Di Asia Pasifik sekitar 43% tenaga kerja terserap di industri kreatif. Sedangkan di negara-negara Eropa hanya 26% saja tenaga kerjanya ada di sektor ini. Jika industri kreatif lahir sebagai anak kandung revolusi telekomunikasi dan informasi plus kreativitas manusia, sesungguhnya wilayah Asia Pasifik dapat dikatakan sebagai pusat kreativitas ekonomi dunia.
Korea Selatan, salah satunya. Setelah krisis ekonomi pada 1998, negeri Ginseng ini memfokuskan pengembangan industrinya pada dua sektor, yakni teknologi informasi dan ekonomi kreatif. Hasilnya, kita bisa lihat sekarang. Serbuan K-Pop masuk ke semua negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri tenaga kerja yang terserap ke sektor ekonomi kreatif baru sekitar 10% dari total angkatan kerja. Angka ini sebetulnya terus bertumbuh seiring dengan bertumbuhnya besaran industri. Pada 2019, misalnya, proyeksi angkatan kerja yang terserap di industri kreatif diperkirakan mencapai 19 juta orang. Angka ini lebih dari 15% jumlah angkatan kerja kita nantinya.
Dengan pola pengembangan industri berbasis pada sumber daya manusia, menandakan ekonomi sebuah negara yang industri kreatifnya tumbuh maksimal akan lebih kokoh dibanding dengan negara yang masih mengandalkan komoditas atau pertambangan. Sebab sumber utama industri kreatif adalah kualitas manusianya.
Pada 2016 kontribusi ekonomi kreatif pada PDB mencapai Rp851 triliun. Ketua badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf memprediksi, pada tahun ini kontribusinya sudah di atas Rp1000 triliun. Tentus aja angka tersebut merupakan jumlah yang sangat berarti pada ekonomi Indonesia.
Sedangkan khusus ekspor pada 2014 itu tumbuh dari 18,2 miliar USD menjadi 19,4 miliar USD dengan kontribusi terbesar dari sektor fesyen dan kriya mendominasi ekspor kita. Pemerintah berharap subsektor lain akan mampu meningkatkan kemampuan ekspor.
Sebagai contoh, Indonesia memiliki jenis kopi yang amat beragam. Namun demikian, gerai-gerai kopi besar yang ada di Indonesia kebanyakan brand asing. Padahal jika potensi komoditas kopi dapat dikemas sedemikian rupa kita dapat melakukan ekspansi lebih serius dibanding negara lain. Potensi dasarnya berupa komoditas kopi kita sangat berlimpah.
Di sisi lain, pasar lokal juga sangat menjanjikan. Dari dunia film, misalnya, kini makin banyak film-film Indonesia yang jumlah penontonnya menembus angka dua juta. Kreativitas para pembuat film nasional juga sudah mulai dilirik para pengusaha film kelas dunia.
Film Wiro Sableng 212, misalnya, kali ini merupakan kolaborasi pembuat film lokal dengan salah satu raksasa Hollywood, Fox Internasional. Langkah seperti ini bisa dijadikan model star-up dalam negeri yang berhasil menarik investor besar untuk mengembangkan produknya.