Perjalanan Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) telah mencapai 47 tahun. Korps batik biru itu memperingati hari jadinya di Istora, Senayan, 28 November lalu, yang dihadiri Presiden Joko Widodo. Di hadapan belasan ribu ASN (Aparatur Sipil Negara) itu Presiden Jokowi menyampaikan catatan bahwa semua persoalan di masyarakat selalu bersifat lintas sektoral. ‘’Maka saya meminta semua ANS agar tak terjebak dalam ego sektoral,’’ kata Presiden. Tidak ada pesan politik.
Persoalan ego sektoral versus lintas sektoral hanyalah satu dari sekian banyak isu yang terkait kinerja pegawai negeri. Ada banyak lainnya, mulai dari soal rekrutmen CPNS (calon pegawai negeri sipil), penempatan, penyebaran, ketidakseimbangan tenaga teknis dan administratif, rotasi dan mutasi, korupsi, kompetensi, guru honorer, dan seterusnya.
Namun pada saat yang sama, tak kurang pula banyaknya karya, inovasi, dan prestasi yang diraih oleh jajaran Korpri ini. Tak bisa diingkari, pegawai negeri mengambil peran amat penting dalam pembangunan nasional selama ini di segala bidang. Pendek kata, penyelenggaraan negara akan lumpuh tanpa pegawai negeri sipil (PNS).
Pemerintahan Jokowi-JK melakukan pembenahan. Langkah pertamanya moratorium, lantaran belanja pegawai dirasakan terlalu membebani anggaran, terutama di daerah. Selama empat tahun ini moratorium cukup terjaga. Jumlah rekrutan PNS hanya sedikit di atas jumlah yang pensiun. Tidak ada lagi aksi jor-joran mengangkat pegawai.
Alhasil, laju penambahan PNS melandai. Jika pada 2013 tercatat ada 4,363 juta PNS, angka tersebut baru menembus 4,5 juta di 2018. Lonjakan tetap dikendalikan. Pada tes CPNS 2018, misalnya, hanya ditawarkan 238 ribu formasi , sedangkan PNS yang pensiun berjumlah 220 ribu. Kuota penerimaan pegawai ini dihitung secara cermat oleh tim dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan Kementerian PAN/RB (Reformasi Birokrasi).
Bukan hanya pengendalian kuantitas, kualitas CPNS pun dijaga. Maka, praktek suap dan sogok dalam penerimaan PNS dipersempit dengan diberlakukannya CAT (Computer Assisted Test). Peserta tes mengerjakan soal lewat sistem komputer yang terhubung langsung ke ruang kontrol Panitia Seleksi Nasional. Tidak ada soal yang bocor, karena soal rangkaian soal yang terpilih secara acak diunggah ke jaringan sesaat sebelum tes dimulai. Penilaian oleh komputer juga sehingga tak bisa dimanipulasi.
Sistem CAT ini dikembangkan sejak 2010 oleh BKN, dan dilaksanakan kali pertama pada 2013. Pemerintah Jokowi-JK mengembangkannya lebih lanjut. Bahkan, model CAT ini berlaku di semua dari 72 kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.
Dibanding negara tetangga, jumlah PNS di Indonesia yang rationya 1,7% dari jumlah penduduk itu tergolong moderat. Di Malaysia rationya 4% dan Myanmar 2,5%. Tapi, Thailand bisa dilayani hanya dengan 0,6% PNS, bahkan Vietnam 0,3%.
Dalam penetapan kuota CPNS ini, Presiden Joko Widodo berpesan pula agar porsi tenaga teknis ditambah dan kemampuan penguasaan teknologi informasi (IT) serta bahasa asing juga diprioritaskan. Komposisi yang ada saat ini memang masih jauh dari ideal. Dari sekitar 4,5 juta PNS itu, 37,7% tenaga administrasi, 37,4% lainnya guru, lalu 10% lagi adalah pejabat struktural dan fungsional. Tenaga teknis hanya 10%, bahkan tenaga kesehatan porsinya tak sampai 5%.
Meski sudah mengambil porsi 37,4%, tenaga guru masih kurang. Maka dari 238 ribu lowongan PNS 2018, 106 ribu di antaranya adalah guru. Rinciannya, 88 ribu guru kelas sekolah umum, 12 ribu guru madrasah di Kementerian Agama, dan 6 ribu lagi guru agama untuk sekolah umum. Kali ini tenaga kesehatan mendapat kuota cukup besar, lebih dari 60 ribu, untuk formasi dokter, spesialis, dokter gigi dan paramedis.
Toh, tambahan 106 ribu CPNS guru ini dianggap belum cukup. Faktanya, masih terdaftar lebih dari 700 ribu guru honorer. Problem guru honorer ini telah berlangsung puluhan tahun. Agar masalah tidak menjadi lebih kusut, Presiden Joko Widodo secara tegas melarang pemerintah daerah dan kepala sekolah mengangkat guru honorer.
Pemerintah menyiapkan skema khusus. Mengacu ke UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang disebut Pegawai Aparatur Sipil Negara (Pegawai ASN) adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas pemerintahan atau tugas negara lainnya dan digaji berdasar peraturan perundang-undangan.
Jadi, ASN itu terdiri dari PNS dan PPPK. Lantas, untuk tetap memberdayakan guru honorer tadi, pemerintah berniat merekrut mereka sebagai PPPK, sejauh memenuhi persyaratan yang ada. Jika saja, 500 ribu dari guru honorer itu lulus sebagai PPPK, maka ASN kita akan bertambah setengah juta orang dalam waktu dekat ini. Kontrak tersebut ditinjau setiap tahun. Sebagai ancang-ancang, bila skema itu terlaksana, guru honorer yang lulus menjadi PPPK setidaknya akan menerima gaji setara dengan UMR (Upah Minimum Regional) setempat.
Toh, para guru honorer itu kurang antusias menyambut skema PPPK. Mereka menginginkan jadi PNS, seperti halnya 4,3 juta orang yang melamar menjadi CPNS 2018 ini. Isu guru honorer masih akan bergulir.
Dalam situasi ini, masih sulit mengharapkan Korpri ikut ambil bagian dalam menyelesaikan soal tersebut. Korpri sendiri harus mengadaptasikan diri dengan UU 5/2014 tentang ASN. Dalam UU itu, wadah yang diamanatkan untuk ASN ialah nama Korps Profesi Pegawai ASN yang di dalamnya ada unsur PPPK.
Toh, UU tentang ASN juga tidak mengatur apakah korps (yang berarti sarikat) ASN itu bersifat kedinasan atau di luar kedinasan seperti ormas. Masih perlu waktu untuk melibatkan sarikat ASN itu ikut menangani keruwetan-keruwetan dalam penyelenggaraan birokrasi. (P-1)