Indonesia baru saja memperingati dirgahayu ke-74 TNI (Tentara Nasional Indonesia). Karena sejarah kelahiran TNI secara simultan mengikuti lahirnya Republik, maka selama 74 tahun pula TNI tercatat telah bertugas melindungi bangsa dan negara Indonesia. Sudah tentu sepanjang usia Republik ini, telah banyak asam garam tertoreh.
Pelajaran terpenting ialah pasca-Orde Baru. Seperti diketahui, salah satu agenda utama Reformasi 1998 adalah menolak Dwifungsi TNI. Rakyat menghendaki TNI tidak turut ambil bagian dalam politik dan bisnis serta fokus membangun profesionalisme sebagai etos kelembagaan militer. Momentum reformasi datang dengan semangat mereformasi tubuh TNI. Dari titik sejarah ini dapat disimak, bagaimana TNI berbesar hati meninggalkan doktrin Dwifungsi TNI.
Sekalipun reformasi kelembagaan dan reposisi peran TNI nisbi masih menyisakan problem struktural, salah satunya ialah surplus jumlah panglima tinggi dan kolonel, bicara konsistensi TNI membangun profesionalisme militer dan menjauhi politik praktis di sepanjang hampir dua dasawarsa pasca-Orde Baru, toh masih teruji dengan baik.
Politik TNI adalah politik negara. Bagaimanapun, TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan, yang dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara. Demikianlah bunyi klausul Pasal 2 Poin (d) Undang-undang 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia perihal jati diri TNI, yang redaksionalnya secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.”
Namun bicara soal jati diri TNI tentu bukan sebatas profesionalisme. Merujuk Pasal 2 Poin (a) hingga (c) UU TNI, setidaknya terdapat tiga karakteristik jati diri TNI lainnya: Pertama, Tentara Rakyat. Kedua, Tentara Pejuang. Dan ketiga, Tentara Nasional.
Presiden Joko Widodo dalam peringatan HUT ke-70 TNI pada 5 Oktober 2015 memaparkan soal pentingnya jati diri TNI. Setelah mengingatkan analogi ikan dan air sebagai gambaran tentang hubungan antara TNI dan rakyat sebagaimana ungkapan Panglima Besar Jendral Soedirman, Presiden Jokowi melanjutkan orasinya:
“Rakyatlah yang mengandung, merawat, dan membesarkan TNI. Untuk itu, TNI harus menegaskan jati diri sebagai tentara rakyat. Sebagai tentara rakyat, TNI tidak boleh melupakan rakyat. TNI tidak boleh menyakiti hati rakyat. TNI tidak boleh berjarak dengan rakyat serta harus selalu bersama-sama rakyat. Hanya dengan bersama-sama rakyat, TNI akan kuat dalam menjalankan tugas pengabdian pada bangsa dan negara. Hanya bersama-sama rakyat, TNI menjadi kekuatan militer yang hebat, kekuatan militer yang disegani serta kekuatan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia.”
Bukan hanya itu, TNI juga sekaligus tentara pejuang. Presiden Jokowi melanjutkan: “Sebagai tentara pejuang, TNI harus memiliki daya juang dan semangat pantang menyerah untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Dengan semangat juang, TNI harus mampu menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Jokowi pada kesempatan pidato pertamanya dalam HUT TNI itu selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara itu, tentu juga mengingatkan pentingnya identitas TNI sebagai tentara nasional.
“Sebagai Tentara Nasional, TNI tidak boleh tersekat-sekat dalam kotak suku, agama, dan golongan. TNI adalah satu, yakni Tentara Nasional, yang bisa berdiri tegak di atas semua golongan, mengatasi kepentingan pribadi dan kelompok, yang mempersatukan ras, suku, dan agama dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Bersama-sama rakyat, TNI harus terus menjaga kebhinneka tunggal ikaan. Hanya dengan itu, Indonesia bisa menjadi bangsa majemuk yang kuat dan solid.”
Sudah tentu pada kesempatan itu, Presiden Jokowi tak lupa mengingatkan jati diri TNI sebagai tentara profesional.
“….kita perlu meningkatkan kapasitas pertahanan nasional melalui pembentukan TNI yang profesional. Sebagai Tentara Profesional, prajurit TNI harus benar-benar terdidik dan terlatih. Prajurit TNI harus terus menerus meningkatkan kemampuannya dengan melakukan latihan-latihan berkesinambungan.
Untuk membangun kekuatan pertahanan, kita harus bisa memenuhi kebutuhan alutsista secara terpadu di ketiga matra pertahanan. Saat ini hampir semua negara berlomba-lomba untuk memajukan teknologi pertahanannya. Kita juga melakukan upaya membangun postur pertahanan TNI yang makin kokoh, alutsista makin lengkap, dan makin modern. Modernisasi teknologi pertahanan memang diperlukan untuk terus menerus mengimbangi kemajuan zaman.”
Dua tahun kemudian, pada upacara HUT ke-72 TNI Presiden Jokowi kembali mengingatkan pesan Panglima Besar Jenderal Soedirman. “Pesan Jenderal Soedirman tentang jati diri TNI, yang saya yakin sangat relevan sampai sekarang. Politik TNI adalah politik negara. Loyalitas TNI adalah loyalitas negara,” ujar Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi juga mengingatkan prajurit TNI tak terlibat politik praktis. “TNI adalah milik nasional yang berada di atas semua golongan, yang tak terkotak-kotak dengan kepentingan politik yang sempit dan tak masuk ke kancah politik praktis,” kata Jokowi.
