Indonesia.go.id - Asap Karhutla Melewati Ambang Bahaya

Asap Karhutla Melewati Ambang Bahaya

  • Administrator
  • Senin, 16 September 2019 | 21:36 WIB
KEBAKARAN HUTAN
  Presiden Joko Widodo didampingi Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian meninjau penanganan kebakaran lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Per 31 Agustus 2019, kebakaran hutan dan lahan mencapai 238 ribu ha. Asap debunya masuk Palembang, Pekanbaru, Palangkaraya, dan Sampit, pada level berbahaya. Sejumlah bupati/wali kota tampak tidak peduli.

Angin lunglai selepas tengah malam di atas Kota Palembang, Kamis (12/9/2019). Udara enggan bergerak dan kabut asap bertumpuk. Dini hari itu, sensor udara milik BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menunjukkan konsentrasi butiran  debu-asap mencapai angka 367 mikrogram (0,367 mg) per m3 udara, masuk kategori berbahaya. Perih di mata dan bau sangit menyengat.

Udara yang merayapi jalan dan lorong-lorong di tepian Sungai Musi itu mengandung butiran debu arang  dalam jumlah sangat  besar berikut gas-gas berbahaya seperti SO2 (belerang oksida), O3 (Ozon), karbon diaksida (CO2), serta karbon monoksida (CO), dalam jumlah yang amat berlebihan. Semua mengganggu dan merusak sistem pernafasan.

Tak lama, angin mulai berembus. Perlahan asap mulai menipis. Pukul 04 pagi, kandungan debu karhutla (kebakaran hutan dan lahan) itu turun menjadi 0,227 mg. Siang harinya mendingan, tapi tetap di sekitar 150-250 mikrogram, kategori sangat tidak sehat. Kondisi ini sangat berpotensi mengakibatkan serangan ISPA (infeksi saluran pernafasan) dan berbahaya bagi pengidap asma.

Karhutla memang sedang berkecamuk di Provinsi Riau, Jambi, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat, Tengah, Selatan serta Timur. Tak kurang dari 40 ribu ha lahan kini terpanggang api di ketujuh provinsi pelanggan karhutla itu. Kota Pekanbaru  dikepung asap. Sabtu (14/9/2019) siang, kandungan debu-asap di Ibu Kota Riau itu menyentuh ke level 0,295 mg, masuk katagori sangat tidak sehat.

Sejak kemarau Juni lalu, warga Palembang dan Pekanbaru sudah beberapa kali bergulat melawan debu asap. Di Palangkaraya kabut asap bergolak lagi setelah sempat reda sejenak pada Agustus lalu. Bahkan, penduduk  Sampit, kota kedua di Kalimantan Tengah, harus berakhir pekan dengan udara mengandung 0,435 mg bahan cemaran per m3 (24/09). Kondisi yang berbahaya.

Pemerintah sudah mengantisipasi ledakan karhutla itu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana) sudah menyiagakan jajarannya di tujuh provinsi rawan api itu sejak Mei lalu. Kementerian Kehutanan juga tak berhenti mengerahkan Satuan Manggala Agni (petugas terlatih menghadapi kebakaran hutan), dibantu satuan TNI-Polri dan masyarakat. Tapi, titik api terlalu banyak. Tenaga dan peralatan yang ada tak cukup untuk mengontrol kobaran api yang tersebar di banyak tempat itu.

Dalam Rapat Koordinasi Karhutla di Istana Negara Jakarta awal Agustus lalu, Presiden Joko Widodo pun telah mewanti-wanti tentang pencegahan dini dan penegakan hukum terhadap pihak yang  membakar hutan untuk membuka lahan perkebunan. Pemantauan melalui foto  satelit digencarkan, patroli terus digalakkan, tapi titik api muncul di mana-mana. Kobaran api terus meluas.

