Soklate Jogja, Soklat Inyong, Cokelat Monggo, atau Chocodot. Itu adalah sejumlah brand coklat bercita rasa nusantara. Merek-merek coklat lokal itu sudah tidak kalah dengan coklat asal Denmark, negara penghasil coklat.
Bisa dikatakan, hampir setiap negara di Eropa dikenal sebagai penghasil produk cokelat terbaik. Padahal tidak semua negara di Benua Biru itu dapat membudidayakan bahan dasar cokelat. Justru sebagian besar mengimpor dari Asia.
Memang untuk membuat produk jadi cokelat dibutuhkan bahan dasar berupa kakao. Dan, tumbuhan satu ini sangat mudah ditemui di negara tropis seperti Indonesia. Hal ini membuat negeri ini sebenarnya sangat potensial untuk produksi cokelat berkualitas.
Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), Indonesia kini menduduki peringkat ke-6 produsen biji kakao terbesar dunia pada 2018 dengan volume produksi mencapai 220.000 ton. Padahal tahun sebelumnya, negara ini masih menempati posisi ke-3 dengan produksi 260.000 ton.
Persoalannya, produktivitas dan kualitas biji kakao Indonesia, salah satu dari 16 komoditas hasil perkebunan unggulan, mutunya dinilai masih rendah terutama diakibatkan bijinya kering tanpa fermentasi, selain masih perlunya perluasan lahan perkebunan komoditas tersebut.
Luas perkebunan kakao di Indonesia diperkirakan mencapai 1,5 juta hektare yang tersebar di Sulawesi, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Papua, dan Kalimantan Timur. Dari sebaran perkebunan kakao itu, sekitar 75% produksi kakao negara ini berada di Sulawesi.
Satu hasil riset dari Kementerian Pertanian pun sudah mencari jalan keluar untuk meningkatkan produk biji kakao Indonesia. Upaya untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan dengan menanam varietas unggul.
Persoalannya, untuk dapat menghasilkan varietas unggul kakao secara konvensional memerlukan waktu yang lama, sekitar 25-30 tahun. Karena itu upaya percepatan proses pemuliaan terus dilakukan, dan salah satu peluang ke arah itu melalui penggunaan marka molekuler, sebuah perbaikan genetika melalui pemuliaan tanaman.
Dalam konteks peningkatan kualitas biji kakao, Kementerian Pertanian sudah memulainya sejak 2017 dan diarahkan pada upaya penciptaan varietas unggul dengan produktivitas tinggi, tahan terhadap hama PBK dan penyakit VSD serta BBK.
Kualitas Ditingkatkan
Bila kualitas kakao bisa ditingkatkan sekaligus juga dengan perluasan perkebunan kakao menjadi 2 juta hektare, misalnya, Indonesia akan berpeluang menjadi produsen terbesar biji kakao dunia yang kini masih diduduki oleh Pantai Gading dan Ghana.
Tidak itu saja, konsistensi petani untuk menanam kakao juga perlu terus didorong. Persoalannya, kebanyakan petani kakao adalah petani golongan ekonomi lemah. Artinya mereka sangat terkendala secara finansial sehingga mudah beralih menanamnya, termasuk beralih menanam kelapa sawit.
Terlepas dari semua itu, Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi produsen kakao terbesar dunia, apalagi jenis tanaman ini sangat cocok dengan iklim negara ini yang tropis. Bila ini semua terwujud, mimpi untuk masuk ke industri pengolahan kakao bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Soal kendala produksi biji kakao juga sudah dikeluhkan Menperin Airlangga Hartato. “Indonesia sempat menjadi produsen ke 3 terbesar dunia. Namun beberapa tahun terakhir ini, produksi biji kakao terus turun.
Pernyataan Airlangga sangat relevan. Pasalnya, kementerian itu kini terus mendorong tumbuhnya industri pengolahan berbasis kakao sebagai bagian produk Making Indonesia 4.0 menempatkan sektor makanan dan minuman sebagai satu program prioritas. Itu sangat jelas dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035.
Bahkan, industri pengolahan kakao dinilai memiliki peranan penting dalam peningkatan perekonomian negara. Melalui proses pengolahan, biji kakao bisa menghasilkan bubuk cokelat/kakao, lemak cokelat/kakao, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao, kosmetik dan farmasi.
Dari biji kakao itu, kini sudah bisa menghasilkan pelbagai produk-produk. Pada tahun lalu saja, produk kakao yang diekspor sudah mencapai 328.329 ton atau sekitar 85% dari total produksi. Dan, menurut data Kemenperin, ekspor produk kakao sudah menyumbang devisa hingga USD1,13 miliar.
Tak dipungkiri, seiring dengan semakin berkurangnya produksi biji kakao selain kualitasnya kurang, pasokan bahan baku untuk industri pengolahan kakao menjadi terbatas. Impor adalah salah satu solusi untuk mengatasi masalah bahan baku tersebut. Ini yang menjadi tantangan utama industri pengolahan kakao nasional.
Sebagai gambaran, saat ini ada sekitar 20 perusahaan yang bergerak di sektor pengolahan kakao dalam negeri dengan kapasitas produksi mencapai 747.000 ton per tahun. Namun, utilisasinya hanya mencapai 59%. Hal ini disebabkan menurunnya pasokan bahan baku biji kakao dalam negeri setiap tahunnya.
"Problemnya sekarang soal pasokan bahan baku," ujar Airlangga di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Sembari terus memperbaiki dan mendorong petani untuk meningkatkan produksi biji kakao, tambah Menperin Airlangga Hartarto, pemerintah juga terus memperkuat industri pengolahan kakao. Salah satu kebijakan yang tengah digodok adalah usulan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 0%.
“Kami tengah mengusulkan adanya insentif fiskal. Kemenperin telah mengusulkan hal itu kepada Kementerian Keuangan. PPN ditarik, tidak dihapus, sehingga tarifnya 0%. Ini diharapkan bisa menghidupkan industri."
Saat ini, impor biji kakao di Indonesia dikenakan bea masuk 5%, PPN 10% dan PPh 2,5%. Dengan begitu, total beban pajak untuk industri sebesar 17,5%. Di sisi lain, produk kakao olahan asal Asia Tenggara yang masuk ke Indonesia dikenai bea masuk 0% sejak berlakunya Asean Free Trade Area (AFTA).
Kondisi ini tentu menjadi buah simalakama bagi pemerintah. Relaksasi fiskal memang harus dilakukan. Di tengah-tengah pelambatan ekonomi global, ini momentum pemerintah harus mengambil kebijakan yang strategis dan tepat, termasuk mendorong tumbuhnya industri pengolahan dalam negeri yang berdaya saing. (F-1)