Lebih sehat, lebih pintar, dan lebih sejahtera. Tiga tema ini menjadi peta jalan Pemerintahan Jokowi-JK dalam membangun manusia Indonesia. Memang, pakem itu pada dasarnya juga berlaku secara global, dengan rumusan yang disebut Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Yang jelas, perlahan tapi pasti, IPM Indonesia terus merambat naik. Memasuki 2018, IPM sudah mencapai angka 70,18, berarti naik kelas dari medium ke high human development.
Kelas high itu masuk ke cluster kedua. Di atasnya, ada katagori very high yang skornya mencapai di atas 80. Dalam cluster high development, Indonesia masih di peringkat bawah, terpaut agak jauh dari Iran atau Turki, yang sudah di angka 79, atau dengan Thailand dan Tiongkok yang skornya sudah 75-an. Tapi, Indonesia sudah meninggalkan Filipina dan Vietnam yang juga sedang berancang-ancang lompat ke level high develompment. Sedangkan negara tetangga Malaysia dan Singapura sudah tergolong very high.
Kepastian Indonesia masuk ke high development itu diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), April lalu. Seiring adanya yang kenaikan skor IPM, yakni sebesar 0,91 poin pada 2017. Kenaikan skor itu ditopang empat indikator.
Dari keempat indikator itu, yang pertama, bayi yang lahir 2017 secara statistik memiliki harapan hidup 71,06 tahun, lebih lama 0,16 tahun dari mereka yang lahir pada 2016. Kedua, anak-anak yang pada 2017 berusia 7 tahun memiliki harapan dapat menikmati pendidikan selama 12,85 tahun (Diploma I), naik 0,13 tahun dibandingkan pada 2016.
Ketiga, penduduk usia 25 tahun ke atas rata-rata menempuh pendidikan 8,10 tahun (kelas IX), naik 0,15 tahun. Dan keempat, pada 2017 pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia mencapai Rp10,66 juta per tahun, naik Rp244 ribu dari tahun sebelumnya.
Cukup panjang perjalanan Indonesia untuk masuk ke level IPM tinggi itu. Kali pertama IPM dilaksanakan pada 1990, sebagai program dunia UNDP (United Nations Development Program), Indonesia hanya mencatat skor 52,8. Perlu 10 tahun bagi Indonesia masuk ke jajaran negara medium, dengan mencatat skor 60,4 pada 2000.
Namun, sampai 10 tahun berikutnya IPM baru naik ke 66,2 dan tembus ke 71,06 pada 2017. Meski secara nasional IPM sudah mencapai 70,16, variasi antarwilayah masih cukup tinggi. IPM Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) masih tertinggal dengan skor 59,9, 62,99, dan 63,73. Sedangkan, Jawa-Bali di atas indeks nasional. Dan yang tertinggi adalah DI Yogyakarta, yakni 78.98, dan DKI Jakarta yang sudah tembus ke angka 80, tergolong very high development.
IPM membawa pesan kuat bahwa pembangunan manusia itu bukan sekadar meningkatkan ekonomi. Rakyat diperlakukan sebagai pelaku dengan membuka akses yang adil bagi mereka untuk meraih pilihan-pilihan sesuai prakarsanya, dalam memperbaiki ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Di sana ada unsur produktivitas, pemerataan, pemberdayaan dan keberlanjutan.
Intervensi Pemerintah
Pemerintahan Jokowi-JK gencar melakukan intenvensi mendongkrak IPM, dan itu dilakukan dengan cara ‘’keroyokan” oleh berbagai kementerian dan lembaga. Dari aspek pendidikan, misalnya, pemerintah terus membangun dan merehabilitasi ruang kelas di seluruh penjuru tanah air.
Bila pada 2015, anggaran untuk pos ini baru Rp24,6 triliun, angka ini melesat menjadi Rp58,3 triliun pada 2018. Bantuan operasional sekolah (BOS) juga terus berlipat, dari Rp16,9 trilyun pada 2015 menjadi Rp56,2 triliun pada 2018, demi memastikan proses belajar mengajar berjalan lebih berkualitas.
Anak-anak keluarga prasejahtera dibantu melalui Program Indonesia Pintar. Dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) siswa SD dan yang sederajat menerima bantuan Rp450 ribu per tahun lewat transfer bank ke kartu debit KIP. Siswa sekolah lanjutan pertama menerima Rp750 ribu per tahun dan Rp1 juta untuk siswa lanjutan atas.
Sasaran program itu adalah 19,6 juta siswa pada2018 dengan alokasi anggaran Rp9,34 trilyun dan akan meningkat menjadi Rp11,2 triliun untuk 20,1 juta siswa pada 2019.
Pemerintahan Jokowi-JK serius menangani urusan pendidikan rakyat ini. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) nomor 7/2014 Presiden Joko Widodo memancangkan Program Wajib Belajar 12 Tahun.
Selain penyediaan dan peningkatan kualitas sarana pendukung pendidikan, termasuk guru, pemerintah juga mendorong masyarakat melalui Program Indonesia Pintar (PIP). Tidak cukup dengan PIP, Pemerintah juga mendorong pendidikan vokasional (keterampilan).
