Otak-otak, abon ikan, bakso ikan, dan bandeng presto, adalah jalan hidup Askari Azis. Di bawah label Eltisyah, makanan olahan serba ikan buatan Askari kini ikut meramaikan oleh-oleh khas Makassar. Dia merintis bisnisnya setapak demi setapak sejak 10 tahun lalu. Usahanya didukung KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diangsurnya tepat waktu.
Seiring usahanya yang semakin berkembang, Askari menambah kreditnya menjadi Rp25 juta, kemudian Rp50 juta, meningkat lagi ke Rp75 juta. Dan pada 2018, dia dipercaya BRI untuk menerima kredit sebesar Rp600 juta. Semua dana itu dialokasikan ke pengembangan usaha, mulai dari mesin giling, blender, freezer, pencetak, mesin pengemas, dan selebihnya untuk modal kerja.
Askari telah naik kelas, dari perajin menjadi wirausaha. Cirinya, dia memiliki segala legalitas. Mulai surat ijin usaha, ijin lokasi, dan badan usaha. Bisnisnya terangkat dari kelas usaha mikro ke usaha kecil. Tak lupa pula, dia melebarkan jalan penjualannya melalui jalur online. Dia juga mampu merekrut pekerja tetap. Kehidupannya semakin sejahtera.
Berkembangnya usaha Askari ini tak saja baik untuk dia dan keluarganya, tapi juga membantu perekonomian negara. Tidak heran bila pemerintah pun dari waktu ke waktu mendorong usaha mikro itu naik kelas, menjadi usaha kecil, menengah, dan jika mungkin menjadi besar. Tak sedikit usaha besar dan menengah yang bermula dari usaha mikro.
Perkembangan kewirausahaan saat ini cukup menggembirakan. Menteri Koperasi dan UMKM (Usaha Menengah, Kecil dan Mikro) Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga mengatakan, ada lompatan cukup besar dari usaha mikro ke usaha kecil, yang berarti promosi masuk ke kategori wirausaha.
Bila pada 2014 ratio wirausaha terhadap jumlah penduduk itu masih 1.55%, angka itu naik ke 1,65%, (2016), dan menjadi 3,15% di 2017. Puspayoga yakin, pada 2018 angkanya sudah mendekati 5%.
Sementara itu, Puspayoga mengatakan, batasan umum yang berlaku secara internasional, tingkat kewiraswastaan di suatu negara adalah 2%, untuk menjamin adanya partisipasi yang luas dalam pembangunan ekonomi.
Salah satu pendorong membesarnya kewirausahaan itu, menurut Puspayoga, adalah pasar yang tumbuh, ketersediaan teknologi, sumberdaya manusia, serta modal usaha. Di Indonesia, katanya pula, salah satu stimulan yang penting ialah ketersediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang berbunga rendah dan relatif mudah diakses.
Bunga KUR pun semakin ringan. Bila pada 2016 bunganya masih 12% per tahun, pada 2017 turun menjadi 9%, dan menjadi 7% pada 2018 ini. Pemerintah membayar margin bunga itu dalam bentuk subsidi.
KUR mudah dijangkau. Ada 41 bank dan lembaga keuangan menjadi penyalur, mulai dari bank negara, bank daerah, swasta dan koperasi. Pelayanannya pun kian beragam. Selain memberikan kredit bagi usaha produktif berskala mikro (dengan pagu kredit Rp25 juta), KUR Ritel (usaha kecil) berplafon Rp500 juta, KUR untuk calon buruh migran (TKI), serta KUR khusus bagi petani, nelayan, dan peternak.
Plafon untuk calon TKI nilainya Rp25 juta, yang bisa digunakan oleh debitur untuk membayar biaya keberangkatan, ongkos pelatihan khusus, dan biaya hidup sementara. KUR Ritel untuk pedagang. Sedangkan KUR Khusus diberikan ke petani perkebunan, nelayan, dan peternak. Plafonnya Rp500 juta untuk peremajaan sawit, misalnya, pengadaan perahu, jaring dan mesin temple, pun membuat kandang dan modal penggemukan sapi.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengingatkan, KUR kini lebih diprioritaskan bagi bisnis yang memproduksi barang, bukan lagi pembiayaan untuk modal jasa perdagangan. Target Darmin, penyaluran KUR pada 2018 sebesar 50% ke usaha produksi dan 60% pada 2019. Menurut Darmin, porsi yang ideal alokasi KUR ini 70% ke usaha produksi dan 30% ke bisnis perdagangan.
Target penyaluran KUR 2018 ini Rp123 triliun. Realisasinya sampai Agustus lalu mencapai Rp88 triliun (71%). Rakyat menyambut kredit murah dengan penuh gairah. KUR tergolong aman. Tingkat kredit yang bermasalah di bawah 0,5%. Sebagian besar KUR, yakni 56%, teralokasi di Jawa. Sedangkan Sumatra kebagian sekitar 19,4% dan Sulawesi 9,5%.
KUR diperkenalkan 2007, dan cepat memikat para pelaku usaha mikro. Selama 2007-2014 KUR, Rp178 triliun kredit lunak bergulir, diserap oleh rata-rata 1,5 juta debitur per tahun. Dengan insentif bunga rendah, KUR pun melesat. Pada 2017, tercatat 4 juta debitur memanfaatkan dana KUR dengan volume 98 triliun.
Tidak ingin ada yang tercecer, per Agustus 2017 lalu pemerintah juga menggulirkan kredit kelas ultramikro (UMi), dengan plafon Rp10 juta, bunga 6% dan tenor setahun. Sasarannya adalah pedagang pasar di segmen paling bawah. Belum setahun digulirkan, kredit mungil ini telah ditangkap 800 debitur dengan volume kredit Rp2,5 triliun.
Pelaksana UMi adalah Pusat Investasi Pemerintah (PIP), lembaga di bawah Kementerian Keuangan. Penyalurnya Pegadaian, Bahana Arta Ventura, dan sejumlah koperasi. Modal kredit ini dari APBN.
Jangan heran bila dari waktu ke waktu pemerintah selalu mendorong UMKM. Kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah ini terhadap produk domestk bruto (PDB) itu sangat besar dan diperkirakan mencapai 60,34% pada 2017. UMKM juga menyerap 97% tenaga kerja, dan berkontribusi nyata pada arus ekspor barang serta jasa.
Bila diurai dari sisi pelakunya, porsi usaha besar sekitar satu persen, usaha menengah lima persen dan selebihnya kecil, mikro, bahkan ultra mikro.
UMKM adalah soko guru ekonomi negara. Kredit murahpun menjadi darah bagi nadi ekonomi mereka. Di luar KUR tentu banyak macam kredit lainnya, dari sektor negara atau swasta. Askari Azis pun bergairah. Dia tak hanya berproduksi dan menjual. Askari membayar listrik, membayar buruh, membeli ikan dari nelayan, memborong bumbu dapur dari petani, dan sekali waktu mengajak anak dan isterinya berwisata. Roda ekonomipun berputar.