Indonesia.go.id - Jika Resesi adalah Mendung, Biarkan Ia Menjadi Hujan

Jika Resesi adalah Mendung, Biarkan Ia Menjadi Hujan

  • Administrator
  • Kamis, 26 September 2019 | 03:53 WIB
EKONOMI
  Pasar tradisional, salah satu sektor yang tahan terhadap Resesi. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Seperti yang terjadi dalam hukum perkelahian di jalanan, pihak yang paling banyak bersuara biasanya adalah pihak yang paling tidak ingin terjadi perkelahian.

Istilah kelesuan atau pelambatan ekonomi global sudah cukup lama dirasakan oleh para pengambil kebijakan ekonomi dunia. Siapapun pemimpin negara, pada zaman informasi yang serba cepat ini tentu tahu bahwa tidak ada resep ekonomi yang paling jitu. Semuanya mempunyai imbas atau dampaknya sendiri-sendiri. Untuk memahaminya pun membutuhkan kemampuan baca yang lebih canggih. Belum untuk menemukan pemecahannya.

Pengambil kebijakan ekonomi di Indonesia tentu sangat paham bahwa situasi global sangat mempengaruhi kebijakan ekonomi yang akan ditempuh. Tetapi, pengambil kebijakan ekonomi juga tahu bahwa keadaan di luar pemberitaan media, sebenarnya tidak seramai celotehan Trump yang memang hanya ingin mendapat perhatian.

Tunduk oleh Babi

Sejatinya apa yang diberitakan sebagai perang dagang lebih banyak gertaknya ketimbang perkelahiannya. Seperti yang terjadi dalam hukum perkelahian di jalanan, pihak yang paling banyak bersuara biasanya adalah pihak yang paling tidak ingin terjadi perkelahian. Hukum ekonomi adalah hukum besi yang tidak akan mampu ditahan oleh gertakan proteksionisme dan konco-konconya.

Sebagai contoh adalah problem kebutuhan cadangan daging babi bagi ekonomi Cina. Sebagai negeri pengkonsumsi daging babi terbesar di dunia, Cina tentu memerlukan ketahanan stok babi yang cukup agar tidak terseret dengan kenaikan harga jika ada kelangkaan. Faktanya, merebaknya wabah demam babi dalam satu tahun terakhir, telah membuat pasokan daging babi ke Cina merosot.

Poltak Hotradero, peneliti Bursa Efek dan pegiat media sosial Twitter, telah memberikan petunjuk di lini masanya bahwa gertakan perang dagang ternyata harus tunduk dengan kelangkaan babi. Dalam cuitan bertanggal 17 September 2019 yang lalu dia menulis, "Uniknya, daging babi ini juga yang bisa membawa Cina dan Amerika kembali ke meja perundingan".

Sampai Agustus kemarin, dalam catatan Hotradero, harga daging babi di Cina sudah naik 46% dari posisi setahun sebelumnya. Padahal tidak lama lagi masyarakat Cina akan memperingati perayaan Pertengahan Musim Gugur. Artinya kebutuhan konsumsi daging babi akan meningkat pesat. Padahal Cina adalah konsumen babi terbesar di dunia. Separuh produksi babi di dunia habis di meja makan orang Cina.

Sejak merebaknya wabah demam babi Afrika, produksi turun karena banyak babi yang terindikasi infeksi harus dimusnahkan. Akibatnya pasokan babi menurun sementara permintaan tetap tinggi. Hotradero mencatat bahwa turunnya pasokan daging babi berjumlah sekitar 100 juta ekor. Karena kondisi ini, ekonom Cina memperkirakan harga daging babi bisa naik sampai 70%.

Sebagaimana diketahui, daging babi adalah komponen terbesar dalam penghitungan inflasi makanan di Cina. Hal ini tentu akan mengancam terjadinya inflasi secara keseluruhan. Hotradero mencatat bahwa inflasi di Cina pada Agustus lalu adalah kenaikan tertinggi dalam 20 bulan terakhir. Padahal kelangkaan babi, ditengarai oleh Hotradero adalah penyumbang sebesar 1% persen inflasi dari angka 2,8% yang terjadi.

Hukum babi inilah yang membuat Cina menunda pengenaan tarif atas impor daging babi dari Amerika. Hotradero mencatat bahwa Cina selama ini memerlukan sebanyak 88 ribu ton impor babi dari Amerika untuk mencukupi cadangan mereka. Dengan kelangkaan yang terjadi diperkirakan impor Cina akan meningkat tiga kali lipat dalam waktu dekat.

Melindungi Konsumsi Rakyat

Apa yang dilakukan oleh Cina dengan mempertahankan ketersediaan cadangan daging babi mereka adalah bagian dari strategi untuk melindungi bagian terbesar penggerak ekonomi mereka, yakni konsumsi rakyat. Data dari IHS Markit, menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi dalam negeri Cina tumbuh sebesar 8,3%. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang hanya tumbuh 2,2%, Inggris 1,8,%, atau Jerman 0,9%.

Melindungi penggerak terbesar ekonomi adalah strategi yang paling tepat menghadapi resesi. Mantan Menteri Keuangan, dan peneliti ekonomi Chatib Basri, dalam rekaman podcast yang diluncurkan oleh Cerita Kumparan, mengatakan bahwa yang harus dilakukan oleh pemerintah saat menghadapi resesi pada saat ini adalah melindungi pembelanja terbesar konsumsi dalam negeri. Dalam singkat, yang diperkirakan oleh Chatib Basri sekitar 6 (bulan) jika resesi telah terjadi, pemerintah harus mampu mendorong daya beli rakyat banyak.

