Indonesia.go.id - Aksi Ekstrim dalam Catatan Sejarah Republik

Aksi Ekstrim dalam Catatan Sejarah Republik

  • Administrator
  • Senin, 14 Oktober 2019 | 03:23 WIB
PERCOBAAN PEMBUNUHAN
  Menko Polhukam Wiranto (kedua kiri) diserang orang tak dikenal dalam kunjungannya di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019). Foto: Dok Polres Pandeglang

Berbagai aksi ekstrim di awal sejarah republik sebenarnya menunjukkan kekuatan-kekuatan yang mampu menggunakan cara-cara kekerasan dan pembunuhan untuk mengguncangkan keadaan dan memenangkan agenda politik mereka.

Sudah lama tidak terdengar berita tentang penyerangan individu terhadap pejabat negara. Aksi penyerangan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto di Alun-alun Menes, Pandeglang, Banten, pada Kamis 10 Oktober 2019, telah membuka kembali kesadaran publik bahwa salah satu risiko menjadi pejabat negara adalah adanya serangan yang mengancam hidupnya. Selama reformasi, kejadian yang menimpa Wiranto adalah kejadian ketiga upaya pembunuhan terhadap pejabat negara.

Kejadian pertama yang masih tercatat di mediai adalah penyerangan terhadap Matori Abdul Jalil. Saat itu Matori menjabat sebagai Wakil Ketua MPR. Peristiwa itu terjadi pada Minggu 5 Maret 2000. Penyerangan itu berlangsung di kediamannya di Jl Tanjung Barat, Kompleks Perumahan Tanjung Mas, Jakarta Selatan, sekitar jam 07.30 pagi. Seseorang tak dikenal yang berpura-pura menawarkan brosur desain interior kepadanya ternyata mengeluarkan parang dan membacoknya. Matori terluka di kepala bagian belakang, tengkuk, dan lengan kanannya. Sambil berlumur darah dia sempat berteriak. Pembacoknya lari bersama temannya yang membawa sepeda motor. Panik karena kejaran massa, mereka terjatuh. Pembacok Matori mengeluarkan senjata api, tetapi malah tertangkap oleh massa. Dia dikeroyok hingga tewas. Pembawa sepeda motor berhasil kabur dengan angkutan kota tetapi tertangkap oleh aparat empat hari kemudian.

Kejadian kedua dalam sejarah reformasi terjadi pada hari Kamis, 26 Juli 2001. Peristiwa itu adalah pembunuhan terhadap hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Jam 08.00 WIB hakim agung berangkat ke kantor dengan mobil. Di Jalan Sunter Raya, dekat Kemayoran dia diserang dua orang pengendara motor. Ban mobil ditembak hingga oleng dan menabrak warung. Pembonceng mengeluarkan pistolnya kemudian menembak Syafiuddin empat kali. Penembak dan pemboncengnya kabur. Syafiuddin ditolong orang sekitar dan dibawa ke Rumah Sakit Cipto, tetapi dia wafat begitu sampai.

Pembunuhan hakim agung itu menyeret anak bungsu mantan Presiden Suharto, Tommy ke penjara. Dia ditangkap pada November 2001, setelah dua pelaku pembunuhan tertangkap pada 7 Agustus 2001. Mereka mengaku membunuh atas suruhan Tommy dengan imbalan Rp 100 juta. Tommy diberi hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lewat Kasasi di tingkat MA hukuman berkurang menjadi 10 tahun penjara. Ternyata dalam kenyataannya Tommy hanya menjalani kurang dari lima tahun masa hukuman. Berkali-kali mendapatkan remisi dia bebas dari penjara pada 1 November 2006.

Penyerangan dengan senjata tajam yang menimpa Menkopolhukam Wiranto, adalah peristiwa ketiga dalam sejarah reformasi. Wiranto yang baru turun dari mobil untuk menyalami Kapolsek Menes, Kompol Dariyanto, tiba-tiba diserang seorang laki-laki dengan menggunakan pisau yang biasa digunakan untuk serangan jarak dekat. Wiranto terjatuh setelah mengalami luka di perut sebelah kiri  bawah tubuhnya. Dalam kericuhan ternyata Kapolsek Menes juga tak luput dari tusukan dari belakang yang dilakukan penyerang lain. Dua pelaku penusukan, yang ternyata sepasang suami istri itu, langsung dibekuk aparat. Dari pengakuan pelaku penyerangan, mereka melakukan aksi itu sebagai aksi pembunuhan aparat negara yang mereka yakini sebagai bagian dari jihad.

Dua dari tiga peristiwa penyerangan terhadap pejabat negara di masa reformasi mempunyai keterkaitan dengan kelompok-kelompok radikal berbungkus agama. Dalam kasus penyerangan terhadap Matori Abdul Jalil, kelompok kecil yang melakukan pembacokan ternyata satu tahun sebelumnya telah menjalani serangkaian aksi radikal mulai dari latihan-latihan paramiliter sampai dengan perampokan bank. Runtutan aksi ekstrim yang dilakukan metode yang kerap diragukan gerakan radikal ketika membangun kekuatan.

Sedangkan dalam kasus penyerangan Wiranto, hingga saat ini motif pelaku melakukan penyerangan baru bisa diketahui merupakan bagian dari serangan terhadap simbol-simbol penguasa yang harus diperangi, walaupun mengorbankan nyawa sendiri.

