Profesor Dr Bacharudin Jusuf (BJ) Habibie bukan hanya pakar teknologi. Ia juga teknokrat, cendekiawan yang turut terjun dalam tata kelola pemerintahan. Sebagai teknokrat dengan latar belakang keahlian teknologi, BJ Habibie percaya, lompatan teknologi diperlukan agar sebuah bangsa lebih cepat maju tanpa boros mengekstrasi sumber daya alamnya.
Hampir 25 tahun Profesor Habibie memperjuangkan jalan teknologi itu. Para kurun itu pula ia harus pula berenang di tengah perubahan-perubahan arus politik-ekonomi. Ketika arus pasang membawanya ke kekuasaan tertinggi sebagai Presiden RI, Profesor Habibie berlaku laksana pilot yang membawa negerinya terbang keluar dari zona militeristik-otoritarian dan mulai menjelajahi langit demokrasi. Historiografi itu mengalir jenih mengiringi kepergian BJ Habibie.
Sang maestro menghembuskan nafas terakhir Rabu petang 11 September 2019, di RS Pusat Angkatan Darat, Jakarta, setelah lama terkena komplikasi penyakit. Ia dimakamkan esok harinya, dalam upacara kenegaraan yang dipimpin Presiden Joko Widodo, di TMP Kalibata. Pusaranya berdampingan dengan isteri tercintanya, Hasri Ainun Habibie, yang wafat 9 tahun sebelumnya. Pasangan ini meninggalkan dua putra, yakni Ilham Akbar dan Thareq Kemal, serta enam orang cucu.
BJ Habibie lahir 25 Juni 1936 di Pare-Pare Sulawesi Selatan. Ia merupakan putra ke-4 dari sembilan bersaudara, salah satunya meninggal ketika bayi, dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Raden Ayu Tuti Marini Puspowardoyo. Dia tumbuh dalam keluarga terdidik. Sang ayah dari keluarga terpandang di Gorontalo, yang menjalani pendidikan Landbouw Hogeschool di Bogor (sekarang IPB). Ibundanya adalah putri seorang dokter di Yogyakarta, yang lulus dari sekolah elit HBS (Hogere Burger School) di Batavia (Jakarta).
Keduanya bertemu di Jakarta. Setelah menikah, Alwi Habibie memboyong istrinya ke Pare-Pare 1930, di mana dia ditempatkan sebagai pejabat pertanian. Pascakemerdekaan, keluarga ini boyong ke Kota Makassar. Namun, Alwi Habibie meninggal dalam usia masih muda di Makassar 1950 karena serangan jantung. Keluarga inipun kemudian boyong ke Bandung.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1568801489_Kri_martadibata_korvet_stealth.jpg" style="height:460px; width:640px" />
KRI Raden Eddy Martadinata. Foto: Militer
Karena prestasi akademisnya menonjol, ibunya berniat mengirim Rudy, begitu BJ Habibie dipanggil oleh keluarganya, ke HBS yang saat itu masih ada di Bandung. HBS adalah sekolah menengah 5 tahun berstandar Eropa. Namun, Habibie memilih masuk ke SMP Negeri lantas ke SMA Kristen Dago, lulus 1954. Sempat setahun kuliah di Teknik Mesin ITB, dia memilih pindah ke Universitas Teknologi Rhein Westfalen Aachen Jerman, karena ia bisa langsung belajar ilmu aeronautika. Cita-citanya sejak dahulu memang menjadi ahli pesawat terbang.
Pada 1960 BJ Habibie meraih gelar diplom ingenieur pada 1960 dan gelar doktor ingenieur ( Dr. Ing.) pada 1965 dengan predikat summa cum laude. Ketika masih menempuh pendidikan S-3 itu, BJ Habibie menikahi dr Hasri Ainun di Bandung 1962. Dengan modal S—3, ditambah keahliannya dalam menangani problem cracking (retakan) pada struktur pesawat terbang, BJ Habibie meniti karir dengan cepat di industri aeronautika Jerman. Ketika ia mulai berpikir untuk pulang ke Indonesia (1974), ia telah menduduki jabatan Direktur Teknik di Messerschmitt-Bölkow-Blohm ((MBB), industri aeronautika dari Hamburg.
Adalah Dirut Pertamina Ibnu Sutowo yang menemukan anak hilang, Habibie. Ia kemudian dibawa ke Presiden Soeharto. Rupanya, Presiden Soeharto sudah mengenal Keluarga Habibie. Tahun 1959, Letkol Soeharto ditugaskan ke Makassar bersama pasukannya. Saat itulah, Pak Harto sering bertamu ke rumah keluarga Habibie dan mengenal Rudy. Bahkan, kakak tertua Habibie, menikah dengan Kapten Soebono, anak buah Letkol Soeharto.
Rupanya, Presiden Soeharto juga tertarik dengan ide-ide Rudy tentang jalan teknologi untuk kemajuan bangsa. Sejak 1974, Rudy ulang-alik Jakarta-Hamburg untuk mengurus rencana besarnya, membangun BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan merevitalisasi IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio) di Bandung. PT Pindad di Bandung dan PT PAL di Surabaya mendapat sentuhan Habibie pada beberapa tahun berikutnya.
