Bangsa yang sentosa itu bangsa yang mampu memberdayakan angkatan kerjanya. Maka, angka pengangguran terbuka pun menjadi indikator penting dalam mengukur kondisi ekonomi sebuah negara.
Bila angka penganggurannya tinggi, itu berarti perekonomiannya bermasalah. Jerman, Belanda, Swedia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, adalah deretan negara yang tingkat penganggurannya rendah, hampir selalu di bawah 4%. Perekonomian mereka stabil-sentosa.
Indonesia sendiri, dari waktu ke waktu, terus berjuang menekan angka pangangguran. Hasilnya cukup menggembirakan. Survei angkatan kerja nasional (Sakernas) 2018 menunjukkan bahwa TPT (tingkat pengangguran terbuka) turun ke angka 5,34%.
Ini pencapaian terbaik dalam 20 tahun terakhir, setelah Indonesia sempat mengalami angka pengangguran di level double digit pada 2003 (11,5%), 2005 (11,2%), dan 2006 (11,3%). Setelah itu angkanya melandai turun.
Progres ketenagakerjaan itu dipaparkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional /Ketua Bappenas Bambang Brojonegoro, dalam Forum Merdeka Barat 9, di Jakarta, pekan kedua November lalu. Mengutip hasil Sakernas (survei angkatan kerja nasional) 2018, Bambang menyampaikan, Pemerintahan Jokowi- JK mulai bekerja pada 2014 ketika TPT tertengger di angka 5,9%.
Angka itu naik menjadi 6,18% di tahun berikutnya, seiring terjadinya pelambatan ekonomi. Namun pada 2016, angka pengangguran itu menyusut ke level 5,61%, lalu 5,50% di 2017, dan 5,34%, pertengahan 2018.
Pada kurun tiga tahun terakhir ini telah tercipta 9,38 juta lapangan kerja baru di sektor formal. Ditinjau dari sisi serapan tenaga kerjanya, sektor jasa itu yang menjadi motor perekonomian nasional, dengan menyerap lebih banyak angkatan kerja dan mengkontribusikan pendapatan yang tinggi untuk mengerek produk domestik bruto.
Saat ini, sektor jasa menyerap sekitar 56% tenaga, sektor pertanian 29%, dan industri pengolahan 15%. Pada kurun 2015-2018, industri pengolahan hanya mampu merekrut 2,99 juta tenaga kerja baru.
Dari sisi pendidikan, angkatan kerja Indonesia yang jumlahnya kini mencapai 131 juta itu masih didominasi oleh lulusan SD dan SMP, yang mencakup 59% dari keseluruhan. Lulusan pendidikan vokasi (D1, D2, D3, hingga D4), yang diperlukan dunia industri, justru porsinya kecil, hanya 2,6 % saja. Begitu pula dengan SMK, jumlahnya lebih kecil dari lulusan sekolah menengah umum.
Di tengah luberan angkatan kerja ini, sektor informal bisa menjadi sekoci pengaman yang cukup efektif untuk menampung pengangguran. Sektor informal memang bukan destinasi idaman bagi pencari kerja. Hanya saja, di sana tertampung puluhan juta tenaga kerja.
Menurut Sakernas 2018, sektor informal telah menampung hampir 57% angkatan kerja, dan 43% di sektor formal. Memang, di sektor informal ini para pekerja tidak mendapat perlindungan yang memadai, tidak banyak menghasilkan pajak, dan kadang juga dianggap kurang produktif karena jenis pekerjaannya tak mendatangkan nilai tambah besar. Tapi, setidaknya ada ruang penampungan besar yang bisa menghindarkan munculnya masalah sosial.
Sektor informal ini diasosiasikan dengan upah rendah, lingkungan kerja yang buruk, dan pekerja yang tak punya kesempatan mengembangkan diri. Toh, sektor informal itu hadir di mana-mana, bahkan di negara maju sekalipun. Di Jepang misalnya, porsi tenaga kerja informal hampir 20 persen. Di negara ASEAN, kecuali Singapura, serapan sektor informal umumnya di atas 50%.
Perekonomian Indonesia sendiri telah puluhan tahun disangga sektor informal yang melibatkan lebih dari 60% angkatan kerja. Tidak mudah mendorong usaha informal itu menjadi formal. Toh, sedikit demi sedikit pergeseran itu terjadi.
Pada 2014 sektor informal ini masih menguasai 59,38% tenaga kerja. Pada 2018, menjadi 56,84%. Pergeseran itu tentu tidak terlepas dengan adanya investasi di sektor formal dan kebijakan perekonomian secara umum.
Pengembangan program pendidikan vokasi dan pelatihan vokasional juga terus digenjot untuk mendukung tumbuhnya sektor usaha formal. SMK dikembangkan agar sesuai dengan perkembangan industri, pelatihan, dan sertifikasi tenaga kerja. Pengembangan program diploma di politeknik dan perguruan tinggi dilaksanakan secara masif, dengan melibatkan 11 kementerian dan lembaga negara.
Anggaran yang dialokasikan kesana pun cukup besar, mencapai Rp23,6 triliun pada 2018 dan Rp25,9 triliun pada RAPBN 2019. Targetnya, tersedia tenaga terampil, berdaya saing, dan terserap di dunia industri terbaru yang berbasis teknologi siber.