Para tersangka ditangkap. Jajaran Polri menahan hampir 200 orang tersangka dari semua provinsi yang terbakar. Empat korporasi perkebunan (satu terkait investor Singapura dan tiga lainnya Malaysia) turut membakar lahannya dan akan diberi sanksi. Per 31 Agustus, BNPB mencatat, karhutla sepanjang 2019 telah  melanda 238 ribu ha, dan 80 ribu ha di antaranya  lahan gambut. Riau menyumbang api terbesar, yakni 40 ribu ha.

Hanya perlu sebatang api untuk memantik api, tapi perlu ikhtiar yang luar biasa besar memadamkannya. Mobil-mobil pemadaam api dan pompa-pompa penyembur air dikerahkan. BNPT mengerahkan 43 unit helikopter untuk  memadamkannya dari udara. Namun, ibarat patah tumbuh hilang berganti, api terus merajalela. Sumber api, sebagian besar dari tindakan kesengajaan, tak mudah dikendalikan.

Penegakan hukum tidak mudah. Bila karhutla itu atas nama usaha perkebunan pelakunya secara hukum mudah ditangkap dan dipidanakan. UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan  jelas melarang praktik membuka lahan dengan membakar, begitu halnya UU No. 32 tahun 2009 tentang PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Namun, ada celah pada UU no. 32 tahun 2009 tentang PPLH itu, pelarangan membakar di pasal 69 ayat (1) huruf h, diilemahkan oleh pasal 69 ayat (2) yang memberikan catatan bahwa pelarangan itu dengan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Maka, pada Permen Lingkungan Hidup No. 10/2010 ada ketentuan yang membolehkan masyarakat adat membuka lahan dengan api, dengan ketentuan: maksimun 2 ha, dilaporkan ke instansi terkait, dan tidak dilakukan pada saat curah hujan di bawah normal.

Pasal UU No. 32/2009 dan Permen LH No. 10/2010 itu pun menjadi naungan bagi sejumlah peraturan gubernur (Pergub) yang memberi hak kepada masyarakat adat untuk membakar lahan. Memang, ada pembatasan  semisal per keluarga maksimum 2 ha, atau per desa maksimum 25 ha/tahun, dan harus pula dilaporkan ke kecamatan atau dinas terkait, namun sekiranya semua dipenuhi, terus siapa yang  bisa menjamin bahwa api adat itu tak menyebar,

Sayangnya, pelaku usaha termasuk korporasi besar seringkali memilih nebeng memanfaatkan api dari  tetangga yang dilindungi adat itu. Mereka membiarkan lahannya terbakar. Membuka lahan dengan api memang cara paling murah. Belum lagi adanya mitos bahwa membakar lahan itu dapat  memperbaiki kesuburan tanah.

Para penguasa daerah (bupati atau gubernur) umumnya melihat karhutla itu sebagai tanggung jawab pemerintah pusat. Padahal, UU No. 32/2009 tentang PPLH jelas menyebut tanggung jawabnya ada di pemerintah pusat dan daerah. Sialnya, isu karlutla itu sering tak bergema di perhelatan pilkada, mulai pilbup/pilwalkot hingga pilgub. Tak heran bila BNPT menyatakan, sejumlah bupati/walik tak peduli api menghanguskan wilayahnya.

Dalam kondisi seperti ini tak ada jaminan bahwa karhutla tak akan terulang. UU semestinya memberi tanggung jawab lebih  besar pada kepala daerah dalam kasus karhutla. Dengan perubahan ekosistem kawasan hutan, pembakaran lahan atas nama adat perlu ditinjau kembali, apalagi dilakukan di musim kemarau. Ketentuan “sejauh hujan tidak di bawah normal” karena di banyak daerah, hujan normal di  musim kemarau tetap saja rendah dan membuat vegetasi setempat kering, apalagi di lahan gambut.

Tidak bisa lagi dibiarkan warga Pekanbaru, Jambi, Palembang, Palangkaraya, Sampit, dan lainnya, harus dibanjiri debu asap karhutla. Lebih merepotkan lagi, bila asap itu menyeberang masuk ke pekarangan tetangga, Singapura atau Malaysia. Mereka tak butuh kata maaf, mereka hanya butuh aman dari asap jelebu yang mendatangkan penyakit. (P-1)