Penyerangan terhadap Presiden di Masa Orde Lama

Di masa awal berdirinya republik, ancaman terhadap orang nomor satu negeri ini yakni Presiden Soekarno terhitung sangat banyak. Dalam kesempatan berbicara di depan berbagai media yang mewawancarainya pada 2009, putri presiden pertama indonesia yakni Presiden Keempat Megawati Sukarnoputri mengatakan bahwa percobaan pembunuhan terhadap ayahnya, mulai dari perencanaan sampai dengan aksi eksekusi setidaknya sampai 23 (dua puluh tiga) kali. Sedangkan menurut kesaksian mantan ajudan dan pengawal presiden Sudarto Danusubroto dan Maulwi Saelan, serangan percobaan pembunuhan yang dilakukan kepada Presiden Soekarno berlangsung hingga 7 (tujuh) kali.

Peristiwa pertama adalah upaya pencegatan terhadap rombongan Presiden Soekarno yang sedang bersama Kepala Negara Uni Sovyet Kliment Voroshilov dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada 25 Mei 1957 menurut catatan Jay Robert Nash, seorang penulis dari Amerika Serikat. Rencana pencegatan terhadap rombongan presiden yang akan dilakukan di jembatan Rajamandala berhasil digagalkan oleh angkatan udara republik setelah mendapat laporan dari seorang letnan CPM yang melintasi jembatan itu satu hari sebelumnya.

Peristiwa kedua adalah peristiwa Granat Cikini. Peristiwa itu terjadi di Sekolah Rakyat Perguruan Cikini, pada 30 November 1957. Peristiwa ini adalah peristiwa yang paling tragis dihitung dari korban yang terkena bom. Malam itu Soekarno menghadiri malam amal dalam rangka ulang tahun sekolah tempat Guntur Sukarnoputra dan Megawati Sukarnoputri belajar. 

Setelah mengikuti resepsi Soekarno undur diri. Guntur dan Mega tak ikut karena ingin menonton film yang akan diputar. Kepala Sekolah Sumadji dan Ketua Panitia Nyonya Sudardjo mengantar Soekarno menuju mobil. Tiba-tiba terdengar ledakan. Total lima granat dilemparkan ke arah Soekarno. Akibatnya, sepuluh orang meniggal termasuk pengawal presiden, anak-anak dan ibu hamil, serta 48 lainnya luka-luka.

Pengusutan pelaku pelemparan granat di Cikini menemukan hasilnya dengan menangkap empat orang pelaku yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Mereka adalah Jusuf Ismail, Sa'adon bin Mohamd, Tasrif bin Hoesain, dan Mohamad Tasim bin Abubakar. Jusuf dan Tasrif selain sebagai guru juga anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang merupakan organisasi sayap partai Masyumi. Keempat pemuda ini tergabung dalam kelompok Gerakan Anti-Komunis (GAK) yang dibentuk dan dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis, mantan Wakil KSAD yang dikenal juga sebagai perintis intelijen di Indonesia.

Peristiwa ketiga adalah penembakan istana presiden yang terjadi pada 9 Maret 1960. Pelakunya adalah pilot dari Angkatan Udara yang menerbangkan pesawat Mig-17. Namanya adalah Daniel Maukar berpangkat letnan. Dia menembak istana presiden dengan tembakan kanon 23 mm yang mengenai pilar tak jauh dari meja kerja presiden. Presiden Soekarno saat itu sedang memimpin rapat di gedung sebelah. Aksi ini mengantar Maukar dipenjara selama 8 tahun.

Peristiwa keempat terjadi juga di tahun 1960 saat rombongan Presiden Soekarno berkunjung ke Sulawesi. Saat berada dalam perjalanan keluar dari lapangan terbang Mandai sebuah peluru mortir dilepaskan ke arah rombongan. Ditengarai yang menembakkan mortir adalah kelompok Kahar Muzakar. Tembakan ternyata meleset.

Peristiwa kelima terjadi Makassar. Kejadiannya pada 7 Januari 1962 malam. Waktu itu rombongan Presiden Soekarno berkunjung menghadiri acara di Gedung Olahraga Mattoangin. Saat melewati Jl Cendrawasih sebuah granat dilemparkan ke arah rombongan. Granat tidak mengenai mobil presiden tetapi mengenai mobil lain. Presiden selamat dan pelaku pelemparan Marcus Latuperissa dan Ida Bagus Tenaya, ditangkap dan divonis hukuman mati.

Peristiwa keenam adalah penembakan Idul Adha. Kejadiannya pada 14 Mei 1962. Pelakunya adalah Haji Bachrum yang berkesempatan duduk di baris paling depan jamaah salat bersama Presiden Soekarno. Begitu melihat Soekarno dia mencabut pistol dari balik jasnya. Ternyata tembakan meleset dan menyerempet Ketua DPR Gotong Royong waktu itu KH Zainul Arifin. Dia divonis hukuman mati tapi kemudian mendapat grasi.

Peristiwa ketujuh adalah peristiwa yang terjadi bulan Desember 1964. Presiden Soekarno beserta rombongan dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta. Rombongan melaju perlahan, di tengah jalan Soekarno melihat seorang laki-laki terlihat berlaku canggung di pinggir jalan sekitar Cimanggis. Ternyata dia melempar granat ke arah mobil presiden. Beruntung lemparan tidak bisa menjangkau mobil presiden yang cukup cepat bergerak.

Peristiwa Rajamandala, Granat Cikini, Mortir Kahar Muzakar, Penembakan Idul Adha, hingga Granat Cimanggis berhubungan dekat dengan kelompok ekstrim berbungkus Islam. Sedangkan perisitiwa penembakan istana dan granat Cendrawasih terkait dengan kelompok pemberontak PRRI/Permesta. Berbagai aksi ekstrim di awal sejarah republik sebenarnya sudah menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan yang mampu menggunakan cara-cara kekerasan dan pembunuhan untuk mengguncangkan keadaan dan memenangkan agenda politik mereka. Salah satu yang paling rentan digunakan untuk melakukan aksi-aksi ekstrim adalah menggunakan selubung radikal Islam. (Y-1)