Untuk itu, dana yang digulirkan pada 2019 mencapai angka Rp17,2 triliun, atau hampir empat kali lipat anggaran 2014. Anggaran ini disalurkan melalui sejumlah kementerian, untuk penambah kapasitas pada lembaga pendidikan vokasional dan penyelenggaraan pendidikannya itu sendiri. Anak-anak muda pun memiliki lebih banyak pilihan untuk berperan serta dalam proses pembangunan.
Dengan payung program perlindungan sosial, stimulus pendidikan itu dikombinasikan pula dengan aksi langsung penanggulangan kemiskinan dalam Program Keluarga Harapan (PKH). Dengan PKH ini warga miskin bisa memiliki akses lebih besar ke pelayanan kesehatan, pendidikan, pangan, dan gizi dan perlindungan sosial lainnya.
Keluarga penerima manfaat (KPM) tidak boleh pasif, karena PKH adalah bantuan bersyarat alias conditional cash transfers. Jika keluarga ini punya anak usia sekolah, mereka harus bersekolah. Jika ada ibu hamil, ibu menyusui atau anak balita, mereka harus pergi ke puskesmas atau posyiandu untuk menjalani cek kesehatan dan mengambil makanan ekstra untuk gizi tambahan.
Penerima PKH juga berhak menerima KIP, Bantuan Beras Sejahtera (Rastra), dan Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), PBI BPJS, Rastra atau bantuan pangan nontunai (BTNP).
Rastra adalah kelanjutan dari program yang pada era sebelumnya, yang dikenal dengan nama Raskin. Pada era Presiden Jokowi, penerima Rastra itu sekitar 15,6 juta. Awalnya mereka menerima 15 kg beras yang dibagikan melalui kantor lurah.
Secara bertahap Rastra itu dialihkan ke kartu debit BPNT (Bantuan Pangan Nontunai) dengan transfer Rp110 ribu per bulan yang hanya bisa dibelanjakan untuk beras dan telor di e-warung yang ditunjuk. Pada akhir 2018 akan ada 10 juta penerima Rastra yang hijrah menjadi penerima kartu debit BPNT itu.
Aksi Keroyokan
Secara keseluruhan, program-program yang pro-wong cilik ini cukup besar jumlahnya. Untuk PKH yang diperluas, dengan adanya insentif bagi manula dan penyandang disabilitas, masing-masing Rp2 juta per tahun, maka secara keseluruhan PKH akan menerima kucuran dana Rp34,4 triliun pada 2019. Penerima bantuan iuran BPJS pada 2019 nanti akan mencapai 96,8 juta jiwa. Jumlah bantuan untuk membayar iuran itu sekitar Rp26,7 triliun.
Aksi keroyokan membangun manusia Indonesia itu melibatkan pula Kementerian PUPR yang setidaknya membantu pengadaan air bersih dan sanitasi--dua hal yang secara langsung menunjang kesehatan masyarakat. Lewat Kementerian Desa, dana desa pun digelontorkan, sejumlahnya Rp60 triliun pada 2018 dan akan menjadi Rp73 triliun pada 2019. Sebagian ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat secara langsung.
Kementerian Kesehatan terjun dengan makanan ekstra bergizi untuk ibu hamil, menyusui, dan balita, selain vaksin gratis. Kemenkes pun terus menambah dan meningkatkan layanan puskesmas, seraya mengefektifkan jangkauan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan.
Skema pembangunan ekonomi berjalan dalam jalur yang lebih beragam. Selain jalur regular, melalui penciptaaan lapangan kerja dan usaha yang formal maupun informal, ada langkah-langkah yang khas Jokowi-JK. Di antaranya, Perhutanan Sosial.
Program itu memberikan akses pemanfaatan lahan hutan negara bagi rakyat untuk mengambil manfaat ekonomi hutan tanpa mengurangi fungsi ekologisnya. Program Perhutanan Sosial menyediakan lahan hutan seluas 12,7 juta ha.
Selain itu, ada pula Program Reforma Agraria yang membuka pintu rakyat memiliki tanah redistribusi dari negara yang sampai 2019. Luasan tanah yang dicadangkan hingga 4,5 juta hektar.
Ada juga Kredit Ultra Mikro. Itu merupakan intervensi terbaru untuk membantu usaha rakyat di level paling bawah dengan segmen di bawah penerima KUR (Kredit Usaha rakyat). Nilainya kredit mikro itu di bawah Rp10 juta. Diluncurkan pada 2017, kredit mikro itu telah menggandeng sekitar 350.000 debitur dan ditargetkan akan mencapai 1,3 juta debitur di pada 2019.
Jalur yang ditempuh Jokowi-JK dalam meningkatkan IPM itu berimpit dengan beragam jalan untuk pengentasan kemiskinan. Memang seharusnya demikian. Agar, pengentasan kemiskinan tak hanya program ekonomi. Selain sejahtera, rakyat juga harus sehat dan pintar. (*)