Indonesia.go.id - Sekali Kayuh, Dua Indeks Terlampaui

Sekali Kayuh, Dua Indeks Terlampaui

  • Administrator
  • Selasa, 16 Oktober 2018 | 09:31 WIB
INDEKS MODAL MANUSIA
  Sumber foto: Antara Foto

Bank Dunia merilis potret Human Capital Index (HCI). Indonesia di peringkat ke-87 dari 157 negara. Dengan pengalaman mengelola IPM, HCI bisa digenjot untuk menyiapkan SDM yang berdaya saing tinggi.

Potret perdana  tentang Human Capital Index (HCI) dirilis di Nusa Dua Bali, Kamis pekan lalu, di sela-sela perhelatan akbar IMF-World Bank Annual Meeting 2018. Meski sudah jadi subyek kajian  sejak beberapa tahun silam, ini kali pertama Bank Dunia menyajikan laporan rinci yang menjangkau  157 negara. Indeks Modal Manusia (IMM) itu bisa menjadi barometer, yang menunjukkan kebijakan pemerintah terkait masalah kesehatan dan pendidikan, yang hasilnya akan berbanding lurus dengan potensi mereka sebagai angkatan kerja di masa depan.

Kedepannya IMM akan menjadi indikator resmi tentang kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebuah negara dalam  membangun ekonominya. Pada tahun 2018 ini, menurut rilis World Bank, level IMM Indonesia baru mencapai angka 0,53 (dari skala 0 hingga 1) dan menempati peringkat ke-87 dari 157 negara yang disurvei. Meski tidak meraih peringkat yang mentereng, Bank Dunia menyebut Indonesia  sebagai early adaptor HCI, yakni negara yang secara cepat mengadopsi skema pembangunan berbasis modal manusia.

Kampiun IMM alias HCI ini  adalah negara jiran Singapura yang meraih skor 0,88. Korea dan Jepang ada di bawahnya dengan skor sama: 0,84. Ketiga jawara Asia ini mengungguli negara-negara Barat seperti Belanda 0,80, Jerman 0,79, dan Amerika Serikat 0,76. Dalam hal IMM, Indonesia harus bekerja keras karena masih tertinggal dari Vietnam 0,67 (peringkat ke-48), Malaysia 0,62 (57), serta Thailand 0,60 (68).

Skor IMM ini diukur berdasarkan dua unsur utama, yakni angka harapan hidup dan harapan menerima pendidikan yang memadai secara kualitas dan kuantitas. Untuk yang pertama, digunakan indikator angka  harapan hidup balita, Unsur yang kedua lebih rumit, karena indikatornya  mengacu pada partisipasi pendidikan 14 tahun, yakni dua tahun di usia dini, serta  12 tahun pendidikan dasar dan menengah, ditambah pula dengan kualitasnya yang memasukkan indikator kompetensi guru.

Untuk negara besar dan berpenduduk raksasa memang tak mudah mengerek HCI ini secara cepat karena sering ada kesenjangan di masyarakat, juga antarwilayah. Tidak heran bila pencapaian IMM India misalnya, baru 0,44 (peringkat ke-114) dan di bawah Laos, Nepal atau Myanmar. Negara sekuat Tiongkok pun HCI-nya masih 0,67 setingkat dengan Vietnam.

“Human capital index dari Bank Dunia ini sangat penting dan kami siap bekerja sama karena Indonesia memiliki pengalaman berharga dalam investasi human capital,’’ ujar Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati (Menkeu) saat berbicara dalam forum Human Capital Summit, A Global Call to Action, sebuah  event dari rangkaian acara IMF-World Bank Annual Meeeting 2018 di Nusa Dua, Bali, Kamis 11/10.

Menurut Sri Mulyani, dalam soal  angka harapan hidup balita, kondisi Indonesia sudah lebih baik dari rata-rata negara Asia Selatan dan Afrika. Kualitas dan kuantitas Pendidikan pun  lebih maju dari rata-rata Asia Timur, Asia Selatan, Afrika maupun Amerika latin. 

Namun, kata Menkeu pula, Indonesia masih punya PR besar dengan masalah stunting, yakni kondisi kurang gizi kronis karena asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tak sesuai dengan kebutuhan gizi.

 Stunting bisa dimulai sejak janin masih ada  dalam rahim dan baru nampak saat anak berusia 2 tahun. Angka stunting di Indonesia masih sekitar 28%, lebih besar dari rata-rata global yang 22%.

Toh, tidak berlebihan bila Menkeu Sri Mulyani   mengatakan Indonesia punya pengalaman dalam investasi human capital. Setidaknya, Indonesia memiliki  pengalaman penggenjot perbaikan indeks pembangunan manusia (IPM), Pada tahun 2017 lalu IPM Indonesia naik dari 69,29 ke 70,18 versi UNDP (United Nations Development Programs). Kenaikan ini mengantar Indonesia masuk ke jajaran negara high development. IPM ini juga bersandar kepada keutamaan angka harapan hidup balita, harapan memperoleh Pendidikan dan angka kesejahteraaan secara aktual.

Dengan demikian, peta jalan untuk investasi pada modal manusia itu tak berbeda jauh dari peningkatan indeks pembangunan manusia.

 Indonesia sangat bersungguh-sungguh dalam  dua isu tersebut. Setidaknya, seperti dikatakan Menkeu, secara mandatory,  RI mengalokasikan 20% APBN untuk Pendidikan. Penggunaannya mulai dari pengadaan sarana pendidikan, perbaikan tata kelola pendidikan, sistem pengajaan, peningkatan kompetensi guru, riset dan lain seterusnya. Belakangan, sektor swasta membantu dengan penyelenggaraan Pendidikan vokasional untuk menyongsong era industry 4,0 yang berbasis teknologi IT, robotic dan kecerdasan buatan.

Untuk menambah akses ke pendidikan bagi warga kurang mampu, Pemerintahan Jokowi-JK menyiapkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk 20,1 juta siswa pada 2018. Pemegang KIS menerima bantuan nontunai senilai Rp. 450 ribu untuk SD, Rp. 750 ribu untuk SMP,  dan Rp. 1 juta untuk SMA per tahun. Untuk mahasiswa ada paket bantuan BidikMisi senilai Rp. 6 juta per tahun, bagi 450 ribu mahasiswa.

Untuk membantu kesehatan, gisi, dan kesejahteraan masyarakat, Pemerintahan Jokowi-JK membagikan beras sehajtera, Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10,2 juta keluarga yang masing-masing menerima Rp. 1,89 juta setiap  tahun, Bantuan Iuran Asuransi BPJS Kesehatan untuk 96,2 juta jiwa, dan pembangunan sarana air bersih, sarana sanitasi, posyiandu, puskesmas dan penunjang kesehatan serta kesejahteraan rakyat lainnya. Dana Desa pun digelontorkan dalam jumlah besar untuk lebih menggerakkan perekonomian pedesaan.

Dengan sederet ihtiar itu bisa diharapkan kondisi kesehatan, Pendidikan dan kesejahteraan

 rakyat  terus meningkat. Dengan begitu, tidak hanya IPM yang akan terus menanjak. Indeks Modal Manusia Indonesia pun akan terus terkerek. Sekali mengayuh dayung, dua indeks terlampaui.