Rakyat banyak yang dimaksud Chatib Basri tentu saja adalah rakyat menengah ke bawah. Walau pahit tetapi harus diakui bahwa penyelamat ekonomi Indonesia di masa depan adalah belanja rakyat miskin. Program-program seperti Bantuan Langsung Tunai yang pernah dilakukan dalam pemerintahan sebelum ini adalah salah satu komponen yang sangat efektif untuk meningkatkan daya beli dalam waktu singkat. Dalam pemerintahan sekarang ini Program Keluarga Harapan, Kartu Pelajar, atau Bantuan Pangan Nontunai adalah berbagai kebijakan yang akan memberikan perlindungan jika terjadi resesi.

Tetapi, yang lebih penting lagi dari sekadar menjaga daya beli rakyat banyak adalah memberikan kesempatan kepada sektor-sektor ekonomi rakyat yang tahan resesi. Dalam penjelasan Chatib Basri, dia menerangkan tentang ekonomi sektor informal yang sangat besar jumlahnya tetapi sangat sulit untuk mengukurnya. Sektor informal itulah yang selama ini menopang keberlangsungan ekonomi Indonesia jika terjadi masa sulit.

Sebagai ekonom, Chatib Basri tentu ingin agar pemerintah mampu mendorong perekonomian rakyat yang kebanyakan sektor informal menjadi sektor industri. Bagaimana cara yang efektif untuk menerapkan kebijakan itu tentu menjadi persoalan bersama yang harus dipecahkan.

Otonomi Sektor Informal

Mengapa sektor informal di Indonesia menjadi kekuatan yang punya daya tahan tinggi terhadap krisis, sepertinya masih menjadi pertanyaan yang belum terpecahkan bagi sebagian ekonom. Dalam diskursus ekonomi politik salah satu yang mencoba menjawab pertanyaan itu adalah Karl Marx. Karl Marx mencatat fenomena masyarakat Asia yang berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat Eropa yang menjadi sasaran kritiknya.

Dalam buku Capital: A Critique of Policial Economy, Volume 3, Marx mengamati India sebagai contoh struktur masyarakat yang kuat bertahan menghadapi berbagai badai yang terjadi dalam berbagai pergantian rejim politiknya. Marx menyebutnya sebagai Asiatic Mode of Production. Mode produksi khas Asia yang berbeda dibandingkan dengan mode-mode produksi masyarakat Eropa yang mengalami revolusi Industri.

Marx melihat bahwa dalam sejarah India yang panjang dan diiringi dengan pergantian rezim yang silih berganti baik melalui invasi maupun penaklukan, tidak mampu mengubah struktur dasar masyarakat Asia yang relatif otonom. Salah satu ciri yang digeneralisir oleh para penafsir Marx kemudian adalah Mode Produksi Asia, seperti dijelaskan oleh Encyclopedia.com, adalah cara produksi masyarakat yang dicirikan oleh tidak efektifnya kepemilikan pribadi atas lahan, otonomi komunitas di pedesaan, dan organisasi kekuasaan negara yang terpusat.  Beberapa ciri tersebut relatif berkesuaian dengan apa yang terjadi dalam sejarah masyarakat Indonesia.

Salah satu yang membuat struktur masyarakat India bertahan hingga saat Marx meneliti mereka adalah kemampuan alat tenun bukan mesin, kumparan pemintal, dan organisasi-organisasi agama atau komunitas tradisional mereka. Ketiganya mampu menyatukan masyarakat yang berproduksi petani dengan masyarakat penghasil komoditi manufaktur sederhana.

Sedikit berbeda dengan India, masyarakat Indonesia, atau masyarakat yang umumnya menghuni wilayah kepulauan Nusantara memang tidak mempunyai keunggulan dalam teknologi sederhana seperti alat tenun bukan mesin yang hanya berkembang di beberapa wilayah saja. Tetapi beberapa hal seperti sistem kerajaan atau negara kesatuan yang menyelenggarakan pelayanan publik masih bertahan hingga saat ini. Relatif otonomnya komunitas-komunitas di pelosok pedesaan maupun pinggiran kota yang jauh dari pusat kekuasaan sangat didukung oleh melimpahnya kekayaan budaya dan sebagian besar di antaranya oleh keramahan iklim tropis dan kesuburan tanahnya.

Sebagai contoh dalam beberapa tahun terakhir, industri hiburan popular kolaps. Dia tidak menurun tetapi anjlok. Tetapi tobong-tobong, sebagai basis industri pertunjukan rakyat masih bertahan hingga kini. Pertunjukan rakyat mencapai puncak kelarisannya pada jaman orang sudah tidak mau membeli produk-produk rekaman tetapi mau menonton pertunjukan jika diadakan di tempat terdekat. Seniman tradisional Indonesia pada saat ini memilki jam terbang yang mungkin tidak pernah dialami di masa-masa sebelumnya. Akibat ikutan lain adalah kemajuan teknologi berbagi video maupun siaran langsung mandiri turut menjadi perekat tumbuhnya ketahanan ekonomi 'informal' yang tidak tersentuh oleh perlambatan ekonomi global. Akhir kata, jika resesi akibat perang dagang diibaratkan sebagai awan, biarkanlah ia menjadi hujan, karena negeri ini siap untuk menyerap dan menampungnya. (Y-1)