Maka, di pertengahan 1970-an BPPT hadir untuk mengembangkan teknologi tinggi. IPTN pun berbenah mejadi Industri Pesawat Terbang Nusantara. Tanpa membuang waktu, Habibie pun bergegas mencari mitra untuk IPTN, dan kemudian CASA dari Spanyol, MBB dari Jerman dan Puma dari Prancis. Skemanya pun disiapkan. Tahap satu merakit dan menyumbang sebagian komponen, tahap kedua bersama-sama merancang dan memproduksi, dan tahap ketiganya merancang dan memproduksi sendiri.
Dari tahap pertama ini muncul CASA 212 rakitan Bandung. CASA 212 Aviocar untuk versi sipil dan CASA 212-A untuk militer. Rupanya, pesawat ini cocok bagi alam Indonesia yang berpulau-pulau. Pesawat ini bisa take-off dan landing di landasan yang pendek. Daya jelajahnya bisa sampai 1.400 km. Pesawat IPTN ini lantas dioperasikan untuk penerbangan perintis ke pelosok-pelosok, dan digunakan sebagai pesawat patroli dan transport militer.
Hingga kini CASA 212 masih diproduksi oleh PT Dirgantara Indonesia (DI), nama baru IPTN setelah 2001. Bahkan, sejak 2008 CASA memindahkan line produksinya ke Bandung sehingga nama Casa-nya tergeser menjadi NS (dari kata Nusantara-Casa) 212. Populasinya di Indonesia kini lebih dari 100 unit.
Tahap kedua dimulai dengan produksi CN-235 di mana ahli BPPT dan IPTN ikut merancangnya. CN-235 mulai mengangkasa 1984. Pesawat ini bisa diandalkan di berbagai medan dan cuaca, serta cocok untuk keperluan sipil maupun militer. Korea Selatan mengoperasikan 20 unit, Thailand 10 unit, dan beberapa lainnya di Malaysia. CN-235 seperti Hercules C-130 dalam versi kecil. Dengan pengembangan desainnya, produk CN-235 di era milenium 2000an tampak lebih gagah, slim, dan aerodinamis.
Rudy Habibie telah menyiapkan kado khusus untuk ulang tahun RI ke-50 tahun 1995 dengan prototipe N-250 (turboprop) yang sepenuhnya dirancang IPTN. Berbeda dari CN-235 yang dirancang serba guna, dengan rampdoor di belakang untuk mengakomodasi keperluan militer, N-250 dirancang khusus sipil. Interior cantik, eksteriornya lebih ramping, aerodinamis, dan gagah.
Badai ekonomi 1997-1998 menggagalkanproyek N-250 dan N-130 (pesawat jet untuk 130 penumpang) itu. Kini, PT DI harus mulai dari awal lagi dengan rancangan N-219, pesawat sipil turboprop 19 seat yang akan diluncurkan 2020. Mewarisi track yang dirintis Profesor Habibie, PT DI pun terus merakit berbagai jenis helikopter, memasok komponennya dan mengirim komponen untuk famili Boeing 737 dan 767, Airbus 320, 330, 340, dan Sukhoi Superjet 100.
Sentuhan Habibie juga telah membuat PT PAL Surabaya, PT Pindad, PT INKA, mengukir reputasi tinggi. Dengan PT Pindad, Indonesia boleh mengklaim bisa berswasembada untuk persenjataan infanterinya. Senapan SS-1 dan SS-2 diakuti keandalannya, dengan segala variasinya termasuk senapan runduk yang bisa membidik sasaran sampai 1.500 meter. Ada pula produk, senapan mesin, meriam, mortir, dengan amunisinya, serta roket. PT Pindad juga memproduksi tank sampai kelas medium 30 ton dan kendaraan taktis (rantis) militer.
PT PAL juga bergerak maju. Praktis keperluan akan kapal-kapal tanki kecil-sedang, kontainer, perintis, dan sebagian kapal Ro-Ro diproduksi di Surabaya. Galangan PT PAL juga memproduksi kapan patroli, kapal pendarat, kapal perang kelas Korvet, bahkan kapal selam. Sebagian diekpor ke negeri tetangga seperti Malaysia dan Filipina. Bukan itu saja, PT Inka di Madiun juga memproduksi lokomotif dan kabin untuk berbagai kereta api, termasuk Kereta Listrik yang melayani jalur Bandara Soekarno-Hatta ke Stasiun Manggarai Jakarta.
Untuk membuat industri strategis itu menjadi kekuatan ekonomi memang memerlukan waktu dan kebijakan afirmatif jangka panjang – hal yang belum pernah betul-betul dinikmati industri strategis nasional itu. Namun, komunitas industri yang telah dibangun itu setidaknya bisa melahirkan Habibie-Habibie baru, yang bukan hanya ahli di bidang teknologi, tapi juga bisa menjadi teknokrat.
Langkah Habibie perlu dilanjutkan. Sampai saat ini ekspor Indonesia masih tergantung ke komoditas yang berbasis sumber daya alam. Kehadiran ekonomi digital tak menafikan bahwa ekonomi berbasis teknologi tetap menjadi potensi daya saing nasional. Indonesia tetap harus bergerak menjadi negara produsen bukan sekadar pedagang. (P-1)