Pendalaman struktur industri farmasi di dalam negeri terus didorong melalui peningkatan investasi. Upaya ini, selain untuk menumbuhkan sektor strategis tersebut, juga diharapkan dapat memangkas defisit neraca perdagangan dan memacu ekspor.
Sektor farmasi diakui memang masih menjadi salah satu industri yang masih tercatat tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi 5,07%, atau sektor itu tumbuh 8,12% selama kuartal I 2019.
Bahkan, industri ini juga dinilai memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan nonmigas sebesar 3,24%. Pertumbuhan industri farmasi, salah satunya dipengaruhi oleh adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan nilai pasar yang besar.
Memang, neraca ekspor-impor industri farmasi masih menunjukkan defisit. Namun, tren nilai ekspor produk farmasi terus meningkat. Ekspor pada 2018 bisa menembus USD1,14 miliar atau meningkat dibandingkan di 2017 yang mencapai USD1,10 miliar.
Selain untuk mengisi pasar ekspor, industri farmasi dalam negeri juga mampu memenuhi 75% kebutuhan obat untuk pasar domestik. Bahkan, disebut-sebut nilai pasar produk farmasi Indonesia mencapai USD4,7 miliar. Nilai sebesar itu setara dengan 27% dari total pasar farmasi di Asean. Sesuatu yang wajar dengan jumlah penduduk yang dimiliki Indonesia.
Pasar dalam negeri yang cukup menjanjikan, didukung jumlah populasi penduduk yang besar selain adanya program JKN dengan dukungan dari BPJS, tentu menjadi pasar yang menggiurkan bagi pelaku usaha di sektor tersebut.
Persoalannya, industri farmasi nasional masih kedodoran di sektor hulu. Artinya, produsen bahan baku perlu terus dikembangkan karena nilai tambah produk farmasi akan meningkat jika sektor hulu dan hilir terintegrasi. Selain itu, pengembangan sektor hulu juga bisa menjadi substitusi impor bahan baku sehingga dapat menekan defisit neraca dagang di sektor industri farmasi.
Sebagai gambaran, Kementerian Kesehatan memproyeksikan pemenuhan bahan baku dalam negeri oleh industri farmasi meningkat hingga 21% pada 2021 seiring penguatan di hulu sektor tersebut.
Menurut Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene, sejauh ini sudah ada 13 produsen bahan baku atau di hulu industri farmasi. Menurutnya, kapasitas produksi produsen itu pun bisa terus meningkat.
"Kami sudah hitung dengan industri itu, pada 2021 ketergantungan terhadap impor bahan baku bisa turun," ujarnya di sela-sela Forum Riset Life Science Nasional (FRLN) 2019 yang diselenggarakan PT Bio Farma (Persero), Kamis (26/9/2019).
Kembangkan Bahan Baku
Menurutnya, saat ini BUMN di bidang farmasi, PT Bio Farma (Persero), pun terus mengembangkan bahan baku bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Pernyataan Engko itu diamini oleh Direktur Operasi PT Bio Farma (Persero) M Rahman Roestan.
“Mayoritas bahan baku farmasi masih bersumber dari produk impor. Porsinya masih sampai 95%," ujarnya.
Namun, Rahman optimistis sumber daya alam di Indonesia sangat berlimpah dan dapat dimanfaatkan untuk pengolahan bahan baku. Dia menyatakan lebih dari 10% spesies tanaman di dunia ada di Indonesia. Bahkan 15% biota laut dunia pun dapat ditemukan di Indonesia. "Indonesia sangat kaya dengan bio diversity," ujarnya
Dari gambaran itu, Engko menjelaskan sejumlah bahan baku impor bisa disubtitusi dengan pasokan dalam negeri. Dengan kapasitas yang sudah tersedia sejauh ini, dia memperkirakan pada dua tahun ke depan 21% bahan baku farmasi sudah bisa dipenuhi oleh produsen lokal.
Pernyataan Engko itu memunculkan optimistis bagi industri farmasi. Senada itu, Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, industri hulu dan melakukan substitusi impor bahan baku farmasi tetap butuh investasi besar.
“Dalam rangka itu, pemerintah memberikan dukungan fiskal terhadap pertumbuhan industri farmasi melalui tax allowance, tax holiday, serta super deductible tax yang diberikan bagi industri yang terlibat dalam program vokasi dan inovasi melalui research and development (R&D)," paparnya.
Oleh karena itu, sebagai sektor andalan masa depan, industri farmasi terus didorong daya saingnya melalui berbagai kemudahan dan insentif berupa pengurangan pajak maupun bea masuk yang ditanggung pemerintah serta bentuk insentif lainnya.
Tidak hanya itu saja, dalam era industri 4.0, Kemenperin juga mendorong industri kimia bertransformasi pada pemanfaatan teknologi digital, sehingga akan mampu menciptakan nilai tambah baru pada hasil produknya.
Pada era revolusi industri 4.0, ditandai dengan digitalisasi dalam proses produksi, seperti penggunaan Big Data, Artificial Intelligent (AI), dan Internet of Things (IoT) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing terutama dalam optimasi dan efisiensi proses produksi.
Sigit menilai pemanfaatan teknologi dan kecerdasan digital mulai dari proses produksi dan distribusi akan memberikan peluang baru serta meningkatkan daya saing industri farmasi, dan diharapkan dapat mendorong industri farmasi untuk mengembangkan pasar ekspor.
“Produk farmasi Indonesia sangat berpeluang untuk mengisi pasar baru, khususnya pasar ekspor non-tradisional seperti Amerika Latin, Eropa Timur, Rusia hingga Afrika,” tuturnya.
Hingga kini, industri farmasi di dalam negeri terdapat 206 perusahaan, yang didominasi oleh 178 perusahaan swasta nasional, kemudian 24 perusahaan Multi National Company (MNC), dan empat perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Memang harus diakui, industri farmasi nasional merupakan industri padat modal atau capital intensive. Dalam rangka itu, dukungan pemerintah terutama dari sisi instrument fiskal untuk mendorong investasi yang terus menerus sangat diperlukan.
Tidak itu saja, pelaku industri farmasi dalam negeri juga tidak boleh berpuas diri dengan pasar dalam negeri yang memang sudah empuk. Mereka tetap perlu melakukan peningkatan kualitas dan daya saingnya di pasar health care international. (F-1)