Di sebuah kesempatan rapat terbatas bersama menteri-menterinya, Presiden Joko Widodo mengeluhkan situasi di mana sebanyak 33 perusahaan yang merelokasi pabriknya dari Cina ke Asia Tenggara, tidak satupun yang mampir ke Indonesia.
"23 memilih di Vietnam, 10 lainnya perginya ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Enggak ada yang ke kita. Tolong ini digarisbawahi," kata Jokowi, saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden awal September 2019.
Perang dagang antara Amerika dan Cina mengakibatkan sejumlah industri di Cina melakukan relokasi pabriknya, dari daratan Cina ke kawasan Asia Tenggara. Hal itu karena mereka tidak mau terkena dampak kenaikan tarif akibat perang ini. Masalahnya, dari puluhan pabrik yang keluar dari Cina tersebut, tak satupun yang pindah ke Indonesia.
Bukan hanya Cina, nyatanya perusahaan Jepang dan Korea pun enggan melirik Indonesia. Tampaknya, mereka lebih nyaman berinvestasi di Vietnam, Thailand, Kamboja, atau Malaysia.
Sebut saja produsen produk elektronik Foxconn yang memilih merelokasi industrinya ke Vietnam. Tak hanya itu, Vietnam juga dilirik oleh perusahaan padat karya seperti Xcel Brands dan Man Wah Holding. Sementara itu, perusahaan teknologi yang padat modal, seperti Dell, memilih pindah ke Taiwan.
Sebenarnya apa penyebab perusahaan tersebut enggan merelokasi bisnisnya ke Indonesia?
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai, hal itu terjadi karena memang masih ada sejumlah hambatan yang perlu ditangani RI.
Perbaikan perizinan dengan sistem Online Single Submission (OSS) hingga pemberian berbagai insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance belum cukup. Pemerintah, perlu kembali menyederhanakan prosedur saat investasi, seperti masalah pembebasan lahan dan perizinan lainnya.
Selain kedua kendala itu, juga ada faktor lain yang menghambat. Seperti, kebijakan pemerintah yang inkonsisten, tidak ada koordinasi pusat dan daerah, serta masalah pengupahan dan perburuhan.
Jokowi dalam rapat terbatas awal September itu juga mengatakan pemerintah perlu cermat mengatasi permasalahan ini. Menurut dia, salah satu alasan Vietnam menjadi tujuan utama investor asing tak lepas dari model regulasi yang lebih ringkas.
"Kalau mau pindah ke Vietnam hanya butuh waktu 2 bulan rampung. Di kita bisa bertahun-tahun. Penyebabnya hanya itu," tegas Jokowi.
Oleh karena itu, Jokowi menginstruksikan jajarannya yang berkaitan dengan ekonomi mulai menginventarisir regulasi-regulasi yang menghambat. Jokowi meminta para menteri/kepala lembaga memberi pelayanan terbaik kepada investor.
Sementara itu, Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal (BKPM) Farah Ratnadewi Indriani mengatakan, banyak faktor negara-negara lain lebih menarik sebagai tujuan investasi Cina. Farah memandang kecenderungan investor asing dalam merelokasi usahanya, pertama, karena melihat ketersediaan lahan yang tidak tumpang tindih dan mudah didapat.
Kedua, keterbukaan sebuah negara dalam menerima bidang usaha seluas-luasnya. Keunggulan komparatif maupun kompetitif masih menjadi prasyarat suatu negara menjadi salah satu destinasi negara tujuan investasi yang menarik.
Data BKPM menunjukkan, tren pertumbuhan investor Cina dalam tiga tahun terakhir terbilang flukluatif. Pada 2016, investasi Cina mencapai USD2,7 miliar. Selanjutnya di 2017 naik menjadi USD3,4 miliar. Pada 2018 turun dengan perolehan nilai investasi senilai USD2,4 miliar.
Sementara itu, sepanjang semester I-2019 investasi negeri Panda mencapai USD2,3 milar. Sebenarnya Cina selalu masuk dalam sepuluh besar dari investasi Penanaman Modal Asing (PMA).
Pada paruh tahun ini peringkat investasi sektoral pertama berasal dari sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi sebanyak 17,2% atau Rp34,5 triliun. Kedua, sektor listrik, gas, dan air dengan sumbangasih 11,8% atau Rp23,7 triliun.
Sedangkan ketiga, sektor industri makanan yang menyumbang 8,6% atau setara Rp17,2 triliun. Keempat, sektor tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan sebanyak 8,4% atau sekitar Rp16,9 triliun. Kelima, sektor pertambangan dengan kontribusi 7,5% atau sebanyak Rp15,1 triliun.
Sementara itu realisasi investasi sepanjang 2018 hanya Rp721,3 triliun. Atau naik 4,1 persen dari 2017 yang sebesar Rp692,8 triliun. Secara persentase, realisasi itu jelas menurun kalau dibandingkan dengan 2017, yang pertumbuhannya masih bisa mencapai dua digit, yakni 13,1 persen dari posisi 2016 sebesar Rp612,8 triliun.
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tumbuh 25,3 persen dari Rp262,3 triliun menjadi Rp324,8 triliun. Sementara itu, Penanaman Modal Asing (PMA) jeblok 8 persen dari Rp430,5 triliun ke Rp392,7 triliun.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM Farah Ratnadewi Indriani pun masih optimistis investasi dapat bergairah sampai akhir tahun 2019. Adapun target realisasi investasi PMA di tahun ini mencapai Rp483,7 triliun.
Sekarang pemerintah mulai berbenah. Dalam rangka mendukung peningkatan daya saing dan investasi, pemerintah memberikan insentif perpajakan melalui beberapa instrumen. Antara lain meliputi perluasan tax holiday, perubahan tax allowance, insentif investment allowance, insentif superdeduction untuk pengembangan kegiatan vokasi dan litbang serta industri padat karya.
Namun sejatinya, tren investasi mulai beralih. Cina tampaknya lebih memilih investasi padat modal ketimbang padat karya. Untuk mendukung iklim investasi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memilih akan merevisi 72 undang-undang (UU) yang menghambat investasi. Nantinya revisi tersebut akan tertuang dalam omnibus law yang dimandatkan Presiden Joko Widodo.
Melalui omnibus law, pemerintah akan mempertegas ketentuan mengenai otonomi daerah agar arahan presiden terkait perizinan dapat segera dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Sebab, selama ini investasi cenderung terhambat karena pemerintah daerah tidak segera merespons ketentuan yang ada di pusat terkait dengan perizinan.
Melalui Omnibus Law juga, proses penerbitan izin seperti IMB akan diatur menggunakan standardisasi spesifik dan rigid dari kementerian dan lembaga terkait. Kementerian dan lembaga perlu memperbarui NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria), sehingga dia benar-benar bisa dilaksanakan secara operasional oleh pemda.
Namun begitu ketertarikan untuk berinvestasi bukan hanya dari regulasi hukumnya. Melainkan juga, biaya logistik di negara tersebut. Biaya logistik yang tinggi juga menjadi satu hambatan kenapa investor.
Konon biaya logistik di negara tetangga, seperti Vietnam, nilainya jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia. Dengan demikian beban operasional perusahaan juga semakin murah. (E-2)