otonomi daerah serta kebebasan pers. Segera, kepercayaan pulih. Alhasil, turbulensi 1998 yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi terjun ke minus 13% bisa dikerek menjadi plus 1% ditahun 1999.
Beban politik Timor Timur pun diperjudikan dengan referendum. Timor Timur lepas diiringi tangis. Tapi, beban politik Timor Timor tak tumbuh menjadi cracking yang lebih kronis. Kini beban itu telah lepas.
Dalam masa kepemimpinannya yang hanya 17 bulan, Presiden Habibie telah melakukan hal-hal besar. Pesawat besar Republik Indonesia dibawanya keluar dari zona otoritarian-militeristik, dan mendarat ke area transisi demokrasi, untuk kemudian bisa take off memasuki langit demokrasi.
Ketika BJ Habibie bertolak pergi ke alam keabadiannya Rabu petang lalu (11/09), suara tangis pecah dan air mata menetes ke jagat maya. Jutaan simpati melimpah di sana. Terima kasih Prof. BJ. Habibie telah menjadi bagian dari Indonesia dan menghadirkan momen-momen terbaik yang penuh harapan. Begitu tulis seorang netizen di akun Fb-nya.