Presiden Jokowi pun tak lupa menyampaikan terima kasih atas komitmen, profesionalisme dan dedikasi TNI selama ini. "Saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas profesionalisme TNI yang terus meningkat, terima kasih atas komitmen seluruh jajaran TNI dalam memegang teguh Sumpah Prajurit, terima kasih atas dedikasi para prajurit dalam menjalankan tugas-tugas berat yang penuh risiko," ujarnya.
Pasca Orde Baru
Sejauh ini, bicara konsistensi TNI membangun profesionalisme militer dan loyalitasnya kepada pemerintahan demokrasi dan supremasi sipil, jelas memperlihatkan bahwa TNI senantiasa setia mengemban mandat rakyat yang tertuang dalam agenda Reformasi 1998.
Selama hampir dua dekade ini, konsistensi dan keberhasilan TNI menjaga marwah kelembagaannya secara profesional naga-naganya juga mulai berbuah positif. Paradigma “tentara politik” (political army), seiring berjalannya waktu dan pergantian angkatan, kini bisa dikata mulai memudar. Sebaliknya di sisi lain kini juga terlihat semakin kokohnya paradigma “profesionalisme tentara” sebagai tuntutan zaman.
Seperti diketahui, paradigma tentara politik berakar pada momen sejarah revolusi kemerdekaan. TNI lahir dari rahim revolusi kemerdekaan dan sekaligus anak kandung rakyat. Merujuk tulisan Salim Said (2001), Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak, dipaparkan bahwa tentara di Indonesia bukanlah dibentuk oleh pemerintah. Selain itu, Organisasi militer juga bukan dibentuk oleh partai politik. Boleh jadi tentara telah membentuk dirinya sendiri secara spontan, karena elite politik ketika itu masih ragu-ragu membentuk tentara pada momen hari-hari awal setelah proklamasi kemerdekaan.
Momen historis inilah, meminjam istilah Ikrar Nusa Bakti disebut sebagai “prinsip kelahiran” (the birth right principle) yang mewarnai kuat organisasi TNI. Keikutsertaan TNI mengawal kelahiran negara ini membawa implikasi TNI merasa berhak turut menentukan arah haluan negara hendak tertuju. Kesadaran sebagai tentara politik inilah membuat TNI merasa sebagai the guardian of state, baik di garda terdepan maupun di banteng terakhir mengawal negara.
Ya, lahirnya doktrin Dwifungsi TNI ialah buah renungan Jenderal Besar AH Nasution. Secara embrional, ide soal fungsi-fungsi TNI di luar bidang pertahanan tertuang dalam salah satu karyanya, Pokok-Pokok Gerilya (1953). Nasution menguraikan jati diri TNI, tentara selain berfungsi sebagai pemanggul senjata juga sekaligus sebagai pemanggul ideologi.
Jelas konsepsi rumusan Nasution perihal jati diri TNI adalah produk zaman perang. Jenderal bintang lima itu merumuskan “perang gerilya adalah perang rakyat semesta”. Untuk mencapai kemenangan dalam sebuah peperangan nisbi diperlukan dukungan rakyat, dan supaya beroleh dukungan rakyat maka seorang tentara bukan saja harus terampil berolah krida kemiliteran, tentara juga haruslah piawai melakukan seruan propaganda politik.
Namun fakta sejarah ternyata berbeda. Sekalipun berpijak dari elan nasionalisme TNI, yang notabene tak perlu diragukan lagi, ternyata konsepsi Dwifungsi TNI justru melahirkan pemerintahan yang otoriterianisme. Mudah diduga, kekuasaan yang terakumulasi secara eksesif bakal bermuara pada hal itu.
Kini pasca-Orde Baru, spirit zaman pun berubah drastis. Sebagai koreksinya, paradigma profesionalisme tentara hadir menggantikan paradigma tentara politik. Jelas perubahan paradigma ini bukan hanya merupakan konsekuensi logis dari perubahan zaman dan tatanan, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, melainkan lebih dari itu. Paradigma profesionalisme tentara justru merupakan keniscayaan akan tuntutan profesi militer itu sendiri di tengah era hiper modern saat ini, sebuah zaman yang ditandai oleh banyak kemajuan teknologi secara eksponensial.
Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dalam HUT ke-74 TNI kembali menegaskan komitmennya untuk meningkatkan profesionalisme TNI. Terkait surplus perwira tinggi juga sudah dicarikan jalan keluarnya.
“Pemerintah terus berkomitmen untuk meningkatkan profesionalisme TNI. Pemerintah telah menambahkan 60 jabatan perwira tinggi baru untuk mengoptimalkan peran prajurit. Pemerintah juga terus menambah jumlah alat utama sistem pertahanan (alutsista) untuk memenuhi target Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essensial Forces) tahap II,” ujar Jokowi.
Presiden Jokowi juga hendak mendorong serius upaya modernisasi di tubuh TNI. “Peningkatan kemandirian industri pertahanan nasional juga terus diusahakan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.16 tahun 2012. Serta meningkatkan kualitas pendidikan dan latihan prajurit TNI untuk mendukung profesionalisme prajurit.”
“Rencana strategis Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essensial Forces) tahap III periode 2019-2024 harus segera dituntaskan. Demikian pula rencana jangka panjang hingga 100 tahun Indonesia merdeka harus kita wujudkan.”
Tak kecuali terkait kebijakan anggaran bagi TNI sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan fasilitas kerja bagi prajurit, Presiden Jokowi mengatakan, “Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan fasilitas kerja bagi prajurit TNI. Alokasi anggaran pertahanan tahun 2019 sebesar Rp121 triliun akan dinaikkan menjadi lebih dari Rp131 triliun di tahun 2020. Pemerintah mengupayakan kredit perumahan untuk prajurit hingga jangka waktu 30 tahun. Selain itu, pemerintah akan meningkatkan tunjangan kinerja TNI menjadi 80 persen di tahun 2020.” (W-1)