Terselip di tengah suasana rutin, Hari Guru Nasional 25 November sering luput dari perhatian masyarakat. Tak banyak greeting untuk hari istimewa yang menandai kelahiran PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), pada 25 November 1945.
Memang, kondisi tersebut tidak juga lantas berarti isu guru di tengah pergulatannya di dunia pendidikan, sepi dari sorotan publik. Tapi dalam keseharian, yang sering mem-viral adalah cerita getir kehidupan sosial para guru--bukan narasi yang inspiratif dan inovatif.
Potret guru Indonesia saat ini adalah hasil dari proses yang panjang. Hasilnya kasat mata. Tidak relevan lagi saat ini berbicara soal buta huruf, karena 97,2 persen anak Indonesia usia 7-12 tahun sudah tertampung di SD dan 78,3 persen anak usia 13-15 tahun telah mengecap pendidikan SMP.
Menurut catatan BPS (Badan Pusat Statistik) 2017, remaja 18-24 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi mencapai 18,6 persen. Itu meningkat tajam dibandingkan 25 tahun silam, yang kala itu baru menorehkan angka sekitar 8%.
Perkembangan di dunia pendidikan itu, dikombinasikan dengan kemajuan pada bidang kesehatan serta kesejahteraan, membuat tak pelak lagi indeks pembangunan manusia (IPM) pun meningkat dan menempatkan Indonesia pada katagori high development.
Pun pula dalam hal indeks modal manusia (IMM), yang kali pertama diluncurkan Bank Dunia di Bali Oktober lalu. Tampak, Indonesia sudah melampaui rata-rata negara berpendapatan menengah-bawah. Bila IPM mengindikasikan kualitas hidup, maka IMM itu menunjukkan kualitas warga sebagai tenaga kerja.
Dunia pendidikan juga memberikan sumbangan terhadap indeks daya saing Indonesia seperti yang dilansir World Economic Forum tahun lalu. Daya saing Indonesia ditempatkan pada posisi ke-36, naik 5 level dari posisi sebelumnya. Dalam posisi 36 ini, daya saing Indonesia berada di atas Rusia (38), Polandia (39), India (40), dan Vietnam (55). Kendati, masih di bawah Malaysia (23) atau Thailand (32). Pendidikan menjadi bagian dari 12 pilar yang diperhitungkan dalam mengukur daya saing global itu.
Namun saat daya saing global ini dikaitkan dengan tren dunia revolusi industri 4.0, daya saing Indonesia dalam Global Competitiveness Index 2018 melorot ke posisi 45, disalip Polandia dan Rusia yang menyodok ke posisi 39 dan 43. Indonesia juga masih tertinggal dari Thailand (37) dan Malaysia (25). Sedangkan Vietnam, meski mencatatkan perkembangan mengesankan di dunia pendidikan, dalam hal daya saing global 4.0 nyatanya masih berada di posisi 77.
Transformasi Pendidikan
Revolusi 4.0, yang dideklarasikan di Jerman pada 2011, dianggap memberikan tantangan khusus bagi pendidikan, tak terkecuali di Indonesia. Industri 4.0 digambarkan begitu berbeda dari sebelumnya.
Sedikit menengok ke belakang, Industri 1.0 diasosiaikan dengan mesin uap, kapal uap, serta kereta api tenaga uap. Kemudian, Industri 2.0 ditandai dengan kehadiran tenaga listrik, mesin elektrik, mesin-mesin berbahan bakar minyak bumi. Industri 2.0 itu membuahkan hasil yang sangat fenomenal, yakni industri otomotif, pesawat terbang, pesawat luar angkasa, dan satelit.
Lalu Industri 3.0, yang dimulai era 1980-an. Era ini ditandai masifnya otomasi berbasis komputer. Mesin-mesin bekerja lebih cepat dengan presisi sangat tinggi karena dikontrol secara digital. Singapura, Tiongkok, dan Korea Selatan maju pesat melalui skema industri 3.0. Mereka juga telah siap siaga mengaruhi samudera industri 4.0 dengan mengoperasikan “pabrik-pabrik cerdas”, berstruktur moduler.
Dalam industri 4.0 itu, sistem siber-fisik mengawasi proses fisik, menciptakan salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat keputusan yang tidak terpusat. Lewat internet untuk segala (IoT), sistem siber-fisik berkomunikasi dan bekerja sama satu sama lain, pun dengan manusia, secara bersamaan. Internet of things menjadi sandaran utama.
Tugas menyediakan tenaga yang terdidik demi mengadopsi, mengoperasikan, mengembangkan, industri 4.0 itulah yang kini dipikul dunia pendidikan dan pemangku kepentingan yang lain. Para pelaku dunia pendidikan pun bersiap dengan perubahan besar yang bertajuk transformasi pendidikan. Para guru kembali dituntut beradaptasi dengan paradigma dan konsep terbaru yang dianggap lebih sesuai untuk modul pendidikan 4.0.
Beberapa konsep yang mengemuka, antara lain, adalah perubahan peran guru yang tidak para lagi menjadi expert alias source of knowledge di depan siswa. Guru dituntut lebih menjadi fasilitator, penyedia content, yang membimbing siswa mencari dan memahami materi yang dipilihnya. Metode pembelajaran pun bergeser ke arah E-Learning, bahkan mobile learning.
Siswa tak lagi harus menggendong buku-buku di punggungnya. Mereka hanya perlu bermodal gadget. Buku dan referensi di-download agar mudah dibawa dan dibaca di mana pun. Pengajaran yang selama ini berfokus pada individu-individu, ke depan akan bergeser dari satu ke lain team work dalam cara berpikir kritis para siswa.
Beberapa kalangan mengkhawatirkan bahwa transformasi ini tidak akan selancar seperti yang diharapkan. Kekhawatiran ini dikaitkan kinerja PISA (Program for International Assesment) siswa asal Indonesia yang rendah. Pada tes tiga tahunan yang dilakukan pada 2015, dengan sampel siswa 15 tahun dari berbagai penjuru tanah air itu, Indonesia hanya menduduki peringkat 62-65 (dari 72 negara yang mengikuti tes), untuk bidang matematika, sains, dan kemampuan membaca (reading).
Capaian itu dianggap mengecewakan, mengingat secara mandatori dunia pendidikan Indonesi mendapat alokasi 20 persen dari APBN. Negara jiran Singapura meraih posisi nomor satu di tiga bidang itu. Vietnam bisa mencapai posisi ke-12 untuk matimatika. Namun, di sisi lain, banyak siswa Indonesia yang mampu memenangi berbagai kontes sains dan matematika. Maka rendahnya nilai PISA itu dapat menjelaskan satu hal, yakni mutu pendidikan Indonesia yang belum merata.
Ditambah adanya PR tentang guru honorer dan sertifikasi yang sering dinilai belum mencerminkan kompetensi, dunia pendidikan Indonesia harus mengarungi lautan 4.0. Namun setelah dapat melewati gelombang industri 1.0, 2.0, dan 3.0 tanpa prahara yang mengguncang, agaknya tidak perlu kekhawatiran yang berlebihan, sejauh segenap pemangku kepentingan tak hanya berpangku tangan. (P-1)